Jumat, 13 Januari 2012

Perbedaan masalah Furuk

E-mail

faktor perbedaan dalam masalah furukMasalah-masalah yang terkandung dalam dalil dan sumber ijtihad terbagi ke dalam dua kategori: aksiomatis dan teoritis. Masalah jenis pertama tidak diperselisihkan di antara ulama mazhab-mazhab Islam, semisal kewajiban shalat, kewajiban puasa, kewajiban haji, keharaman memakan harta dengan cara yang batil, keharaman riba, keharaman zina, kebolehan hal-hal yang baik, dan keharaman perbuatan keji. Sebab, hukum-hukum tersebut diterangkan dengan jelas dalam sumber-sumber syariat mengenai kewajiban, keharaman, dan kebolehannya. Hukum tersebut digali dari dalil-dalil yang tidak memerlukan pemikiran dan ijtihad, karenanya ia merupakan kebenaran yang senantiasa bertahan setiap saat, tidak berubah sedikit pun meski ruang, waktu dan situasi terus berubah hingga hari kiamat lantaran keberadaannya tidak dibangun atas dasar ijtihad, sehingga dikatakan bahwa hukum yang dibangun atas dasar ijtihad akan berubah seiring dengan perubahan ruang, waktu, dan keadaan.
Adapun masalah jenis kedua menjadi bahan perselisihan di antara ulama mazhab, semisal tentang syarat-syarat sebuah kewajiban, bagian-bagiannya, dan halangan-halangannya. Sebab, masalah-masalah tersebut tidak secara jelas tertuang dalam dalil dan sumber-sumber ijtihad. Keberadaannya pantas untuk diperselisihkan dan dilihat dari berbagai sudut pandang. Masalah-masalah furuk semacam ini oleh syariat dijadikan sebagai objek ijtihad para mujtahid, karena tidak mungkin mengeluarkan hukumnya dari sumber-sumbernya tanpa ijtihad dan melakukan pemikiran. Maka itu, hukum semacam ini tidak tetap, bisa dikurangi dan bisa pula ditambah karena keberadaannya dibangun atas dasar ijtihad. Seiring berubahnya ruang, waktu, dan keadaan, hukum itu pun turut berubah berdasarkan sumber-sumbernya.
Apapun masalahnya, perbedaan pendapat dalam masalah-masalah furuk yang teoritis di antara para ulama adalah sesuatu yang normal dan berlaku dalam segala hal, baik dalam masalah fikih maupun masalah lainnya. Bahkan, perbedaan pendapat bukan hanya terjadi di kalangan ulama Islam, melainkan terjadi pula di kalangan intelektual sekte-sekte dan agama-agama lain.
Sangatlah tepat bila di sini saya menyajikan contoh. Maka itu saya katakan: tidak ada seorang pun dari ulama kaum Muslimin yang memperselisihkan bahwa kaki adalah anggota wudhu, karena dalilnya jelas, yaitu firman Allah Swt, “Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu hendak melaksanakan shalat, maka basuhlah wajahmu dan tanganmu sampai ke siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kedua kakimu sampai ke kedua mata kaki....[1] Perbedaan pendapat terjadi di antara ulama dalam hal cara menyucikannya, karena caranya tidak diterangkan di dalam ayat, apakah disapu, dibasuh, boleh memilih di antara keduanya, ataukah digabungkan di antara keduanya?
Dalam masalah ini ada beberapa pendapat:
Pertama, disapu. Pendapat ini dianut oleh ulama fikih dari kalangan Imamiyah dan sejumlah ahli fikih dari kalangan sahabat dan tabiin, semisal Ibnu ‘Abbas, ‘Ikrimah, Anas, al-Sya‘bi, Abu al-‘Aliyah, tanpa membedakan bacaan kata al-arjul dalam ayat tersebut antara dibaca jarr (baca: al-arjuli) dan nashab (baca: al-arjula).[2]
Kedua, dibasuh. Pendapat ini dikemukakan oleh ahli fikih dari kalangan mazhab Hanafiyah, Malikiyah, Syafi‘iyah, Auza‘iyah, Sufyaniyah, Ibadhiyah, Tamimiyah, Nakha‘iyah, Laitsiyah, dan lain-lain dengan dua cara bacaan kata al-arjul. [3]
Ketiga, boleh memilih antara disapu dan dibasuh. Pendapat ini dipegang oleh ulama dari kalangan mazhab Tsauriyah, Bashariyah, Zhahiriyah dan Juraihiyah, karena tidak ada dalil yang mengunggulkan salah satu cara baca kata al-arjul atas cara baca lainnya.[4]
Keempat, menggabungkan antara disapu dan dibasuh. Pendapat ini dipilih oleh ulama mazhab Zhahiriyah dan para imam pembela kebenaran dari kalangan mazhab Zaidiyah,[5] karena ragam bacaan kara al-arjul dan adanya pengetahuan umum antara mengusap dan membasuh yang menuntut penggabungan antara keduanya.
Bagaimana kesimpulannya? Saya telah menceritakan dalil dari pendapat-pendapat di atas secara terperinci dalam buku saya yang berjudul Durus fi Fiqh al-Muqaran, jilid pertama. Untuk mengetahui lebih lanjut, sila dirujuk buku tersebut.
Contoh kedua: tidak ada seorang ulama mazhab pun yang memperselisihkan bahwa berkemampuan adalah poin pokok kewajiban haji, karena dalilnya sangat jelas, yaitu firman Allah Swt, “Dan di antara kewajiban manusia terhadap Allah adalah melaksanakan ibadah haji ke Baitullah, yaitu bagi orang-orang yang mampu mengadakan perjalanan ke sana. Barang siapa mengingkari (kewajiban) haji, maka ketahuilah bahwa Allah Mahakaya (tidak memerlukan sesuatu) dari seluruh alam.[6]
Perbedaan pendapat di antara ulama terjadi dalam hal maksud mampu itu sendiri, apakah secara akal, secara syariat, ataukah secara adat (‘urf)? Perbedaan pendapat terjadi mengingat tidak ada penjelasan yang jelas tentang salah satu dari ketiganya dalam ayat tersebut.
Di antara ulama ada yang berpendapat bahwa yang dimaksud mampu di sini bisa secara akal, secara syariat, atau secara adat. Itu karena tidak ada keterangan yang jelas mengenai salah satu dari ketiganya dalam ayat tersebut. Sebagian dari mereka berkeyakinan bahwa yang dimaksud mampu di sini adalah secara akal. Inilah pendapat yang dianut oleh Malik bin Anas al-Ashbahi, imam dari mazhab Maliki. Menurutnya, itulah kesimpulan yang dihasilkan dari pembacaan ayat secara harfiah dan menafsirkannya dengan perbekalan, kendaraan dan aman di perjalanan, karena haji tidak mungkin dilakukan tanpa itu semua.
Sebagian ulama lain berkeyakinan bahwa yang dimaksud dengan mampu di sini adalah secara adat. Pendapat ini dihubungkan kepada ‘alam al-huda Sayyid al-Murtadha, karena menurutnya informasi yang ada dalam tafsirnya tidak menunjukkan sesuatu yang melebihi kemampuan secara adat.
Ulama yang lain berkeyakinan bahwa yang dimaksud mampu di sini adalah secara syariat. Pendapat ini dipegang oleh ulama fikih dari kalangan Imamiyah, Hanifiyah, Syafi‘iyah, Hanabilah, dan lain-lain, karena khabar yang diriwayatkan dalam tafsirnya menunjukkan bahwa mampu di sini adalah kuat secara fisik dan keluasan rezeki, atau dengan kata lain ada bekal, kendaraan, aman di perjalanan, dan kembali dengan berkecukupan.
Contoh ketiga: tidak seorang pun ulama mazhab Islam yang menentang bahwa nyanyian itu haram apabila diiringi dengan kemaksiatan dan keharaman, atau dijadikan sarana keharaman. Mereka berselisih pendapat apabila nyanyian tidak dibarengi dengan kemaksiatan dan keharaman. Imam al-Syafi‘i, al-Ghazali, al-Nabulsi dan Syaikh Syaltut—dalam risalah al-Fatawa-nya—menyatakan ketidakharamannya. Pendapat ini juga dipegang oleh sejumlah ulama dari kalangan Imamiyah, semisal al-Faidh al-Kasyani dan al-Muhaqqiq al-Sabzawari. Sementara itu, Imam Abu Hanifah, Malik, Ahmad bin Hanbal, Ibn al-Jauzi, dan al-Jazairi, pengarang al-Fiqh ‘alâ al-Madzâhib al-Arba‘ah, menyatakan keharamannya.
Saya sudah meneliti masalah ini tanpa menafikan di antara dua pandangan di atas, karena yang dimaksud oleh ulama yang menyatakan keharamannya itu sendiri adalah nyanyian dengan pengertiannya secara syariat yang merupakan objek bagi hukum syariat, yaitu senyawa suara yang dilantunkan untuk tujuan menghibur (entertainment), jika terdiri dari musik saja, atau karena memuat kata-kata yang batil jika nyanyian tersebut juga ada liriknya. Adapun nyanyian yang dimaksudkan oleh ulama yang tidak mengharamkan itu sendiri adalah nyanyian dengan pengertian secara bahasa yang bukan menjadi objek hukum syariat. Sejauh penelitian saya dalam masalah ini, nyanyian tersebut sederhana dan tidak kompleks. Makna yang terakhir ini lebih umum dari makna sebelumnya, karena mencakup semua suara yang baik. Dalam sejumlah hadits ada perintah untuk melagukan al-Qur’an. Melagukan al-Qur’an berarti memperindah suara yang tidak mungkin dicapai tanpa disenandungkan.
Sebab-sebab Perbedaan
Bagaimanapun juga, perbedaan pendapat para ulama dalam masalah-masalah furuk yang teoritis dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Perbedaan pendapat terkait beberapa sumber dan dalil ijtihad
Tidak ada kesamaan pendapat dari seluruh mazhab dalam hal mempertimbangkan seluruh sumber dan dalil, justru ada perbedaan pendapat di antara mereka mengenai beberapa sumber dan dalil. Tepat sekali saya sebutkan di sini beberapa contoh di antaranya:
· Istihsan. Imam Abu Hanifah menganggap istihsan—yang diletakkan dasar-dasarnya oleh ‘Abdullah bin ‘Umar—sebagai salah satu sumber penetapan hukum. Sementara itu, Imam Muhammad bin Idris al-Syafi‘i, ulama mazhab Imamiyah, Zhahiriyah, Auza‘iyah dan Tsauriyah tidak menggunakannya. Al-Syafi‘i sendiri mengarang sebuah buku untuk membatalkan istihsan. Dia mengkritik istihsan dengan ungkapan yang sangat keras, di mana dia mengatakan, “Istihsan adalah bersenang-senang. Barang siapa ber-istihsan, maka dia telah mengada-adakan hukum syariat.”[7] Maksudnya, dia menghendaki dirinya menjadi pembuat syariat atau mujtahid.
· Mashalih Mursalah, ‘Amal Ahlu Madinah, Saddu Dzari‘ah, dan Fathu Dzari‘ah. Imam Malik menerima itu semua sebagai sumber penetapan hukum. Sementara itu, ulama mazhab Imamiyah, Hanafiyah, Laitsiyah, Syauriyah, Auza‘iyah tidak menerimanya secara mutlak. Adapun Imam Ahmad bin Hanbal menerimanya untuk kondisi darurat.
· Istishlah. Metode ini dipakai di kalangan pengikut mazhab Hanafiyah. Merekalah yang meletakkan dasar-dasarnya sebagai dasar bagi penetapan hukum. Sementara itu, ulama yang lain tidak menggunakannya.
2. Perbedaan pendapat terkait syarat-syarat dalil hukum
Abu Hanifa antara lain—sebagaimana sudah diketahui—menyatakan bahwa ke-mutawatir-an merupakan syarat dalam mempertimbangkan sebuah hadits. Sementara itu, al-Syafi‘i, Malik, ulama fikih Syi‘ah Imamiyah—selain al-Syarif al-Murtadha—dan Ahmad bin Hanbal tidak memandangnya sebagai syarat. Mereka justru lebih mempertimbangkan ke-tsiqah-an, meskipun hadits ahad. Bahkan Imam Ahmad bin Hanbal dan beberapa ahli hadits dari kalangan Syi‘ah tidak mempertimbangkan ke-mutawatir-an dan ke-tsiqah-an dalam menerima hadits.
3. Perbedaan pendapat terkait jenis-jenis dalil
Para imam mazhab sepakat menerima qiyas aulawi dan qiyas yang disebutkan ilatnya dalam nas. Ulama hanya berbeda pendapat dalam beberapa jenis qiyas saja, yaitu qiyas tamtsil dan qiyas tasybih. Ulama mazhab hanafiyah dan mazhab Ibn Abi Laila menganggapnya sebagai salah satu sumber penetapan hukum, sementara ulama mazhab Zhahiriyah, Tsauriyah, dan Auzaiyah tidak demikian.
4. Perbedaan pendapat terkait fase penggalian hukum dari dalil-dalinnya
Contohnya sudah dikemukakan di bagian awal tulisan.
5. Perbedaan pendapat dalam mempertimbangkan sebuah dalil
Sebagai contoh adalah ijmak. Ulama mazhab yang empat menganggap ijmak sebagai hujah dan menilainya sebagai sumber yang mandiri. Sementara itu, Syi‘ah Imamiyah tidak menilainya demikian dan tidak menganggapnya sebagai hujah. Mereka menganggapnya sebagai hujah jika mengungkapkan pendapat Nabi Saw atau imam maksum.
Contoh lainnya adalah ijtihad. Imam mazhab yang empat menganggapnya sebagai salah satu cara berpikir dan sumber yang mandiri. Sementara itu, ulama fikih Syiah menolaknya. Dengan kata lain, imam mazhab yang empat menganggap ijtihad sebagai tujuan, sementara ulama Syi‘ah menganggapnya sebagai sarana untuk diterapkan dalam sumber-sumber hukum guna menggali hukum syariat atas berbagai peristiwa yang terjadi dan isu-isu baru.
6. Perbedaan pendapat dalam berpegang kepada lahiriah lafaz yang ada dalam dalil-dalil ijtihad, antara keharusan berhenti sampai di situ atau tidak.
7. Perbedaan pendapat terkait tanda-tanda yang ada dalam elemen-elemen khusus untuk istinbath, antara membatasinya atau tidak.
8. Perbedaan pendapat dalam membatasi topik-topik yang diambil dari dalil.
9. Perbedaan pendapat dalam hal harus dan tidaknya mencermati dan meneliti syarat-syarat berbagai topik sepanjang zaman.
10. Kontradiksi sejumlah hadits, terutama hadits-hadits yang berhubungan dengan syarat-syarat hukum, bagian-bagian, dan halangan-halangannya yang diriwayatkan dengan satu atau banyak perantara, serta kontradiksi beberapa riwayatnya. Di antara penyebab utamanya dapat disebutkan sebagai berikut:
· Perbedaan para sahabat dalam menentukan hadits Rasul Saw;
· Perbedaan para sahabat dalam tingkatan menghafal hadits;
Tidak semua sahabat menghadiri berbagai kesempatan di mana Rasulullah Saw. membicarakan dan menjelaskan hukum-hukum Allah Swt. Itulah sebabnya tidak semua sahabat mengetahui hadits secera utuh. Sahabat yang hadir sejak awal mungkin menguasai seluruh pembicaraan Rasulullah Saw, tapi para sahabat yang hadir di tengah-tengah pembicaraan atau bahkan di akhir tentu tidak akan mengetahui seluruhnya. Oleh karena itu, kita tahu bahwa sepeninggal Rasulullah Saw dan setelah para sahabat berpencar ke berbagai wilayah terdapat berbagai riwayat dari mereka mengenai hukum yang berbeda-beda atas satu masalah. Pendapat sahabat yang berdomisili di Madinah berbeda dengan pendapat sahabat yang berdomisili di Mesir. Begitu juga riwayat dari sahabat yang berdomisili di Syam berbeda dengan riwayat dari sahabat yang berdomisili di tempat lain. Perbedaan riwayat ini boleh jadi karena sahabat yang berdomisili di Madinah mendengar hukum dari Rasulullah Saw yang tidak didengar oleh sahabat yang berdomisili di Mesir, atau sahabat yang berdomisili di Mesir mendengar hukum yang tidak didengar oleh sahabat yang berdomisili di Syam, atau sahabat yang berdomisili di Syam mengetahui hukum dari Nabi Saw yang tidak diketahui oleh sahabat yang berdomisili di Kufah, dan lain sebagainya.
· Sebagian perawi tidak memperhatikan berbagai fakta aktual yang mengiringi sabda Rasulullah Saw, sementara sebagian yang lain memperhatikannya.
· Tidak semua perawi berkomitmen meriwayatkan kata per kata dan kalimat per kalimat seperti yang diucapkan oleh Nabi Saw.
· Beberapa petunjuk verbal yang mengiringi hadits dihilangkan;
· Para perawi hanya meriwayatkan makna;
· Perawi memenggal-menggal hadits, semisal meriwayatkan hadits bagian awalnya saja tanpa bagian akhirnya, atau sebaliknya;
· Dalam beberapa riwayat terkadang hukum diterbitkan secara bertahap;
· Pertama-tama beberapa hukum diterbitkan secara global, kemudian diterbitkan lagi secara terperinci;
· Tidak ada kejelasan mengenai nasakh dan mansukh;
· Membuat dan menjadikan hadits maudhu‘ sebagai dasar dalam konflik sosial dan politik secara besar-besaran. Dalam ilmu hadits dan ilmu rijal disebutkan bahwa lebih dari lima puluh ribu hadits maudhu‘ telah dibuat. Hadits-hadits maudhu‘ itulah yang menyebabkan dilakukannya kritik hadits. Hadits dikritik dengan menggunakan standar khusus untuk membedakan hadits yang asli dari hadits yang maudhu‘. Setelah itu, barulah ilmu rijal dan ilmu hadits dikodifikasikan.
Perbedaan dan Budaya Persatuan
Sudah bukan rahasia lagi bahwa meskipun faktor-faktor yang telah disebutkan di atas menyebabkan para ulama berbeda pendapat dalam pelbagai masalah furuk yang teoritis, namun demikian sebagian besarnya bisa dijadikan untuk wahana pendekatan. Sebagian yang lain memang tidak bisa dijadikan wahana pendekatan, tapi perbedaannya pun tidak terbatas di kalangan beberapa mazhab saja, melainkan menyebar ke seluruh mazhab. Hal ini membuktikan bahwa pemicu perbedaan bukanlah mazhab, melainkan karena masalah tersebut merupakan masalah teoritis. Perbedaan dalam masalah teoritis adalah sesuatu yang normal. Pemicu perbedaan dalam masalah tersebut bukanlah hawa nafsu dan fanatisme, melainkan prinsip dan sumber syariat yang harus dijadikan pegangan oleh para fukaha dan para mujtahid dalam menggali hukum atas berbagai peristiwa yang terjadi dan tema-tema teranyar.
Meskipun para fukaha berkeyakinan bahwa al-Qur’an adalah sumber pertama dan Sunah Rasulullah Saw adalah sumber kedua dalam beristinbath, akan tetapi karena ada perbedaan di antara mereka dalam hal pemahaman, kaidah-kaidah teoritis, juga karena perbedaan para pakar bahasa dalam beberapa kata yang terdapat dalam dua sumber tadi, perbedaan para ahli bacaan dalam membaca beberapa kata dalam sumber pertama, perbedaan para perawi dalam meriwayatkan hadits dan menyikapi kontradiksinya, perbedaan para fukaha dalam menerima sebuah hadits, dan perbedaan para mujtahid dalam mempercayai seorang perawi dalam sumber kedua, maka perbedaan pendapat di kalangan ahli fikih terkait masalah-masalah teoritis tidak mungkin terelakkan. Perbedaan pendapat ini sendiri tidaklah membahayakan bagi umat. Itu karena dua alasan: pertama, tujuan mereka sama, yaitu sampai kepada hukum Allah dan Rasul-Nya; kedua, karena perbedaan pendapat akan memperluas khazanah fikih. Sekaitan makna ini, para ulama mengungkapkan, “Perbedaan di kalangan umat adalah rahmat bagi mereka,”[8] “Perbedaan para sahabatku adalah rahmat bagi umatku,”[9] “Perbedaan para sahabatku adalah rahmat,”[10] “Perbadaan para sahabat dalam sebuah hukum adalah perbedaan bagi umat,”[11] atau “Perbedaan umatku adalah rahmat.”[12]
Betapapun, perbedaan pendapat dalam masalah furuk di kalangan ulama fikih bukanlah bahaya. Perbedaan pendapat menjadi bahaya apabila menimbulkan pertentangan seperti yang diperingatkan oleh Allah Swt dengan firman-Nya, “dan janganlah kamu berselisih yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan kekuatanmu hilang dan bersabarlah. Sungguh, Allah beserta orang-orang sabar.[13] atau menyebabkan perpecahan yang dilarang oleh Allah dengan firman-Nya, “Dan berpegangteguhlah kamu semuanya pada tali (agama) Allah dan janganlah kamu bercerai berai. [14]
Meskipun ulama kalangan Sunni tidak berkeyakinan seperti ulama Syiah bahwa para imam Ahlul Bait diterangkan secara jelas dalam nas, tapi ulama Sunni tetap mencintai para imam Ahlul Bait dan meyakini hak-hak mereka bahwa mereka adalah pemimpin dalam ilmu dan agama, mereka adalah pemimpin yang punya keutamaan di mata umat dan memiliki kedudukan mulia di dalam Islam. Karena itu, saya berkeyakinan bahwa seluruh umat Islam adalah Sunni dan juga Syi'i. Mereka semua Sunni karena mereka mengamalkan Sunah Rasulullah Saw, dan mereka juga Syi'i karena mereka mencintai Ahlul Bait.
Sepeninggal Rasulullah Saw, jalan yang ditempuh oleh kalangan Syi'ah berbeda dengan yang ditempuh oleh kalangan Ahlu Sunnah, karena kaum Syi'ah berkeyakinan bahwa yang melestarikan Sunah Rasulullah Saw adalah Sunah para pemimpin Ahlul Bait, sedangkan Ahlu Sunnah berkeyakinan bahwa yang melestarikan Sunah Rasulullah adalah Sunah para sahabat. Meskipun demikian, tujuan keduanya sama, yaitu Sunah Rasulullah Saw. Jadi kita semua adalah umat Islam. Imam Khomaini mengatakan, “Orang-orang yang memicu pertentangan di antara kaum Muslimin bukan bagian dari Sunni, bukan pula dari Syiah.” [15]
Pemimpin Besar Revolusi Islam Ayatullah al-Udzma Sayyid Ali Khamenei mengatakan, “Orang-orang yang menyerukan persatuan umat Islam bukanlah musuh Islam. Mereka hanya menginginkan yang terbaik bagi pengikut agama mereka...” Dalam kesempatan lain beliau mengatakan, “Ketahuilah bahwa musuh-musuh Islam senantiasa menanti-nantikan kalian tertimpa kemalangan untuk merusak persatuan kalian! Karena itu berhati-hatilah dan jangan biarkan pertentangan muncul di antara kalian. Waspadalah terhadap hal-hal yang dapat memicunya dan hal-hal yang bisa dijadikan musuh sebagai lahan untuk menanamkan perpecahan....”[16]
Umat Islam hari ini harus bersatu, karena situasi dan perjalanan hidup mereka lebih berbahaya dan lebih pelik dibanding dengan zaman para sahabat, para tabiin, dan para pengikut mereka generasi pertama. Mereka tentu tahu bahwa kebijakan musuh-musuh Islam di zaman ini jauh berbeda dengan kebijakan musuh-musuh Islam di zaman-zaman itu. Kebijakan musuh-musuh Islam di zaman ini tidak dibangun atas dasar perjanjian, perundingan, kesepakatan, kecintaan, kebencian, kejujuran, atau kebohongan, melainkan dibangun atas dasar kekuatan untuk menguasai kekayaan umat Islam. Kebijakan mereka tidak didasarkan kepada fondasi yang kokoh atau logika yang benar, tapi beragam dan berubah-ubah sesuai kepentingan dan ambisi, sesuai selera, tidak mengikuti aturan, dan hanya mengikuti kepentingan tertentu.
Umat Islam berpendapat bahwa Amerika Serikat menerapkan kebijakan strategis untuk meningkatkan standar negaranya di semua bidang kehidupan. Amerika telah mengerahkan segala upaya untuk menciptakan kesenjangan, fitnah, dan kesengsaraan di negara-negara merdeka yang tidak mau tunduk kepada kebijakannya. Karena itu, betapa banyak negara yang kehilangan stabilitasnya dan kacau balau, sehingga rakyatnya tidak punya lagi kelembutan, tidak mengenal kasih sayang, tidak mempercayai kepentingan bangsa dan kemanusiaan.
Musuh-musuh Islam menyerukan resolusi Hak Asasi Manusia dalam perundang-undangan mereka, tapi sebelum tinta mengering, mereka telah berupaya menjadikan sejumlah negara menghadapi mara bahaya dan kehancuran di jantung negeri mereka sendiri. Ratusan ribu anak-anak manusia terusir dari rumah-rumah mereka menjadi mangsa kelaparan, kebodohan, dan penyakit, tidak mendapatkan kemerdekaan dan kebebasan. Musuh-musuh Islam mengklaim anti diskriminasi rasial dan sektarian, tapi pada saat yang sama mereka tutup telinga terhadap masalah Palestina, Afrika Selatan, Afrika Utara, Bosnia Herzegovina, Kasmir, Afganistas, Orang-orang Negro, dan Umat Islam di seluruh dunia. Seolah-olah mereka bukan anak manusia yang dilahirkan oleh ibu-ibu mereka dalam keadaan merdeka.
Mereka mengklaim keharaman membunuh, membakar, dan perusakan. Mereka mengancam orang-orang yang melanggar keharaman tersebut dengan hukuman yang sangat berat, tapi pada saat yang sama mereka melanggarnya terhadap umat Islam di seluruh dunia. Mereka bergembira dengan perlakukan bangsa Serbia terhadap bangsa Bosnia Herzegovina, kekejaman Yahudi di Palestina dan Libanon terhadap umat Islam, seolah-olah darah dan martabat umat Islam tidak masuk dalam naskah resolusi mereka.
Betapapun, kita tahu bahwa kemenangan umat Islam periode awal atas musuh-musuh mereka semata-mata terjadi ketika mereka bersatu padu dan menggunakan persatuan itu untuk menyebarkan agama Allah dan meninggikan kalimat-Nya, memberi petunjuk kepada manusia, mengeluarkan mereka dari menyembah berhala kepada menyembah Tuhan Yang Maha Penyayang, dari kelaliman para tiran kepada keadilan Islam, dari gulita kebodohan kepada cahaya ilmu, dan dari kekafiran kepada keimanan. Karena itu, umat Islam harus berdiri sendiri seraya memohon pertolongan kepada Allah, jangan bergantung kepada Barat atau Timur, jangan meninggalkan kepemimpinan Islam. Mereka harus meluruskan barisan dan menyatukan kata dalam menghadapi musuh-musuh Islam guna membalas permusuhan mereka terhadap umat Islam di seluruh dunia, untuk membebaskan tanah-tanah umat Islam dari tangan-tangan mereka, terutama bumi Palestina agar di sana panji Islam kembali berkibar dan umat Islam mengumandangkan pekikan Allahu Akbar.
Dengan persatuan dan mengesampingkan perbedaan, sirnalah kesedihan dan ketakutan, serta umat Islam bakal diperhitungkan sebagaimana Allah Swt berfirman, “Dan janganlah kamu (merasa) lemah, dan jangan (pula) bersedih hati, sebab kamu paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang beriman. [17] Rasulullah Saw bersabda, “Seluruh manusia adalah anak Adam, sedangkan Adam berasal dari tanah. Bangsa Arab tidak lebih unggul daripada bangsa Ajam (non-Arab), kecuali karena ketakwaan.” [18][]
Oleh: Ayatullah Muhammad Ibrahim Jannati


[1] QS. al-Maidah [5]: 6.
[2] Al-Mabsuth, 1/8; Bidayah al-Mujtahid, 1/14; al-Durr al-Mantsur, 2/262.
[3] Umdah al-Qari’, 2/238; Tafsir al-Thabari, 6/83; Mughni al-Muhtaj, 1/53; Fath al-Bari, 1/366; Fath al-Mu‘in, 6.
[4] Bidayah al-Mujtahid, 1/14; ‘Umdah al-Qari’, 2/238; al-Mabsuth, 1/8; Tafsir al-Thabari, 6/83.
[5] Al-Nawawi, Syarh Muslim, 3/129.
[6] QS. Alu ‘Imran [3]: 97.
[7] Al-Umm, 3/373.
[8] Al-Mujtahiduna fi al-Qadha, hlm. 29.
[9] Abu Dzar‘ah mengatakan, “Demikian diriwayatkan oleh Adam bin Abi al-Faris dari Nabi Saw dalam bukunya al-‘Ilm wa al-Hilm.
[10] Al-Dailami dalam al-Firdaus menyandarkannya kepada hadits riwayat Ibnu ‘Abbas secara marfu‘.
[11] Al-Dailami dalam al-Firdaus.
[12] Diriwayatkan oleh al-Suyuthi dalam al-Jami‘ al-Shaghir.
[13] QS. al-Anfal [8]: 46.
[14] QS. Alu ‘Imran [3]: 103.
[15] Aqwal al-Sayyid al-Imam, jilid 1, hlm. 7.
[16] Majalah al-Rashid, vol. 15 (Beirut: al-Mustasyariyah al-Tsaqafiyah li Jumhuriyah al-Islamiyah).
[17] QS. Alu ‘Imran [3]: 139.
[18] Al-Durr al-Mantsur, 2/260.

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Ibnu Hajar - Premium Blogger Themes | Ma'had Miftahul Jannah