"Al-Ghazali
berkeyakinan bahwa persatuan umat Islam secara pemikiran, akidah, dan
eksistensi adalah dinding yang kokoh, dengan demikian tidaklah
seharusnya perselisihan dalam masalah furu dan parsial menjadi sebab
rusaknya apa yang dibangun hal-hal yang substansial."
Saya
rasa tidaklah keliru jika saya katakan: Sesungguhnya struktur pemikiran
Syeikh Muhammad al-Ghazali terbentuk dalam satu dimensi saja, tidak ada
yang lain! Dan dimensi ini adalah karakter seorang dai muslim yang
penuh dedikasi. Dalam level pembinaan diri, kepribadiannya merupakan
integrasi dari kerangka dakwah islamiyah dengan metode perubahan yang
mencerahkan.
Dalam
level struktur sosial, gerakannya terdistribusi melalui titik
pengetahuan mutlakakan kehidupan sosial kemasyarakatan dan mendekati
problematikanya dengan pemahaman realitas secara mendalam dan menjauhi
pendekatan asing, sehingga tampak jalan yang menyimpang untuk kemudian
terkoreksi, berubah dan terbangun.
Dan
dengan segala keterusterangan, saya katakan, sesungguhnya Syeikh
Muhammad al-Ghazali menghancurkan dan membangun dengan memanfaatkan
unsur yang banyak ditinggalkan sebagian besar orang dalam pergerakannya,
yaitu unsur zaman. Zaman yang akan banyak memberikan hal positif bagi
gerakan ummat jika bisa berinteraksi positif dengannya, akan tetapi,
bisa juga berubah menjadi puncak keburukan jika ummat memperlakukannya
dengan buruk, tidak memhaminya dan tidak tahu bagaimana mengambil
manfaat darinya. Ia menjadikan zaman sebagai unsur permanen dalam dua
piring timbangan proses perubahan, dan karena al-Ghazali adalah seorang
agamawan, budayawan, politikus, dan tokoh pergerakan, terlihat jelas
bahwa misinya yang pertama adalah meruntuhkan kenyataan buruk, dimana
umat Islam tenggelam di dalamnya, dengan jelas ia berkata, “Sesungguhnya
umat sekarang tengah menghancurkan dirinya sendiri.”[1]
Pengamatan yang dalam akan dinamika budaya umat ini menjadikannya dalam
kelompok “perusak” yaitu orang-orang yang merusak umat dan memutus
mereka dari tidur indahnya.
Karena
itu, ketika ia menjadi pejabat di kementrian Wakaf Mesir, kita melihat
al-Ghazali tidak ragu untuk membuka masjid-masjid dan panti-panti untuk
para pejuang kemerdekaan Aljazair yang terusir dan lari dari penangkapan
pemerintah Perancis[2], hingga gemuruh takbir kembali membahana dari masjid-masjid yang tadinya tertutup.[3]
Ketika
al-Ghazali mencoba melabelkan titik lemah dan kekalahan yang menjalar
dalam tubuh umat, ia menegaskan kepada generasinya, bahwa semua orang
memang tengah bergerak, akan tetapi, mereka seolah jalan di tempat.
Atau, mereka bergerak berjalan, namun menuju jalan buntu. Atau, mereka
bergerak, akan tetapi secara membabi buta tanpa arah sama sekali, seolah
antara mereka dengan shirat al-mustaqim terdapat permusuhan
dan pertentangan! Al-Ghazali tidak hanya mengutuk realitas sebagai
sebuah percobaan yang gagal dari sekian banyak percobaan umat, akan
tetapi ia memperluas kritikannya pada sistem budaya dan konsep-konsep
pemikiran yang ia lihat membutuhkan purifikasi secara menyeluruh di
tangan da’i-da’i yang anti taklid.[4]
Untuk
lebih memahami dan mendalami dunia al-Ghazali yang demikian luas dan
bercabang, maka kita harus mulai masuk kedalamnya melalui tiga pintu:
Pintu pertama: al-Ghazali dan Umat
Syeikh
Muhammad al-Ghazali berkeyakinan bahwa umat haruslah mencerminkan
nilai-nilai ajaran Islam, tujuan universalnya dan proyek peradabannya,
dengan menjadi contoh hidup al-Qur`an dan ajaran Sunnah. Salah satu misi
al-Qur`an adalah menciptakan dan merubah akal kanak-kanak menjadi akal
dewasa yang matang[5],
meskipun misi ini sangat sulit, akan tetapi bisa dicapai bergantung
pada kecakapan da'i dalam mengeksplorasi karakteristik umat dan
menanamkan pengaruhnya, menjauhkan diri dari fatwa-fatwa mentah, bid’ah
yang diada-adakan, dan khurafat yang disakralkan. Al-Ghazali juga
menuntut secara jelas untuk meminimalisir perselisihan ahli fikih dan
pendapat-pendapat yang mengambang[6] yang tidak akan membuahkan sesuatu kecuali merusak persatuan dan memecahkan tali kerukunan umat.
Al-Ghazali
tidak hendak menjadikan manusia dalam bentuk malaikat, ia justeru
menghendaki terwujudnya kemanusiaan manusia melalui keseimbangan antara
dunia dan akhirat, antara ketekunan berbuat untuk kehidupan hariannya,
yang menjadi sebab bertahan hidup, dengan kecakapan untuk mewujudkan
hikmah diciptakannya manusia dan ketenangan dalam menghadapi masa
depannya di kehidupan akhirat.
Al-Ghazali
juga berpendapat bahwa sistem aturan umat tidak boleh terbentuk kecuali
melalui proses musyawarah, tidak ada peran otokrasi dan individualisme
di dalamnya, ia berpendapat bahwa Islam dan otokrasi adalah dua hal yang
tidak bisa disatukan.[7]
Ia melihat bahwa nilai umat beragama tidak tercermin dalam hubungan “imajinatif”
hamba dengan Allah, akan tetapi tercermin dalam penolakan terhadap
kezaliman, apapun bentuknya, menganggap rendah segala kehinaan serta
menekan naluri ingin berkuasa dan menindas kaum lemah. Nilai-nilai
langit bukanlah sekedar “syiar” yang membingkai motivasi ummat, akan
tetapi pola hubungan nyata dengan segala yang bersifat baik dan
membangun. Sesungguhnya nilai-nilai Islam adalah penggerak dari luar
yang meleburkan kebekuan intuisi, sehingga umat bisa melihat apa yang
tidak dilihat orang lain dan bergerak dalam kafilah kaum lemah menuju
jalan Allah Swt. Karena itulah al-Ghazali berupaya keras untuk
menerbitkan catatannya dengan ungkapan “fi sabilillah wa al-mustadh’afin”
Untuk
mengembalikan identitas dan eksistensi umat, Syeikh Muhammad al-Ghazali
menegaskan bahwa umat membutuhkan adanya sebuah metode yang bisa
menghubungkan masa kini dengan masa lalu.[8]
Al-Ghazali kemudian meringkas pendapatnya mengenai metode ini dengan
mendirikan kommunitas berbasis dua konsep; pertama profesionalisme dan
kedua komunikasi yang menjamin perbedaan mazhab bagi umat tanpa
mensakralkan ikhtilaf dan perpecahan.
Al-Ghazali
mengisyaratkan bahwa titik terlemah dari entitas umat Islam yang rapuh
adalah pemerintahan, ini adalah celah yang selalu dijadikan jalan masuk
oleh musuh-musuh Islam. Ia juga mengutuk ulama-ulama yang fatwanya
berubah tumpul ketika menghadapi para penguasa, orang-orang yang
mendukung kekuasaan tanpa memiliki kredibilitas syariah atau
obyektifitas, mereka tidak lagi mengindahkan nilai-nilai dan prinsip.
Demikianlah
al-Ghazali terus berjuang melalui enam ketetapan dan lebih dari 60 buku
yang berbicara mengenai problematika pemikiran Islam dengan seluruh
aspeknya. Ia terus bertanya, “siapakah yang harusnya bertanggung jawab
atas apa yang tengah menimpa umat? Anak-anaknya (mereka sendiri)?
Ataukah musuh-musuhnya?
Pintu Kedua: Al-Ghazali dan Manhaj
Dalam
setiap fase pemikirannya, al-Ghazali tidak pernah menjauhi persamaan
(wahyu-realitas), ini adalah cara pandang yang integral dalam membaca
wahyu dan realita, atau katakanlah: membaca al-Qur`an dan membaca wujud
dengan semua dimensinya. Ia menafsirkan berbagai fenomena wujud dengan
instrumen wahyu (ketahuilah, bahwa bagi-Nya penciptaan dan perintah)
dan al-Ghazali tidak melihat adanya suatu pemisah antara Kitab Khaliq
dan Kitab makhluq. Hasilnya, ia menetapkan bahwa hubungan alam semesta
dengan Islam adalah hubungan yang sama antara ilmu dengan agama, yaitu
hubungan antara teori dan praktek.
Al-Ghazali mengungkapkan wujud sebagai “al-ayat ash-shamithah (ayat yang diam)” sementara al-Qur`an adalah “al-ayat an-nathiqah (ayat yang berbicara)”.[9]
Dzat yang menciptakan kehidupan, yang diselimuti berbagai rahasia ini,
tidak ingin membuatnya terkesan misterius dan sulit dipahami manusia,
karena itu, ia menciptakan agama sebagai kunci untuk membuka rahasia,
lalu Dia menjadikan al-Qur`an sebagai sumber agama. Sesungguhnya,
kesesuaian antara hakikat al-Qur`an dengan pengetahuan alam semesta
adalah sesuatu yang niscaya pada awalnya, karena Dzat yang menurunkan
al-Qur`an adalah Dzat yang menggerakkan alam semesta.[10]
Al-Ghazali
berkeyakinan bahwa ketertutupan dan kemunduran dalam membaca teks
al-Qur`an sebagai sebuah sumber legalitas hukum –dengan membacanya
secara parisal- adalah bahaya yang sangat besar, al-Qur`an harus dibaca
secara konfrehensif mencakup semua dimensinya, mengaitkan semua hubungan
yang menyimpan kesatuan pandangan dalam cara memahami alam semesta dan
kehidupan. Dari sinilah ia menyerukan untuk menjajaki tafsir mau’dhu’i (tematis), melampaui tafsir maudhi’i (analitis) yang secara historis telah berkembang.[11]
Al-Ghazali
melihat bahwa menterjemahkan al-Qur`an kedalam realita objektif tidak
akan berhasil kecuali dengan memahami hukum-hukum alam dalam masyarakat,
seperti hukum bergantinya peradaban (dan itulah hari-hari dimana Kami memutarkannya), sunah pembelaan (seandainya Allah tidak menolak (keganasan) sebahagian umat manusia dengan sebagian yang lain, pasti rusaklah bumi ini) sunah taskhir atau penundukkan (dan Dia telah menundukkan bagi kalian...) sunah pertolongan (jika kalian menolong Allah, maka Dia akan menolong kalian) dan sunah perubahan (Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum, sehingga mereka merubah dirinya sendiri).
Sesungguhnya
kesadaran akan sunah alam dan mengakomodasi data-datanya akan
memberikan dorongan kepada manusia untuk mempelajari sejarah kekalahan
dan kemenangan, kemajuan dan kemunduran, mendorong akal semakin kreatif,
jauh dari tawakul (ketergantungan), kebekuan dan pentakwilan yang tidak
efektif. Sesungguhnya pemahaman akan sunnatullah akan merubah pemahaman
menjadi pemikiran, dari pemikiran kemudian menjadi kekuatan gerakan dan
dari gerakan menuju kemenangan.[12]
Al-Ghazali
menegaskan pentingnya ikatan antara budaya dan politik agar kesadaran
budaya tidak hanya terbang di alam imajinasi. Karena kesadaran politik
lebih dekat dengan realita yang bisa mewujudkan kemaslahatan ummat. Ia
juga berpendapat, bahwa krisis pemikiran yang kini terjadi, diawali
degan berakhirnya khilafah rasyidah, ketika ilmu dipisahkan dari
pemerintahan dan jabatan pemerintahan dipegang oleh penguasa. Ketika
itu, kosa kata kebudayaan Islam hanya tergenggam erat di tangan para
ulama sehingga mengakibatkan kebekuan fikih siyasah dan perundangan.
Khazanah klasik ini kemudian diwariskan kepada generasi berikutnya dalam
keadaan tidak berdaya untuk menjawab tantangan zaman, akibatnya,
westernisasi dan perampokan pemikiran menjadi salah satu respon untuk
menggantikannya.[13]
Al-Ghazali
menggunakan begitu banyak metode, mulai dari yang sederhana hingga yang
paling kompleks untuk mengakarkan pergerakan umat dan kebangkitannya,
menyingkap kemurnian dasar-dasar akidah Islam. Ia juga menganalisa
dengan cermat pergerakan sejarah untuk meneliti titik lemah yang
diwarisi generasi sekarang dari generasi sebelumnya, ia berkata,
“Sesungguhnya kekacauan dalam tataran budaya dan politik umat kita
bukanlah tanggung jawab satu generasi saja. Kita, kaum muslimin yang
hidup sekarang, tidak hanya menderita karena keadaan Islam sekarang,
akan tetapi karena perbuatan manusia terdahulu dan kita memetik apa yang
mereka tanam.[14]
Berdasarkan hal itu, ia memahami kronologi sejarah bukan sekedar
mencatat berbagai kemenangan atau kekalahan dalam peperangan, akan
tetapi autentikasi dalam level akidah dan etika serta kemampuan
menterjemahkan nilai ke dalam realita kehidupan.
Pintu Ketiga: al-Ghazali dan Verifikasi
Berdasarkan
realitas yang terjadi, al-Ghazali menegaskan bahwa celah yang lebar
antara umat dengan Islam menimbulkan kekacauan yang merebak menguasai
segala sesuatu. Islam yang haq hampir saja tidak lagi terlihat jelas di
antara membanjirnya ajaran warisan yang remeh dan gulungan formalitas.
Sungguh sebuah pengakuan yang sangat mengerikan dan menjadikan
tanggungjawab yang dipikul para reformis demikian besar, menegaskan
peran mereka dalam proses memberikan sumbangsih, baik sekarang maupun
yang akan datang. Dan pada saat kaum fakir letih mencari kebenaran,
mereka tidak menemukan kecuali budaya palsu, atau, ummat yang kebanyakan
tidak mengetahui agamanya dan mungkin merasa cukup dengan apa yang
mereka warisi sesuai takdir –ini adalah kata-kata al-Ghazali sendiri!
Langkah
pertama untuk meluruskan hal itu, seperti yang diyakini al-Ghazali,
adalah menjadikan fikih sebagai instrumen syariah dan aturannya menjadi
sedemikian real –tidak bertentangan dengan al-Qur`an dan Sunnah yang
sahih. Seraya menegaskan bahwa sunnah yang sahih tidak hanya hadis-hadis
yang shahih secara sanad saja, akan tetapi sahih matannya dan menyatu
dengan hakikat ajaran Islam lainnya yang telah ditetapkan secara
permanen dalam agama. Karena, sesungguhnya salaf, kata al-Ghazali,
sangat memperhatikan sanad, mereka mengunci dirinya untuk mempelajari
perawinya akan tetapi tidak memperhatikan matan. Dan ini adalah keliru,
karena perhatian terhadap sanad bukanlah tujuan aslinya, akan tetapi
tujuan aslinya adalah untuk menilai matan.[15]
Dengan demikian, al-Ghazali mendekati mazhab ahlul bait yang
berpendapat pentingnya mengkonfrontasi hadits dengan al-Qur`an dan
Sunnah agar diketahui sahih dan cacatnya.
Sekali
lagi, al-Ghazali menegaskan kegigihnnya akan sunnah yang sahih dan kuat
hujjahnya, ia juga menegaskan hubungan keterkaitan antara al-Qur`an
dengan Sunnah, ia menyerukan utuk memahami Sunnah dalam cahaya pemahaman
al-Qur`an. Al-Ghazali menolak pengambilan hadits ahad sebagai landasan
untuk menetapkan masalah akidah bagi kaum muslimin, meskipun hadits itu
sahih, karena hadits ahad tidak menimbulkan pengetahuan yang yakin.
Selain itu, al-Ghazali juga menyerukan agar kaum muslimin tidak memahmi
Sunnah secara parsial, akan tetapi, ia menyerukan agar memahami berbagai
riwayat yang datang dalam satu tema, seraya mampu membedakan media dan
tujuan dalam Sunnah.[16]
Metode
verifikasi dalam interaksi dengan sunnah ini mendorongnya untuk menolak
banyak hadits yang dihukumi sahih oleh ahli sanad dan tetap hukumnya,
seperti hadits Ummul Mukminin Aisyah ra, “jika wanita tengah haid
maka tidak halal baginya untuk memperlihatkan (kepada mahramnya),
kecuali wajahnya dan apa yang ada di bawah pergelangan tangan.”
Al-Ghazali berkata: hadits ini menyelisihi teks yang jelas dalam
al-Qur`an yang membolehkan wanita memperlihatkan perhiasannya di hadapan
anak saudara laki-laki atau saudara perempuannya. Ia juga berkata:
hadits ini batil, dihukumi dengan batil karena menyelisihi, dengan
demikian tidak diperlukan lagi pembahasan kesahihan dari segi sanadnya.[17], [18]
Al-Ghazali melihat bahwa fikih Islam sangat memerlukan fikih dakwah[19],
maksudnya, hukum tidaklah diambil kecuali dalam rangka menyebarkan
Islam dan menerapkan konsep pemikiran dan kebijakannya dalam negara,
janganlah sebagian fatwa yang dikeluarkan secara parsial membuat Islam
sulit diterima sebagai agama dan aturan kehidupan. Sungguh al-Ghazali
merasa takjub dengan perselisihan sengit antara ahli fikih kaum muslimin
yang memperdebatkan masalah minum dengan berdiri atau duduk,
memendekkan pakaian, memelihara janggut dan hal-hal sejenisnya.
Al-Ghazali
berkeyakinan bahwa persatuan umat Islam secara pemikiran, akidah, dan
eksistensi adalah dinding yang kokoh, dengan demikian tidaklah
seharusnya perselisihan dalam masalah furu dan parsial menjadi sebab
rusaknya apa yang dibangun hal-hal yang substansial.
Dengan demikian. Al-Ghazali bisa dikatakan sebagai da’i taqribi
yang tidak mengakui adanya dikotomi, seperti yang disebutkan beberapa
fatwa. Ia juga tidak tunduk pada kompleksitas yang sengaja diciptakan
sebagian orang untuk menghalangi persatuan kaum muslimin, dari mazhab
apapun dan dari golongan manapun ia.
Al-Ghazali
tidak memusingkan frame akidah Thahawiyah, selama pemahamannya terhadap
koridor ini berada dalam lapangan dakwah kepada Islam. Ia juga tidak
memperdulikan takwil Abu Hasan al-Asy’ari selama takwil ini berpegang
pada pemahaman al-Qur`an secara umum. Ia tidak ingin “menghidupkan
permusuhan Islam klasik” sehingga dari reruntuhannya tercipta masalah
dan problematika baru.[20]
Al-Ghazali,
dengan sistem berpikirnya, menolak semua bentuk fanatisme terhadap
madzhab tertentu, ia juga menolak pemaksaan manusia agar mengikuti satu
ijtihad saja, seolah-olah ijtihad itu adalah Islam itu sendiri. Ia
melihat, berpecahnya manusia menjadi kelompok-kelompok di bawah panji
mazhab membuat mereka seolah mengikuti syariat yang bermacam-macam,
bukan lagi putera dari agama yang satu, sebagai akibat dari fanatisme[21].
Sesungguhnya pemahaman al-Ghazali dan teori dakwahnya berdiri di atas
penghormatan atas semua mazhab fikih, baik yang diikuti maupun yang
tidak, akan tetapi tanpa harus fanatik terhadap salah satu mazhab saja.
Ia juga sangat menghormati dua madrasah fikih, madrasah atsar dan
madrasah ra`yi.[22]
Ia tidak condong kepada salah satunya kecuali sekedarnya saja, dalam
hal yang berkaitan dengan realitas kaum muslimin, sehingga bisa mengusir
kesewenang-wenangan, mencegah kezaliman atau menjelaskan
perkara-perkara syubhat.
Al-Ghazali
menyesalkan mayoritas kaum muslimin atas keterjebakan mereka dalam
fanatisme mazhab dan keterbatasan mereka terhadap ijtihad imam-imam
mazhab yang empat dan tidak mengambil imam-imam yang lain yang juga
memiliki kedudukan yang tinggi, seperti Imam Shadiq, Imam Zaid bin Ali,
Abu Ja’far ath-Thabari, al-Auza’i dan selainnya.[23]
Ia
juga menegaskan bahwa tidak ada perbedaan antara syiah dengan ahli
sunnah dalam masalah ushul, perbedaan di antara keduanya hanya dalam
masalah furu’ fikih seperti pebedaan di antara empat madzhab.
Salah
satu makalahnya yang terkenal berbunyi: Sesungguhnya mushaf yang sama
dicetak di Kairo, lalu mushaf itu disakralkan kaum Syiah di Najaf atau
di Teheran, mereka kemudian menggulirkan mushaf itu di tangan-tangan
mereka dan di rumah-rumah mereka tanpa ada suatu tujuan khusus apapun di
hati mereka, kecuali menghormati Kitab, Dzat yang menurunkannya dan
rasul yang menyampaikannya.
Kemudian
ia berkata kepada orang yang menuduh Syiah memiliki al-Qur`an lain,
selain al-Qur`an ini, “Mengapa tidak ada satupun, baik manusia atau jin,
yang memeriksa al-Qur`an ini sepanjang zaman ini? Mengapa harus ada
kebohongan ini?!
Dan bagi orang yang mengada-ada kedustaan dan menyebarkannya di antara sesama saudara agar mereka berburuk sangka terhadap saudara yang lain, dan terkadang mereka berburuk sangka kepada kitab mereka??!”[24]
Ia
berkata, "Sebenarnya, disana ada manusia-manusia yang sibuk melakukan
dakwah Islamiyah, sementara dalam hatinya masih menyimpan rasa dengki
kepada hamba-hamba Allah, masih memiliki kehendak untuk mengkafirkannya
atau mengorbarkan keburukan. Sebuah rasa dengki yang tidak tumbuh
kecuali dalam hati manusia sombong dan haus darah, meskipun mereka
mengira bahwa dirinya adalah kaum agamawan."[25]
Inilah
ketiga jalan masuk, kami bukakan untuk kita renungkan sumbangsih yang
luar biasa dari dai ini, seorang dai yang meyakini bahwa dakwah
islamiyah adalah kompas yang menunjukkan benar dan salah dalam sejumlah
pemikiran, konsep, metode, akidah bahkan hukum!
Dai
yang berpendapat bahwa masalah dunia Islam sangat sulit dipecahkan, dan
hendaklah setiap muslim memahami bahwa ini adalah suatu hal yang serius
bukan main-main! Membiarkan kekacauan ini terjadi adalah jalan menuju
kekufuran...jika bukan kekufuran itu sendiri![26]
Segala puji bagi Allah, di awal dan akhir.
Biografi singkat al-Ghazali
· Muhammad al-Ghazali dilahirkan pada tahun 1917 M
· Masuk sekolah Dasar dan menghafal al-Qur`an sejak dini sebagai persiapan masuk Al-Azhar
· Lulus dari Ma’had Iskandariah tahun 1938 M
· Masuk fakultas Ushuluddin, Universitas al-Azhar dan lulus tahun 1941 M.
·Melanjutkan pendidikan magister hingga mendapatkan ijasah dalam Dakwah wal Irsyad
· Mendapatkan ijasah mengajar internasional 1943 M.
· Terpilih menjadi imam dan khatib di masjid Atabah al-Khadira Kairo, tahun 1943 M.
· Menjabat sebagai wakil mentri agama
· Menulis lwbih dari 60 buku dalam bidang pemikiran Islam dan dakwah
· Menjadi pembimbing berbagai penulisan tesis dan disertasi
· Merancang metode pengembangan pendidikan al-Azhar
· Mendapatkan Bintang Republik dari Mesir
· Mendapatkan bintang jasa Raja Faishal dalam bidang pelayanan Islam
· Menjadi tamu negara kehormatan di Kerajaan Saudi, Qatar dan Sudan
· Menjabat sebagai profesor di Universitas Aljazair tahun 1989-1984 M.
· Mendapatkan medali kehormatan tertinggi di Mauritania
· Mendapatkan medali kehormatan tertinggi di Aljazair
· Pada tahun 1990, mendapatkan penghargaan nasional dari pakistan sebagai penghargaan atas jasanya dalam dakwah.
· Pada tahun 1996, dianugerahi bintang pertama Malaysia
· Bukunya diterjemahkan kedalam berbagai bahasa
· Guru-gurunya: Syeikh Abdul ‘Azhiem az-Zarqani, Syeikh Ibrahim al-Gharbawi, Syeikh Abdul Aziz Bilal, Syeikh Muhammad Syaltut, Imam Hassan al-Banna dan al-‘Anani.
· Al-Ghazali sangat berperan dalam pembebasan para tawanan Mesir di Iran, ia juga pergi ke Bosnia dan Herzegovina untuk bergabung dengan kaum muslimin disana.
· Al-Ghazali adalah seorang yang disiplin, ramah, merakyat, rendah hati dan berpikir jernih. Ia adalah seorang sastrawan, mujtahid, da'i dan berfitrah lurus. Ia memberikan sumbangsih yang angat berharga bagi khazanah perpustakaan islam dengan buku-buknya, di antaranya:
· Muhammad al-Ghazali dilahirkan pada tahun 1917 M
· Masuk sekolah Dasar dan menghafal al-Qur`an sejak dini sebagai persiapan masuk Al-Azhar
· Lulus dari Ma’had Iskandariah tahun 1938 M
· Masuk fakultas Ushuluddin, Universitas al-Azhar dan lulus tahun 1941 M.
·Melanjutkan pendidikan magister hingga mendapatkan ijasah dalam Dakwah wal Irsyad
· Mendapatkan ijasah mengajar internasional 1943 M.
· Terpilih menjadi imam dan khatib di masjid Atabah al-Khadira Kairo, tahun 1943 M.
· Menjabat sebagai wakil mentri agama
· Menulis lwbih dari 60 buku dalam bidang pemikiran Islam dan dakwah
· Menjadi pembimbing berbagai penulisan tesis dan disertasi
· Merancang metode pengembangan pendidikan al-Azhar
· Mendapatkan Bintang Republik dari Mesir
· Mendapatkan bintang jasa Raja Faishal dalam bidang pelayanan Islam
· Menjadi tamu negara kehormatan di Kerajaan Saudi, Qatar dan Sudan
· Menjabat sebagai profesor di Universitas Aljazair tahun 1989-1984 M.
· Mendapatkan medali kehormatan tertinggi di Mauritania
· Mendapatkan medali kehormatan tertinggi di Aljazair
· Pada tahun 1990, mendapatkan penghargaan nasional dari pakistan sebagai penghargaan atas jasanya dalam dakwah.
· Pada tahun 1996, dianugerahi bintang pertama Malaysia
· Bukunya diterjemahkan kedalam berbagai bahasa
· Guru-gurunya: Syeikh Abdul ‘Azhiem az-Zarqani, Syeikh Ibrahim al-Gharbawi, Syeikh Abdul Aziz Bilal, Syeikh Muhammad Syaltut, Imam Hassan al-Banna dan al-‘Anani.
· Al-Ghazali sangat berperan dalam pembebasan para tawanan Mesir di Iran, ia juga pergi ke Bosnia dan Herzegovina untuk bergabung dengan kaum muslimin disana.
· Al-Ghazali adalah seorang yang disiplin, ramah, merakyat, rendah hati dan berpikir jernih. Ia adalah seorang sastrawan, mujtahid, da'i dan berfitrah lurus. Ia memberikan sumbangsih yang angat berharga bagi khazanah perpustakaan islam dengan buku-buknya, di antaranya:
Al-Islâm wa al-Mânâhij al-Isytirâkiyyah
Al-Islâm wa al-Istibdâd as-Siyâsi
Al-Islâm al-Muftarâ ‘Alaih Min asy-Syuyu’iyyin wa Ra`sumaliyyîn
Min Hunâ Na’lam
Taammulât fi ad-Dîn wa al-Hayât
‘Aqîdah al-Muslim
Khulq al-Muslim
Fiqh as-Sirah
Fi Maukab ad-Da’wah
Laisa Min al-Islâm
Min Ma’âlim al-Haq
Al-Isti’mâr wa Athmâ`
Nazharât fi al-Qur`an al-Karîm
Ma’a Allâh; Dirâsât fi ad-Da’wah wa ad-Du’ât
Ma’rakah al-Mushaf
Al-Islâm wa Ath-Thâqât al-Mu’âththalah
Haqîqah al-Qaumiyyah al’Arabiyyah, Wa Usthûrah al-Ba’ts al-‘Arabi
Al-Jânib al-‘Athifi fi al-Islâm
Al-Haqq al-Murr (5 jilid)
Al-Islâm wa al-Istibdâd as-Siyâsi
Al-Islâm al-Muftarâ ‘Alaih Min asy-Syuyu’iyyin wa Ra`sumaliyyîn
Min Hunâ Na’lam
Taammulât fi ad-Dîn wa al-Hayât
‘Aqîdah al-Muslim
Khulq al-Muslim
Fiqh as-Sirah
Fi Maukab ad-Da’wah
Laisa Min al-Islâm
Min Ma’âlim al-Haq
Al-Isti’mâr wa Athmâ`
Nazharât fi al-Qur`an al-Karîm
Ma’a Allâh; Dirâsât fi ad-Da’wah wa ad-Du’ât
Ma’rakah al-Mushaf
Al-Islâm wa Ath-Thâqât al-Mu’âththalah
Haqîqah al-Qaumiyyah al’Arabiyyah, Wa Usthûrah al-Ba’ts al-‘Arabi
Al-Jânib al-‘Athifi fi al-Islâm
Al-Haqq al-Murr (5 jilid)
Syeikh Muhammad al-Ghazali wafat pada tanggal 19 Syawwal 1416 H bertepatan dengan 9 Maret 1996 M, semoga keselamatan mengirinya pada hari ia dilahirkan, hari ia meninggal dan hari ketika ia dibangkitkan kembali.
Oleh: Jawad Jamal
Peneliti dari Irak
[1] Humûm ad-Da’iyah, 1403, al-Ghazali, Muqaddimah
[2] As-Sunnah Nabawiyyah Baina Ahli al-Fiqh wa Ahl al-Hadits, Dar Shuruq, 1989, hlm. 7
[3] Al-Ghazali fi Aljazair, Maulud Umair, al-Ma’had al-Uruby - Paris
[4] Humûm ad-Da’iyah, hlm.10
[5] Nazharât fi al-Qur`an, hlm. 23
[6] Al-Athâ` al-Fikri li al-Ghazali, Dr. Ishaq Farhan, hlm. 23
[7] Ibrahim Syabuh, hlm. 14, al-Islâm wa al-Istibdâd as-Siyasi, al-Ghazali, Muqaddimah.
[8] Humûm ad-Da’iyah, hlm. 22
[9] Nazharât fi al-Qur`an, hlm. 12
[10] Nazharât fi al-Qur`an, hlm. 13
[11] Al-Ghazali wa Ru`yatuh al-Manhajiyyah, Ali Jum’ah, Profesor Ushul Fikih Universitas al-Azhar.
[12] Sirru Taakhkhur al-‘Arab wa al-Muslimin, al-Ghazali, 1987, Sunan Allah al-Kauniyyah
[13] Al-Athâ` al-Fikri li al-Ghazali, Makalah Dr. Ahmad al-Ashbahi, hlm. 44
[14] Sirru Taakhkhur al-‘Arab wa al-Muslimin, al-Ghazali, 1987.
[15] Laisa Min al-Islâm, hlm. 40
[16] As-Sunnah An-Nabawiyyah, al-Ghazali, hlm. 30, 24, 52, 103, 119 dan 132
[17] Hâdzâ Dînunâ, hlm. 167.
[18] Al-Islâm wa Ath-Thâqât al-Mu’âththalah, hlm. 27
[19] Asy-Syeikh al-Ghazali Kamâ ‘Araftuh, Qardhawi, hlm. 177
[20] Humûm ad-Da’iyah, al-Ghazali, hlm. 17
[21] Al-Islâm wa Ath-Thâqât al-Mu’âththalah, hlm. 75
[22] Asy-Syeikh al-Ghazali kamâ ‘Araftuh, Qardhawi, hlm. 174
[23] Dustûr Wihdah ats-Tsaqafiyah, hlm. 78-79
[24] Difâ’ ‘An al-‘Aqîdah wa asy-Syarî’ah, 1975, hlm. 264
[25] Humûm ad-Da’iyah, al-Ghazali, hlm. 164
[26] Ibid.
0 komentar:
Posting Komentar