Ketika Utsman bin Affan berada di Muna dalam rangkaian ibadah hajinya ,
ia shalat Zhuhur dan Ashar, masing-masing empat rakaat. Abdurrahman bin
Yazid mengabarkan bahwa ketika kejadian itu disampaikan kepada Abdullah
bin Mas'ud, ia menerimanya dengan mengucapkan Inna lillahi wa Inna
Illaihi Raji'un. Buat Ibn Mas'ud , peristiwa itu adalah sebuah musibah.
Utsman sudah meninggalkan sunnah Rasulullah dan sunnah Abu Bakar dan
Umar. "Aku shalat dua rakaat. Aku shalat bersama Umar bin Khatab di Muna
juga dua rakaat." (Al-Bukhari 2:563 ; Muslim 1:483)
Menurut Al-A'masy, Abdullah bin Mas'ud ternyata shalat di Muna empat
rakaat juga. Orang pernah menyampaikan kepada kami hadist bahwa
Rasulullah saw
, Abu Bakar dan Umar shalat di Muna dua rakaat "Ibn Mas'ud menjawab,
"Memang benar. Aku sampaikan lagi kepada kalian hadist itu sekarang.
Tetapi Utsman sekarang ini menjadi imam. Aku tidak akan menentangnya.
Wal Khilafu Syarr. Semua pertentangan itu buruk." (Sunan Abu Dawud
2:491, hadist nomor 1960; Sunan Al-Baihaqi, 3:143-144).
Peristiwa ini menunjukkan perbedaan fiqih di antara dua sahabat besar
Utsman bin Affan dan Abdullah bin Mas'ud. Secara harfiah, fiqih berarti
pemahaman. Secara teknis, fiqih berarti hasil perumusan para Ulama
ketika mereka berusaha memahami nash - petunjuk dalam Al-Quran dan
Sunnah . Menurut pemahaman Ibn Mas'ud, karena Rasulullah, Abu Bakar, dan
Umar meng-qasharnya. Menurut pemahaman Utsman, ia tidak boleh
meng-qashar shalat di Muna , karena ia (konon diberitakan) sudah
beristri dengan penduduk Mekkah. Jadi posisi Utsman tidak sama dengan
posisi Rasulullah saw, Abu Bakar, dan Umar.
Yang menarik untuk kita perhatikan adalah sikap Abdullah bin Mas'ud . Ia
menegaskan pendapatnya tentang shalat qashar di Muna; tetapi ia tidak
mempraktekkan fiqihnya itu karena menghormati Utsman sebagai imam dan
karena ia ingin menghindari pertengkaran. Inilah contoh ketika sahabat
yang mulia mendahulukan akhlak di atas fiqih. Secara sederhana, prinsip
mendahulu
kan dengan kalimat perintah : Tinggalkan fiqih, jika fiqih itu
bertentangan dengan akhlak. Fiqih Ibn Mas'ud adalah meng-qashar shalat ;
tetapi akhlak mengharuskan menghormati imam. Ibn Mas'ud meninggalkan
fiqih demi memelihara akhlak yang mulia. Fiqih ditinggalkan demi
menghindari pertengkaran.
Prinsip inilah yang dicontohkan oleh guru besar dan sendiri Al-Ikhwan
Al-Muslim, Imam Hasan Al-Banna. Pada permulaan malam Ramadhan, ia datang
ke sebuah masjid di Mesir. Ia menemukan jemaah masjid itu sudah
terbelah menjadi dua. Mereka sedang bertengkar berhadap-hadapan, dengan
suara yang keras. Satu kelompok menjelaskan bahwa tarawih yang sesuai
dengan sunnah Rasulullah saw adalah sebelas rakaat. Kelompok lainnya,
dengan merujuk pada hadist, menegaskan bahwa shalat tarawih dengan dua
puluh tiga rakaat lebih utama. Hasan Al-Banna bertanya kepada kedua
kelompok itu, "Apa hukumnya shalat tarawih ?" Keduanya menjawab,
"sunat!" beliau bertanya, "Apa hukumnya bertengkar di Rumah Tuhan dengan
suara keras ?" keduanya menjawab (mungkin dengan suara lirih), "Haram!"
Imam bertanya, "Mengapa kalian lakukan yang haram untuk mempertahankan
yang sunat ?" Dengan kalimat yang lain. Imam Hasan Al-Banna menegur kaum
muslimin "mengapa kalian mempertahankan fiqih dengan meninggalkan
akhlak ?".
Muhammad Jalil'Isa, dalam kitabnya Ma la yajuzu fih al-khilaf bayna
al-muslimin, melaporkan berbagai konflik diantara muslimin karena
kesetiaan yang berlebihan kepada fiqih yang di anutnya.
Di Masjid lahore, India, seorang santri ditanya tentang kejadian di
Afganistan. Ada seseorang yang sedang sholat melihat kawan disampingnya
menggerak-gerakkan telunjuknya ketika mengucapkan kalimat tasyahhud pada
tahiyyatnya. Ia memukul jarinya dengan keras sehingga patah. Santri itu
menjawab, "Memang, peristiwa itu terjadi!" ketika ditanya apa sebabnya,
ia menjawab bahwa orang itu sudah melakukan hal yang haram dalam
sholat, yaitu menggerak-gerakkan telunjuknya ketika ditanyakan lagi apa
keterangan yang menunjukkan haramnya menggerak-gerakkan telunjuk, santri
itu menunjuk kitab fiqih yang ditulis oleh Syaikh Al-Kaydani. Haramnya
menggerak-gerakkan telunjuk itu didasarkan pada kitab fiqih. Santri itu
lupa bahwa melukai dan mematahkan jari seorang muslim yang sedang shalat
jelas-jelas haram berdasarkan dalil-dalil yang tegas dalam Al-quran dan
sunnah. Haramnya menggerak-gerakkan telunjuk diperdebatkan diantara
para Ulama; tetapi haramnya mematahkan telunjuk orang Islam disepakati
oleh semua Mazhab. Yang pertama berkaitan dengan fiqih; yang kedua
berkaitan dengan akhlak. Kejadian ini darat Anda temukan pada pasal 12,
Muqaddimah Kitab Al-Mughni.
Pada pasal yang sama diceritakan juga peristiwa lainnya di Afghanistan.
Seorang pengikut mazhab Hanafi mendengar seorang makmum membaca
Al-Fatihah hanya wajib bagi imam dan orang yang shalat Munfarid. Demi
mempertahankan fiqih itu, pengikutnya yang fanatik merasa berbuat baik
dengan menjatuhkan seorang mushalli yang berbeda mazhabnya.
Contoh lain yang menunjukkan sikap mendahulukan fiqih diatas akhlak
adalah meninggalkan shalat berjamaah karena imamnya berlainan mazhab
dengannya. Lebih ekstrem lagi, kalau ia beranggapan bahwa shalat dengan
mengikuti imam yang berlainan mazhab itu batal atau tidak sah, sehingga
shalat perlu diulangi lagi. Al-Syathibi, alim besar, dalam Kitabnya yang
terkenal Al-I'tisham, nomor 5 pasal ketujuh menulis, "Diantara
kekeliruan memelihara yang sunnah adalah keyakinan orang awam bahwa itu
adalah wajib. Sebagian pengikut mazhab Syafi'i keluar meninggalkan
shalat jamaah subuh karena imam tidak membaca ayat Sajdah dan tidak
sujud karenanya. "Muhammad'Isa melaporkan bahwa apa yang disebut
Al-Syathibi itu masih sering terjadi pada zaman sekarang ini. Di sebuah
masjid di Kairo, shalat subuh diulangi karena imamnya tidak membaca
Sajdah.
Agak mirip Kejadian diatas adalah pengalaman salah seorang dosen
Al-Azhar, Muhammad Abdul Wahhab Fayid; "Aku menjadi imam saat shalat
maghrib berjamaah disebuah masjid besar di Al-Aryaf. Aku tidak
mengeraskan bacaan bismillah dalam Al-Fatihah. Usai shalat, salah
seorang yang mengaku sebagai Ulama berteriak, "Saudara-saudara, ulangi
shalat kalian! Karena shalat kalian batal!" seorang muazin kemudian
menyampaikan iqamat dan Ulama yang berteriak itu menjadi imam shalat
maghrib yang kedua. Aku sendiri merasa bimbang dan karena itu aku ulangi
shalat itu dibelakang dia bersama orang banyak.
Setelah selesai shalat, aku menemuinya dan berkata kepadanya, "Saya ini
sudah shalat dibelakang engkau untuk kedua kalinya. Tetapi, saya ingin
tahu apa kesalahan saya sehingga shalat saya menjadi batal !". Ia
berkata, 'Karena engkau tidak membaca bismillah pada awal Al-Fatihah.'
Aku berkata 'Saya membacanya dalam hati. Ada hadist yang menerangkan
membaca bismillah dengan sirr sebagaimana ada hadist yang menerangkan
pembacaan bismillah dengan jahar. Kedua-duanya diperbolehkan. Bahkan
imam Malik ra berkata : membaca basmalah itu makruh. Saya tidak yakin
bahwa seorang yang berkata bahwa shalat Imam Malik seluruhnya batal!!
Yang diyakini oleh para Ulama ialah bahwa Imam Syafi'i, jika ia shalat
dibelakang Malik dan tidak mendengar bacaan Basmalah, ia tidak
meninggalkan shalatnya itu. Bahkan ketika disampaikan kepadanya bahwa
jika sekiranya Imam Hanafi berwudhu dan setelah wudhu menyentuh
kemaluannya, sahkah shalat Imam Syafi'i dibelakangnya ? (Dalam mazhab
Hanafi, menyentuh kemaluannya tidak membatalkan wudhu). Imam Syafi'i
menjawab : "Mana mungkin aku tidak shalat dibelakang Abu Hanifah."
Alangkah jauhnya perbedaan antara pengikut dengan Imamnya! Pengikut Imam
Syafi'i meninggalkan shalat berjamaah karena Imamnya shalat menurut
mazhab Hanafi. Imam Syafi'i merasa terhormat bila ia shalat berjamaah
dibelakang dan mengikuti Abu Hanifah. Pernah pada suatu hari, Imam
Syafi'i ditunjuk sebagai Imam untuk shalat subuh di masjid Kufah. Tidak
jauh dari masjid itu, ada kuburan Imam Hanafi. Imam Syafi'i tidak
membaca junut di dalam shalat subuhnya dan tidak melakukan sujud sahwi
sebagaimana seharusnya di dalam Fiqih Syafi'i. Ketika orang-orang
bertanya kepadanya mengapa ia meninggalkan fiqihnya. Imam Syafi'i
menjawab sambil menunjuk kekuburan Abu Hanifah: "Aku menghormati
penghuni kuburan itu".
Sebetulnya, kita bisa membedakan paradigma berfikir para mujtahid. Para
Ulama besar berpegang pada prinsip mendahulukan akhlak di atas fiqih dan
orang-orang awam yang guminter sebaliknya.
Di indonesia, saya mengenal banyak orang yang mengikuti paradigma kedua.
Salah seorang diantara mereka mengajarkan fiqih yang diperolehnya dari
hasil pemahaman dia diatas fatwa hasil ijtihad Ulama besar. Ia menjemur
cuciannya di tempat jemuran yang dekat dengan rumah tetangganya. Hujan
turun dengan lebat. Karena kebaikan budi, tetangganya mengumpulkan
jemuran kawan saya itu dan menyimpannya di dalam wadah cucian. Ia
menyerahkannya kepada santri yang "faqih" itu. Sang santri mendelik
marah, "Karena ulah anda, aku harus mencuci kembali seluruh cucian ini."
Menurut kawan saya itu, pakaian yang sudah disentuh oleh tangan basah
orang yang berbeda mazhab menjadi najis. Kawan saya itu juga tidak mau
shalat Jumat di kampungnya dan tidak pernah ikut shalat berjamaah
bersama mereka. Ketika ia berbuka puasa, ia memilih waktu buka puasa
yang berbeda dengan orang-orang Islam lainnya di kampungnya. Ia
mendahulukan fiqihnya ketimbang mematuhi sabda Nabi saw, "Siapa yang
beriman kepada Allah dan hari akhir hendaknya ia memuliakan tetangganya.
Fiqih diangkat dari pendapat Ulama ke satu tingkat sejajar dengan
Al-Qur'an dan Sunnah. Fiqih yang sangat manusiawi sekarang memiliki
status Ilahi-suci, tidak boleh dibantah, dan pasti benar. Dari situ
muncullah keinginan untuk mempersatukan mazhab, seperti yang ditujukan
oleh mahasiswa Muhammad Awwamah dalam tulisan Saya yang terdahulu. Di
indonesia, keinginan ini ditujukan dalam anggapan bahwa hanya kelompok
Kita saja yang beramal sesuai dengan Al-Qur'an dan Sunnah. Kelompok yang
berbeda pendapat dengan kita dianggap tidak mendasarkan amalan mereka
pada Al-Qur'an dan Hadist yang shahih. Mereka harus kita kembalikan ke
jalan yang benar. Umat Islam baru bisa dipersatukan bila semuanya sudah
mengikuti pendapat kelompok kita atau beriman pada iman kita.
Dahulu , Umar bin Abdul'Aziz berkeinginan untuk mempersatukan semua
negeri dibawah pemerintahannya dalam satu mazhab. Tetapi ia segera
mengetahui bahwa dalam setiap negeri sudah berlangsung tradisi Fiqih
yang berbeda. Mereka mewarisinya dari para sahabat terdahulu. Para
sahabat Nabi saw yang datang di Syam membawa fatwa fiqih yang berbeda
dengan mereka yang datang ke mesir dan Kufah ; dan berbeda pula dari
para sahabat yang tinggal di Mekkah dan Madinah. Akhirnya, Umar
membiarkan setiap negeri mengikuti Ulama di negerinya masing-masing
(lihat Tarikh Abu Zar'ah Al-Dimasyqi 1:202 ) . Mungkin juga karena
setiap negeri menghadapi kondisi sosial ekonomis yang berlainan .
Bukankah setiap fiqih dikembangkan untuk menjawab masalah-masalah yang
bersifat lokal dan temporal ?
Keinginan yang sama pernah terlintas pada benak Abu Ja'far Al-Manshur,
dari Khalifah Abbasiyyah, Iman Malik adalah faqih terkemuka di zaman
itu. Kitabnya, Al-Muwaththa, menjadi rujukan utama para Ulama di
berbagai negeri. Iman Malik berkata, "Ketika Al-Manshur berhaji ia
mengundang aku ketempatnya. Terjadilah tanya jawab antara aku dengan
dia. Ia berkata: Aku bermaksud untuk menurunkan perintah agar buku yang
Anda tulis ini yakni Al-Muwaththa disalin menjadi banyak naskah. Lalu ,
setiap naskah aku kirimi ke setiap negeri. Aku akan memerintahkan setiap
hakim di negeri itu beramal dengan kitab Anda Fa man khalafa dharabtu'
unuqah. Siapa yang menentang , aku potong lehernya.
"Aku berkata kepadanya: Ya Amir Al-Mukminin , jangan lakukan hal seperti
itu, kepada setiap masyarakat sudah berlaku berbagai pendapat , Mereka
telah mendengar Hadist-Hadist, mereka telah menyampaikan
riwayat-riwayat. Setiap kaum telah mengubahnya dari apa yang mereka
ketahui kepada apa yang mereka tidak ketahui, mereka akan menganggapnya
sebagai kekafiran. Biarlah seperti negeri berpegang kepada ilmu yang ada
pada mereka. Jika anda mau mengambil ilmu ini, ambillah untuk dirimu
saja. Para sahabat Rasulullah saw telah berikhtilaf pada hal-hal yang
furu' dan tersebar di berbagai penjuru. Semuanya benar. Al-manshur
berkata : "Jika Anda menyetujuinya sungguh aku akan memerintahkannya."
(Thabaqat Ibn Sa'ad, hal 440; Taqdimah Al-Jarhwa Al-Ta'dil 29 ).
Keinginan kita untuk mempersatukan kaum muslimin agar bermazhab tunggal
adalah paradigma fiqih di atas akhlak. Ucapan Iman Malik kepada
Al-Manshur adalah paradigma akhlak di atas fiqih. Iman Malik tidak ingin
menimbulkan kebingungan pada orang-orang awam. Ia mengingatkan khalifah
: Jika Anda mengubahnya dari apa yang mereka ketahui kepada apa yang
tidak mereka ketahui , mereka akan menganggapnya sebagai kekafiran. Ia
mendahulukan memelihara kerukunan dan ketentraman dari pada
mempertahankan mazhab fiqihnya.
Tradisi ini dilanjutkan oleh Ulama salih sesudahnya. Ibn Abd Al-Birr
memberitakan Abu Ibrahim bin Ishaq yang selalu mengangkat tangan pada
setiap pergantian gerakan shalat setiap kali mengangkat atau menurunkan
kepala. Ia menyebut Ibn Ishaq sebagai orang paling faqih dan paling
benar ilmunya. Ibn Al-Birr berkata , "Mengapa Anda tidak mengangkat
tangan juga supaya kami mengikuti Anda." Abd Al-Malik berkata : "Aku
tidak ingin menentang pendapat Ibn Al-Qasim. Sekarang ini masyarakat
beriman kepadanya. Bertentangan dengan masyarakat pada hal yang
diperbolehkan bagi kita bukanlah akhlak para Iman (Al-Istidzkar 2:124 ).
Jadi, bolehlah Anda menganggap pendapat Anda atau seseorang lebih kuat
dari yang lain. Yakinilah itu dalam diri Anda . Itulah pendapat yang
lebih Anda sukai. Tetapi, ketika Anda mengamalkannya, ikutilah yang
lazim di tengah-tengah masyarakat. Ibn Taymiyyah pernah ditanya apakah
basmalah itu dikeraskan atau dipelankan ? Ia menyebut pendapat
kebanyakan fuqaha dan ahli Hadist yang menganjurkan untuk men-sirrkan
basmalah. Ahmad bin Hambal lebih menyukai pendapat yang mengeraskan
basmalah. Segera setelah itu , Ibn Taymiyyah berkata : "Sebaliknya orang
meninggalkan pendapat yang disukainya untuk memelihara persaudaraan di
antara manusia. Kemaslahatan yang terjadi karena pertalian hati dalam
agama lebih besar ketimbang kemaslahatan karena mengamalkan saham fiqih
seperti ini. Seperti Nabi saw pernah tidak mengubah bangunan karena
dalam melestarikan bangunan itu Nabi saw memelihara hubungan kasih
sayang (pertalian hati). Sebagaimana Ibn Mas'ud pernah menentang Utsman
yang tidak meng-qashar shalat dalam perjalanan, tetapi ia sendiri juga
tidak meng-qasharnya ketika shalat di belakang Utsman. Ia berkata :
"Bertengkar itu jelek !"
(Majmu' Fatawa Syaikh Al-Islam Ibn Taymiyyah 22: 406-407).
Walaupun para pengikut Ibn Taymiyyah di Indonesia mengatakan bahwa
mereka tidak bermazhab, Ibn Taymiyyah sendiri cenderung mengikuti mazhab
Hambali. Iman Hambali lebih suka menjaharkan , tetapi demi kemaslahatan
kaum muslimin, Ibn Taymiyyah menganjurkan kita untuk meninggalkan yang
disukainya. Fiqih ditinggalkan demi akhlak.
Ketika Iman Hambali ditanya tentang suatu masalah fiqih , ia berkata ,
"Aku ahli hadist. Tanyalah Sofyan Al-Tsawri ia lebih mengerti fiqih
ketimbang aku." Al-Tsawri berkata kepada salah seorang muridnya, "Jika
kamu melihat seseorang mengamalkan sesuatu yang diikhtilafkan dan kamu
punya pendapat yang lain, janganlah kamu melarang dia melakukannya."
(Al-Khatib , Al-Faqih wa Al-Mutafahqih 2:69 ).
Iman Abu Hanifah berkata, "Perkataan kami ini hanyalah pendapat. Itulah
yang terbaik yang darat kami capai. Jika ada orang yang datang dengan
pendapat yang lebih baik dari perkataan kami, itulah yang lebih benar
untuk diikuti." Dalam riwayat lain Abu Hanifah berkata, "Inilah pendapat
kami, kami tidak akan memaksakan orang untuk mengikutinya." (Al-Khatib,
Tarikh Bagdad 13:353 ;Al-Intifa 140 ).
Fatwa dari Ulama Ahlul Bait
Imam Abu Hanifah pernah hidup sezaman dengan Imam Ja'far Al-Shadiq,
salah seorang di antara dua belas Imam dari Ahli Bait Nabi saw . Dengan
menisbahkan pada namanya, para pengikutnya menyebut mazhab fiqihnya itu
sebagai mazhab Ja'fari. Nu'man, nama kecil Abu Hanifah pernah berguru
kepadanya selama dua tahun. Ia berkata , "Law la sanatan,
lahalaka Nu'man". Seandainya tidak ada dua tahun (ketika aku berguru kepada Imam Ja'far) celakalah si Nu'man."
Seorang pengikut Imam Ja'far datang dari negeri yang mayoritas
penduduknya mengikuti mazhab Ahlus Sunnah. Ia meminta fatwa apakah boleh
baginya untuk shalat bersama mereka. Imam Ja'far bersabda, "
Barangsiapa yang shalat bersama mereka pada shaf awal sama pahalanya
seperti orang yang shalat di belakang Rasulullah saw pada shaf yang
pertama." Imam Ja'far as berkata , "Jauhilah oleh kamu melakukan
perbuatan yang menyebabkan kami dipermalukkan karenanya. Karena anak
yang buruk mempermalukan orang tuanya dengan kelakuannya. Jadilah kalian
hiasan kepada kami yang telah kalian nisbahkan dirimu. Janganlah kalian
mendatangkan celaan bagi kami, shalatlah di tempat-tempat shalat
mereka, kunjungi orang sakit di antara mereka, layat jenazah mereka, dan
janganlah mereka berbuat kebaikan kecuali kamu lebih dahulu
melakukannya sebelum mereka. Demi Allah, tidak ada ibadat yang lebih
dicintai Allah seperti Al-Khibha." Aku bertanya, "Apakah Al-Khibha? " Ia
berkata, " Taqiyyah." (Al-Wasa-il, Kitab Al-Amr bi Al-Ma'ruf, Bab 26).
Taqiyyah adalah menjalankan fiqih yang diamalkan oleh orang kebanyakan
atau fiqih yang ditetapkan oleh penguasa, untuk menghindari pertikaian
atau perpecahan. Taqiyyah berarti meninggalkan fiqih kita demi
memelihara persaudaraan di kalangan kaum Muslimin.
Semoga bermanfaat, wassalam ww
Sabtu, 14 Januari 2012
Dahulukan akhlak di atas fikih
09.18
Ardhia Pramesti
2 comments
2 komentar:
hadits2 diatas dan qaul ulama diatas apa ada dengan teks arabnya mas?
Kalau ada mohon dishare juga mas.
Sebelumnya terima kasih
Artikel yang bagus sekali, menggambarkan toleransi luar biasa inter-muslimin. Sekarang, mulim cenderung toleran dengan penganut agama lain, tapi keras dengan sesama mereka. Kata Nabi : buistu lilhanafiyah samhah (aku diutus kepada agama yang hanif (lurus) dan toleran.Trims penulis dan penyebar,izin share. Jazakallah khairal jaza
Posting Komentar