Masalah-masalah
yang terkandung dalam dalil dan sumber ijtihad terbagi ke dalam dua
kategori: aksiomatis dan teoritis. Masalah jenis pertama tidak
diperselisihkan di antara ulama mazhab-mazhab Islam, semisal kewajiban
shalat, kewajiban puasa, kewajiban haji,
keharaman memakan harta dengan cara yang batil, keharaman riba,
keharaman zina, kebolehan hal-hal yang baik, dan keharaman perbuatan
keji. Sebab, hukum-hukum tersebut diterangkan dengan jelas dalam
sumber-sumber syariat mengenai kewajiban, keharaman, dan kebolehannya.
Hukum tersebut digali dari dalil-dalil yang tidak memerlukan pemikiran
dan ijtihad, karenanya ia merupakan kebenaran yang senantiasa bertahan
setiap saat, tidak berubah sedikit pun meski ruang, waktu dan situasi
terus berubah hingga hari kiamat lantaran keberadaannya tidak dibangun
atas dasar ijtihad, sehingga dikatakan bahwa hukum yang dibangun atas
dasar ijtihad akan berubah seiring dengan perubahan ruang, waktu, dan
keadaan.
Adapun
masalah jenis kedua menjadi bahan perselisihan di antara ulama mazhab,
semisal tentang syarat-syarat sebuah kewajiban, bagian-bagiannya, dan
halangan-halangannya. Sebab, masalah-masalah tersebut tidak secara jelas
tertuang dalam dalil dan sumber-sumber ijtihad. Keberadaannya pantas
untuk diperselisihkan dan dilihat dari berbagai sudut pandang.
Masalah-masalah furuk semacam ini oleh syariat dijadikan sebagai objek
ijtihad para mujtahid, karena tidak mungkin mengeluarkan hukumnya dari
sumber-sumbernya tanpa ijtihad dan melakukan pemikiran. Maka itu, hukum
semacam ini tidak tetap, bisa dikurangi dan bisa pula ditambah karena
keberadaannya dibangun atas dasar ijtihad. Seiring berubahnya ruang,
waktu, dan keadaan, hukum itu pun turut berubah berdasarkan
sumber-sumbernya.
Apapun
masalahnya, perbedaan pendapat dalam masalah-masalah furuk yang
teoritis di antara para ulama adalah sesuatu yang normal dan berlaku
dalam segala hal, baik dalam masalah fikih maupun masalah lainnya.
Bahkan, perbedaan pendapat bukan hanya terjadi di kalangan ulama Islam,
melainkan terjadi pula di kalangan intelektual sekte-sekte dan
agama-agama lain.
Sangatlah tepat bila di sini saya menyajikan contoh. Maka itu saya katakan: tidak ada seorang pun dari ulama kaum Muslimin yang memperselisihkan bahwa kaki adalah anggota wudhu, karena dalilnya jelas, yaitu firman Allah Swt, “Wahai
orang-orang yang beriman! Apabila kamu hendak melaksanakan shalat, maka
basuhlah wajahmu dan tanganmu sampai ke siku, dan sapulah kepalamu dan
(basuh) kedua kakimu sampai ke kedua mata kaki....”[1]
Perbedaan pendapat terjadi di antara ulama dalam hal cara
menyucikannya, karena caranya tidak diterangkan di dalam ayat, apakah
disapu, dibasuh, boleh memilih di antara keduanya, ataukah digabungkan
di antara keduanya?
Dalam masalah ini ada beberapa pendapat:
Pertama,
disapu. Pendapat ini dianut oleh ulama fikih dari kalangan Imamiyah dan
sejumlah ahli fikih dari kalangan sahabat dan tabiin, semisal Ibnu
‘Abbas, ‘Ikrimah, Anas, al-Sya‘bi, Abu al-‘Aliyah, tanpa membedakan
bacaan kata al-arjul dalam ayat tersebut antara dibaca jarr (baca: al-arjuli) dan nashab (baca: al-arjula).[2]
Kedua,
dibasuh. Pendapat ini dikemukakan oleh ahli fikih dari kalangan mazhab
Hanafiyah, Malikiyah, Syafi‘iyah, Auza‘iyah, Sufyaniyah, Ibadhiyah,
Tamimiyah, Nakha‘iyah, Laitsiyah, dan lain-lain dengan dua cara bacaan
kata al-arjul. [3]
Ketiga,
boleh memilih antara disapu dan dibasuh. Pendapat ini dipegang oleh
ulama dari kalangan mazhab Tsauriyah, Bashariyah, Zhahiriyah dan
Juraihiyah, karena tidak ada dalil yang mengunggulkan salah satu cara
baca kata al-arjul atas cara baca lainnya.[4]
Keempat,
menggabungkan antara disapu dan dibasuh. Pendapat ini dipilih oleh
ulama mazhab Zhahiriyah dan para imam pembela kebenaran dari kalangan
mazhab Zaidiyah,[5] karena ragam bacaan kara al-arjul dan adanya pengetahuan umum antara mengusap dan membasuh yang menuntut penggabungan antara keduanya.
Bagaimana
kesimpulannya? Saya telah menceritakan dalil dari pendapat-pendapat di
atas secara terperinci dalam buku saya yang berjudul Durus fi Fiqh al-Muqaran, jilid pertama. Untuk mengetahui lebih lanjut, sila dirujuk buku tersebut.
Contoh
kedua: tidak ada seorang ulama mazhab pun yang memperselisihkan bahwa
berkemampuan adalah poin pokok kewajiban haji, karena dalilnya sangat
jelas, yaitu firman Allah Swt, “Dan di antara kewajiban manusia
terhadap Allah adalah melaksanakan ibadah haji ke Baitullah, yaitu bagi
orang-orang yang mampu mengadakan perjalanan ke sana. Barang siapa
mengingkari (kewajiban) haji, maka ketahuilah bahwa Allah Mahakaya
(tidak memerlukan sesuatu) dari seluruh alam.”[6]
Perbedaan
pendapat di antara ulama terjadi dalam hal maksud mampu itu sendiri,
apakah secara akal, secara syariat, ataukah secara adat (‘urf)? Perbedaan pendapat terjadi mengingat tidak ada penjelasan yang jelas tentang salah satu dari ketiganya dalam ayat tersebut.
Di
antara ulama ada yang berpendapat bahwa yang dimaksud mampu di sini
bisa secara akal, secara syariat, atau secara adat. Itu karena tidak
ada keterangan yang jelas mengenai salah satu dari ketiganya dalam ayat
tersebut. Sebagian dari mereka berkeyakinan bahwa yang dimaksud mampu
di sini adalah secara akal. Inilah pendapat yang dianut oleh Malik bin
Anas al-Ashbahi, imam dari mazhab Maliki. Menurutnya, itulah kesimpulan
yang dihasilkan dari pembacaan ayat secara harfiah dan menafsirkannya
dengan perbekalan, kendaraan dan aman di perjalanan, karena haji tidak
mungkin dilakukan tanpa itu semua.
Sebagian ulama lain berkeyakinan bahwa yang dimaksud dengan mampu di sini adalah secara adat. Pendapat ini dihubungkan kepada ‘alam al-huda Sayyid
al-Murtadha, karena menurutnya informasi yang ada dalam tafsirnya tidak
menunjukkan sesuatu yang melebihi kemampuan secara adat.
Ulama
yang lain berkeyakinan bahwa yang dimaksud mampu di sini adalah secara
syariat. Pendapat ini dipegang oleh ulama fikih dari kalangan Imamiyah,
Hanifiyah, Syafi‘iyah, Hanabilah, dan lain-lain, karena khabar yang
diriwayatkan dalam tafsirnya menunjukkan bahwa mampu di sini adalah kuat
secara fisik dan keluasan rezeki, atau dengan kata lain ada bekal, kendaraan, aman di perjalanan, dan kembali dengan berkecukupan.
Contoh
ketiga: tidak seorang pun ulama mazhab Islam yang menentang bahwa
nyanyian itu haram apabila diiringi dengan kemaksiatan dan keharaman,
atau dijadikan sarana keharaman. Mereka berselisih pendapat apabila
nyanyian tidak dibarengi dengan kemaksiatan dan keharaman. Imam
al-Syafi‘i, al-Ghazali, al-Nabulsi dan Syaikh Syaltut—dalam risalah al-Fatawa-nya—menyatakan
ketidakharamannya. Pendapat ini juga dipegang oleh sejumlah ulama dari
kalangan Imamiyah, semisal al-Faidh al-Kasyani dan al-Muhaqqiq
al-Sabzawari. Sementara itu, Imam Abu Hanifah, Malik, Ahmad bin Hanbal,
Ibn al-Jauzi, dan al-Jazairi, pengarang al-Fiqh ‘alâ al-Madzâhib al-Arba‘ah, menyatakan keharamannya.
Saya
sudah meneliti masalah ini tanpa menafikan di antara dua pandangan di
atas, karena yang dimaksud oleh ulama yang menyatakan keharamannya itu
sendiri adalah nyanyian dengan pengertiannya secara syariat yang
merupakan objek bagi hukum syariat, yaitu senyawa suara yang dilantunkan untuk tujuan menghibur (entertainment),
jika terdiri dari musik saja, atau karena memuat kata-kata yang batil
jika nyanyian tersebut juga ada liriknya. Adapun nyanyian yang
dimaksudkan oleh ulama yang tidak mengharamkan itu sendiri adalah
nyanyian dengan pengertian secara bahasa yang bukan menjadi objek hukum
syariat. Sejauh penelitian saya dalam masalah ini, nyanyian tersebut
sederhana dan tidak kompleks. Makna yang terakhir ini lebih umum dari
makna sebelumnya, karena mencakup semua suara yang baik. Dalam sejumlah
hadits ada perintah untuk melagukan al-Qur’an. Melagukan al-Qur’an
berarti memperindah suara yang tidak mungkin dicapai tanpa
disenandungkan.
Sebab-sebab Perbedaan
Bagaimanapun juga, perbedaan pendapat para ulama dalam masalah-masalah furuk yang teoritis dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Perbedaan pendapat terkait beberapa sumber dan dalil ijtihad
Tidak
ada kesamaan pendapat dari seluruh mazhab dalam hal mempertimbangkan
seluruh sumber dan dalil, justru ada perbedaan pendapat di antara mereka
mengenai beberapa sumber dan dalil. Tepat sekali saya sebutkan di sini beberapa contoh di antaranya:
· Istihsan. Imam Abu Hanifah menganggap istihsan—yang
diletakkan dasar-dasarnya oleh ‘Abdullah bin ‘Umar—sebagai salah satu
sumber penetapan hukum. Sementara itu, Imam Muhammad bin Idris
al-Syafi‘i, ulama mazhab Imamiyah, Zhahiriyah, Auza‘iyah dan Tsauriyah
tidak menggunakannya. Al-Syafi‘i sendiri mengarang sebuah buku untuk
membatalkan istihsan. Dia mengkritik istihsan dengan ungkapan yang sangat keras, di mana dia mengatakan, “Istihsan adalah bersenang-senang. Barang siapa ber-istihsan, maka dia telah mengada-adakan hukum syariat.”[7] Maksudnya, dia menghendaki dirinya menjadi pembuat syariat atau mujtahid.
· Mashalih Mursalah, ‘Amal Ahlu Madinah, Saddu Dzari‘ah, dan Fathu Dzari‘ah.
Imam Malik menerima itu semua sebagai sumber penetapan hukum. Sementara
itu, ulama mazhab Imamiyah, Hanafiyah, Laitsiyah, Syauriyah, Auza‘iyah
tidak menerimanya secara mutlak. Adapun Imam Ahmad bin Hanbal
menerimanya untuk kondisi darurat.
· Istishlah.
Metode ini dipakai di kalangan pengikut mazhab Hanafiyah. Merekalah
yang meletakkan dasar-dasarnya sebagai dasar bagi penetapan hukum.
Sementara itu, ulama yang lain tidak menggunakannya.
2. Perbedaan pendapat terkait syarat-syarat dalil hukum
Abu Hanifa antara lain—sebagaimana sudah diketahui—menyatakan bahwa ke-mutawatir-an merupakan syarat dalam mempertimbangkan sebuah hadits. Sementara itu, al-Syafi‘i, Malik, ulama fikih Syi‘ah Imamiyah—selain al-Syarif al-Murtadha—dan Ahmad bin Hanbal tidak memandangnya sebagai syarat. Mereka justru lebih mempertimbangkan ke-tsiqah-an, meskipun hadits ahad. Bahkan Imam Ahmad bin Hanbal dan beberapa ahli hadits dari kalangan Syi‘ah tidak mempertimbangkan ke-mutawatir-an dan ke-tsiqah-an dalam menerima hadits.
3. Perbedaan pendapat terkait jenis-jenis dalil
Para imam mazhab sepakat menerima qiyas aulawi dan qiyas yang disebutkan ilatnya dalam nas. Ulama hanya berbeda pendapat dalam beberapa jenis qiyas saja, yaitu qiyas tamtsil dan qiyas tasybih. Ulama
mazhab hanafiyah dan mazhab Ibn Abi Laila menganggapnya sebagai salah
satu sumber penetapan hukum, sementara ulama mazhab Zhahiriyah,
Tsauriyah, dan Auzaiyah tidak demikian.
4. Perbedaan pendapat terkait fase penggalian hukum dari dalil-dalinnya
Contohnya sudah dikemukakan di bagian awal tulisan.
5. Perbedaan pendapat dalam mempertimbangkan sebuah dalil
Sebagai
contoh adalah ijmak. Ulama mazhab yang empat menganggap ijmak sebagai
hujah dan menilainya sebagai sumber yang mandiri. Sementara itu, Syi‘ah
Imamiyah tidak menilainya demikian dan tidak menganggapnya sebagai
hujah. Mereka menganggapnya sebagai hujah jika mengungkapkan pendapat
Nabi Saw atau imam maksum.
Contoh
lainnya adalah ijtihad. Imam mazhab yang empat menganggapnya sebagai
salah satu cara berpikir dan sumber yang mandiri. Sementara itu, ulama
fikih Syiah menolaknya. Dengan kata lain, imam mazhab yang empat
menganggap ijtihad sebagai tujuan, sementara ulama Syi‘ah menganggapnya
sebagai sarana untuk diterapkan dalam sumber-sumber hukum guna menggali
hukum syariat atas berbagai peristiwa yang terjadi dan isu-isu baru.
6. Perbedaan
pendapat dalam berpegang kepada lahiriah lafaz yang ada dalam
dalil-dalil ijtihad, antara keharusan berhenti sampai di situ atau
tidak.
7. Perbedaan pendapat terkait tanda-tanda yang ada dalam elemen-elemen khusus untuk istinbath, antara membatasinya atau tidak.
8. Perbedaan pendapat dalam membatasi topik-topik yang diambil dari dalil.
9. Perbedaan pendapat dalam hal harus dan tidaknya mencermati dan meneliti syarat-syarat berbagai topik sepanjang zaman.
10. Kontradiksi
sejumlah hadits, terutama hadits-hadits yang berhubungan dengan
syarat-syarat hukum, bagian-bagian, dan halangan-halangannya yang
diriwayatkan dengan satu atau banyak perantara, serta kontradiksi
beberapa riwayatnya. Di antara penyebab utamanya dapat disebutkan
sebagai berikut:
· Perbedaan para sahabat dalam menentukan hadits Rasul Saw;
· Perbedaan para sahabat dalam tingkatan menghafal hadits;
Tidak
semua sahabat menghadiri berbagai kesempatan di mana Rasulullah Saw.
membicarakan dan menjelaskan hukum-hukum Allah Swt. Itulah sebabnya
tidak semua sahabat mengetahui hadits secera utuh. Sahabat yang hadir
sejak awal mungkin menguasai seluruh pembicaraan Rasulullah Saw, tapi
para sahabat yang hadir di tengah-tengah pembicaraan atau bahkan di
akhir tentu tidak akan mengetahui seluruhnya. Oleh karena itu, kita tahu
bahwa sepeninggal Rasulullah Saw dan setelah para sahabat berpencar ke
berbagai wilayah terdapat berbagai riwayat dari mereka mengenai hukum
yang berbeda-beda atas satu masalah. Pendapat sahabat yang berdomisili
di Madinah berbeda dengan pendapat sahabat yang berdomisili di Mesir.
Begitu juga riwayat dari sahabat yang berdomisili di Syam berbeda dengan
riwayat dari sahabat yang berdomisili di tempat lain. Perbedaan riwayat
ini boleh jadi karena sahabat yang berdomisili di Madinah mendengar
hukum dari Rasulullah Saw yang tidak didengar oleh sahabat yang
berdomisili di Mesir, atau sahabat yang berdomisili di Mesir mendengar
hukum yang tidak didengar oleh sahabat yang berdomisili di Syam, atau
sahabat yang berdomisili di Syam mengetahui hukum dari Nabi Saw yang
tidak diketahui oleh sahabat yang berdomisili di Kufah, dan lain
sebagainya.
· Sebagian
perawi tidak memperhatikan berbagai fakta aktual yang mengiringi sabda
Rasulullah Saw, sementara sebagian yang lain memperhatikannya.
· Tidak semua perawi berkomitmen meriwayatkan kata per kata dan kalimat per kalimat seperti yang diucapkan oleh Nabi Saw.
· Beberapa petunjuk verbal yang mengiringi hadits dihilangkan;
· Para perawi hanya meriwayatkan makna;
· Perawi memenggal-menggal hadits, semisal meriwayatkan hadits bagian awalnya saja tanpa bagian akhirnya, atau sebaliknya;
· Dalam beberapa riwayat terkadang hukum diterbitkan secara bertahap;
· Pertama-tama beberapa hukum diterbitkan secara global, kemudian diterbitkan lagi secara terperinci;
· Tidak ada kejelasan mengenai nasakh dan mansukh;
· Membuat dan menjadikan hadits maudhu‘ sebagai dasar dalam konflik sosial dan politik secara besar-besaran. Dalam ilmu hadits dan ilmu rijal disebutkan bahwa lebih dari lima puluh ribu hadits maudhu‘ telah dibuat. Hadits-hadits maudhu‘
itulah yang menyebabkan dilakukannya kritik hadits. Hadits dikritik
dengan menggunakan standar khusus untuk membedakan hadits yang asli dari
hadits yang maudhu‘. Setelah itu, barulah ilmu rijal dan ilmu hadits dikodifikasikan.
Perbedaan dan Budaya Persatuan
Sudah
bukan rahasia lagi bahwa meskipun faktor-faktor yang telah disebutkan
di atas menyebabkan para ulama berbeda pendapat dalam pelbagai masalah
furuk yang teoritis, namun demikian sebagian besarnya bisa dijadikan
untuk wahana pendekatan. Sebagian yang lain memang tidak bisa dijadikan
wahana pendekatan, tapi perbedaannya pun tidak terbatas di kalangan
beberapa mazhab saja, melainkan menyebar ke seluruh mazhab. Hal ini
membuktikan bahwa pemicu perbedaan bukanlah mazhab, melainkan karena
masalah tersebut merupakan masalah teoritis. Perbedaan dalam masalah
teoritis adalah sesuatu yang normal. Pemicu perbedaan dalam masalah
tersebut bukanlah hawa nafsu dan fanatisme, melainkan prinsip dan sumber
syariat yang harus dijadikan pegangan oleh para fukaha dan para
mujtahid dalam menggali hukum atas berbagai peristiwa yang terjadi dan
tema-tema teranyar.
Meskipun
para fukaha berkeyakinan bahwa al-Qur’an adalah sumber pertama dan
Sunah Rasulullah Saw adalah sumber kedua dalam beristinbath, akan tetapi
karena ada perbedaan di antara mereka dalam hal pemahaman,
kaidah-kaidah teoritis, juga karena perbedaan para pakar bahasa dalam
beberapa kata yang terdapat dalam dua sumber tadi, perbedaan para ahli
bacaan dalam membaca beberapa kata dalam sumber pertama, perbedaan para
perawi dalam meriwayatkan hadits dan menyikapi kontradiksinya, perbedaan
para fukaha dalam menerima sebuah hadits, dan perbedaan para mujtahid
dalam mempercayai seorang perawi dalam sumber kedua, maka perbedaan
pendapat di kalangan ahli fikih terkait masalah-masalah teoritis tidak
mungkin terelakkan. Perbedaan pendapat ini sendiri tidaklah membahayakan
bagi umat. Itu karena dua alasan: pertama, tujuan mereka sama, yaitu sampai kepada hukum Allah dan Rasul-Nya; kedua, karena
perbedaan pendapat akan memperluas khazanah fikih. Sekaitan makna ini,
para ulama mengungkapkan, “Perbedaan di kalangan umat adalah rahmat bagi
mereka,”[8] “Perbedaan para sahabatku adalah rahmat bagi umatku,”[9] “Perbedaan para sahabatku adalah rahmat,”[10] “Perbadaan para sahabat dalam sebuah hukum adalah perbedaan bagi umat,”[11] atau “Perbedaan umatku adalah rahmat.”[12]
Betapapun,
perbedaan pendapat dalam masalah furuk di kalangan ulama fikih bukanlah
bahaya. Perbedaan pendapat menjadi bahaya apabila menimbulkan
pertentangan seperti yang diperingatkan oleh Allah Swt dengan
firman-Nya, “dan janganlah kamu berselisih yang menyebabkan kamu
menjadi gentar dan kekuatanmu hilang dan bersabarlah. Sungguh, Allah
beserta orang-orang sabar.”[13] atau menyebabkan perpecahan yang dilarang oleh Allah dengan firman-Nya, “Dan berpegangteguhlah kamu semuanya pada tali (agama) Allah dan janganlah kamu bercerai berai.” [14]
Meskipun
ulama kalangan Sunni tidak berkeyakinan seperti ulama Syiah bahwa para
imam Ahlul Bait diterangkan secara jelas dalam nas, tapi ulama Sunni
tetap mencintai para imam Ahlul Bait dan meyakini hak-hak mereka bahwa
mereka adalah pemimpin dalam ilmu dan agama, mereka adalah pemimpin yang
punya keutamaan di mata umat dan memiliki kedudukan mulia di dalam
Islam. Karena itu, saya berkeyakinan bahwa seluruh umat Islam adalah
Sunni dan juga Syi'i. Mereka semua Sunni karena mereka mengamalkan Sunah
Rasulullah Saw, dan mereka juga Syi'i karena mereka mencintai Ahlul
Bait.
Sepeninggal
Rasulullah Saw, jalan yang ditempuh oleh kalangan Syi'ah berbeda dengan
yang ditempuh oleh kalangan Ahlu Sunnah, karena kaum Syi'ah
berkeyakinan bahwa yang melestarikan Sunah Rasulullah Saw adalah Sunah
para pemimpin Ahlul Bait, sedangkan Ahlu Sunnah berkeyakinan bahwa yang
melestarikan Sunah Rasulullah adalah Sunah para sahabat. Meskipun
demikian, tujuan keduanya sama, yaitu Sunah Rasulullah Saw. Jadi kita
semua adalah umat Islam. Imam Khomaini mengatakan, “Orang-orang yang
memicu pertentangan di antara kaum Muslimin bukan bagian dari Sunni,
bukan pula dari Syiah.” [15]
Pemimpin Besar Revolusi Islam Ayatullah al-Udzma Sayyid Ali Khamenei
mengatakan, “Orang-orang yang menyerukan persatuan umat Islam bukanlah
musuh Islam. Mereka hanya menginginkan yang terbaik bagi pengikut agama
mereka...” Dalam kesempatan lain beliau mengatakan, “Ketahuilah bahwa
musuh-musuh Islam senantiasa menanti-nantikan kalian tertimpa kemalangan
untuk merusak persatuan kalian! Karena itu berhati-hatilah dan jangan
biarkan pertentangan muncul di antara kalian. Waspadalah terhadap
hal-hal yang dapat memicunya dan hal-hal yang bisa dijadikan musuh
sebagai lahan untuk menanamkan perpecahan....”[16]
Umat
Islam hari ini harus bersatu, karena situasi dan perjalanan hidup
mereka lebih berbahaya dan lebih pelik dibanding dengan zaman para
sahabat, para tabiin, dan para pengikut mereka generasi pertama. Mereka
tentu tahu bahwa kebijakan musuh-musuh Islam di zaman ini jauh berbeda
dengan kebijakan musuh-musuh Islam di zaman-zaman itu. Kebijakan
musuh-musuh Islam di zaman ini tidak dibangun atas dasar perjanjian,
perundingan, kesepakatan, kecintaan, kebencian, kejujuran, atau
kebohongan, melainkan dibangun atas dasar kekuatan untuk menguasai
kekayaan umat Islam. Kebijakan mereka tidak didasarkan kepada fondasi
yang kokoh atau logika yang benar, tapi beragam dan berubah-ubah sesuai
kepentingan dan ambisi, sesuai selera, tidak mengikuti aturan, dan hanya
mengikuti kepentingan tertentu.
Umat
Islam berpendapat bahwa Amerika Serikat menerapkan kebijakan strategis
untuk meningkatkan standar negaranya di semua bidang kehidupan. Amerika
telah mengerahkan segala upaya untuk menciptakan kesenjangan, fitnah,
dan kesengsaraan di negara-negara merdeka yang tidak mau tunduk kepada
kebijakannya. Karena itu, betapa banyak negara yang kehilangan
stabilitasnya dan kacau balau, sehingga rakyatnya tidak punya lagi
kelembutan, tidak mengenal kasih sayang, tidak mempercayai kepentingan
bangsa dan kemanusiaan.
Musuh-musuh
Islam menyerukan resolusi Hak Asasi Manusia dalam perundang-undangan
mereka, tapi sebelum tinta mengering, mereka telah berupaya menjadikan
sejumlah negara menghadapi mara bahaya dan kehancuran di jantung negeri
mereka sendiri. Ratusan ribu anak-anak manusia terusir dari rumah-rumah
mereka menjadi mangsa kelaparan, kebodohan, dan penyakit, tidak
mendapatkan kemerdekaan dan kebebasan. Musuh-musuh Islam mengklaim anti
diskriminasi rasial dan sektarian, tapi pada saat yang sama mereka tutup
telinga terhadap masalah Palestina, Afrika Selatan, Afrika Utara,
Bosnia Herzegovina, Kasmir, Afganistas, Orang-orang Negro, dan Umat
Islam di seluruh dunia. Seolah-olah mereka bukan anak manusia yang
dilahirkan oleh ibu-ibu mereka dalam keadaan merdeka.
Mereka
mengklaim keharaman membunuh, membakar, dan perusakan. Mereka mengancam
orang-orang yang melanggar keharaman tersebut dengan hukuman yang
sangat berat, tapi pada saat yang sama mereka melanggarnya terhadap umat
Islam di seluruh dunia. Mereka bergembira dengan perlakukan bangsa
Serbia terhadap bangsa Bosnia Herzegovina, kekejaman Yahudi di Palestina
dan Libanon terhadap umat Islam, seolah-olah darah dan martabat umat Islam tidak masuk dalam naskah resolusi mereka.
Betapapun,
kita tahu bahwa kemenangan umat Islam periode awal atas musuh-musuh
mereka semata-mata terjadi ketika mereka bersatu padu dan menggunakan
persatuan itu untuk menyebarkan agama Allah dan meninggikan kalimat-Nya,
memberi petunjuk kepada manusia, mengeluarkan mereka dari menyembah
berhala kepada menyembah Tuhan Yang Maha Penyayang, dari kelaliman para
tiran kepada keadilan Islam, dari gulita kebodohan kepada cahaya ilmu,
dan dari kekafiran kepada keimanan. Karena itu, umat Islam harus berdiri
sendiri seraya memohon pertolongan kepada Allah, jangan bergantung
kepada Barat atau Timur, jangan meninggalkan kepemimpinan Islam. Mereka
harus meluruskan barisan dan menyatukan kata dalam menghadapi
musuh-musuh Islam guna membalas permusuhan mereka terhadap umat Islam di
seluruh dunia, untuk membebaskan tanah-tanah umat Islam dari
tangan-tangan mereka, terutama bumi Palestina agar di sana panji Islam
kembali berkibar dan umat Islam mengumandangkan pekikan Allahu Akbar.
Dengan
persatuan dan mengesampingkan perbedaan, sirnalah kesedihan dan
ketakutan, serta umat Islam bakal diperhitungkan sebagaimana Allah Swt
berfirman, “Dan janganlah kamu (merasa) lemah, dan jangan (pula)
bersedih hati, sebab kamu paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang
beriman.” [17] Rasulullah Saw bersabda, “Seluruh manusia adalah
anak Adam, sedangkan Adam berasal dari tanah. Bangsa Arab tidak lebih
unggul daripada bangsa Ajam (non-Arab), kecuali karena ketakwaan.” [18][]
Oleh: Ayatullah Muhammad Ibrahim Jannati
[3] ‘Umdah al-Qari’, 2/238; Tafsir al-Thabari, 6/83; Mughni al-Muhtaj, 1/53; Fath al-Bari, 1/366; Fath al-Mu‘in, 6.
[4] Bidayah al-Mujtahid, 1/14; ‘Umdah al-Qari’, 2/238; al-Mabsuth, 1/8; Tafsir al-Thabari, 6/83.
[5] Al-Nawawi, Syarh Muslim, 3/129.
[6] QS. Alu ‘Imran [3]: 97.
[7] Al-Umm, 3/373.
[8] Al-Mujtahiduna fi al-Qadha, hlm. 29.
[9] Abu Dzar‘ah mengatakan, “Demikian diriwayatkan oleh Adam bin Abi al-Faris dari Nabi Saw dalam bukunya al-‘Ilm wa al-Hilm.
[10] Al-Dailami dalam al-Firdaus menyandarkannya kepada hadits riwayat Ibnu ‘Abbas secara marfu‘.
[11] Al-Dailami dalam al-Firdaus.
[12] Diriwayatkan oleh al-Suyuthi dalam al-Jami‘ al-Shaghir.
[13] QS. al-Anfal [8]: 46.
[14] QS. Alu ‘Imran [3]: 103.
[15] Aqwal al-Sayyid al-Imam, jilid 1, hlm. 7.
[16] Majalah al-Rashid, vol. 15 (Beirut: al-Mustasyariyah al-Tsaqafiyah li Jumhuriyah al-Islamiyah).
[17] QS. Alu ‘Imran [3]: 139.
[18] Al-Durr al-Mantsur, 2/260.
0 komentar:
Posting Komentar