Sabtu, 14 Januari 2012

Dahulukan akhlak di atas fikih

Ketika Utsman bin Affan berada di Muna dalam rangkaian ibadah hajinya , ia shalat Zhuhur dan Ashar, masing-masing empat rakaat. Abdurrahman bin Yazid mengabarkan bahwa ketika kejadian itu disampaikan kepada Abdullah bin Mas'ud, ia menerimanya dengan mengucapkan Inna lillahi wa Inna Illaihi Raji'un. Buat Ibn Mas'ud , peristiwa itu adalah sebuah musibah. Utsman sudah meninggalkan sunnah Rasulullah dan sunnah Abu Bakar dan Umar. "Aku shalat dua rakaat. Aku shalat bersama Umar bin Khatab di Muna juga dua rakaat." (Al-Bukhari 2:563 ; Muslim 1:483)

Menurut Al-A'masy, Abdullah bin Mas'ud ternyata shalat di Muna empat rakaat juga. Orang pernah menyampaikan kepada kami hadist bahwa Rasulullah saw
, Abu Bakar dan Umar shalat di Muna dua rakaat "Ibn Mas'ud menjawab, "Memang benar. Aku sampaikan lagi kepada kalian hadist itu sekarang. Tetapi Utsman sekarang ini menjadi imam. Aku tidak akan menentangnya. Wal Khilafu Syarr. Semua pertentangan itu buruk." (Sunan Abu Dawud 2:491, hadist nomor 1960; Sunan Al-Baihaqi, 3:143-144).

Peristiwa ini menunjukkan perbedaan fiqih di antara dua sahabat besar Utsman bin Affan dan Abdullah bin Mas'ud. Secara harfiah, fiqih berarti pemahaman. Secara teknis, fiqih berarti hasil perumusan para Ulama ketika mereka berusaha memahami nash - petunjuk dalam Al-Quran dan Sunnah . Menurut pemahaman Ibn Mas'ud, karena Rasulullah, Abu Bakar, dan Umar meng-qasharnya. Menurut pemahaman Utsman, ia tidak boleh meng-qashar shalat di Muna , karena ia (konon diberitakan) sudah beristri dengan penduduk Mekkah. Jadi posisi Utsman tidak sama dengan posisi Rasulullah saw, Abu Bakar, dan Umar.

Yang menarik untuk kita perhatikan adalah sikap Abdullah bin Mas'ud . Ia menegaskan pendapatnya tentang shalat qashar di Muna; tetapi ia tidak mempraktekkan fiqihnya itu karena menghormati Utsman sebagai imam dan karena ia ingin menghindari pertengkaran. Inilah contoh ketika sahabat yang mulia mendahulukan akhlak di atas fiqih. Secara sederhana, prinsip mendahulu
kan dengan kalimat perintah : Tinggalkan fiqih, jika fiqih itu bertentangan dengan akhlak. Fiqih Ibn Mas'ud adalah meng-qashar shalat ; tetapi akhlak mengharuskan menghormati imam. Ibn Mas'ud meninggalkan fiqih demi memelihara akhlak yang mulia. Fiqih ditinggalkan demi menghindari pertengkaran.
Prinsip inilah yang dicontohkan oleh guru besar dan sendiri Al-Ikhwan Al-Muslim, Imam Hasan Al-Banna. Pada permulaan malam Ramadhan, ia datang ke sebuah masjid di Mesir. Ia menemukan jemaah masjid itu sudah terbelah menjadi dua. Mereka sedang bertengkar berhadap-hadapan, dengan suara yang keras. Satu kelompok menjelaskan bahwa tarawih yang sesuai dengan sunnah Rasulullah saw adalah sebelas rakaat. Kelompok lainnya, dengan merujuk pada hadist, menegaskan bahwa shalat tarawih dengan dua puluh tiga rakaat lebih utama. Hasan Al-Banna bertanya kepada kedua kelompok itu, "Apa hukumnya shalat tarawih ?" Keduanya menjawab, "sunat!" beliau bertanya, "Apa hukumnya bertengkar di Rumah Tuhan dengan suara keras ?" keduanya menjawab (mungkin dengan suara lirih), "Haram!" Imam bertanya, "Mengapa kalian lakukan yang haram untuk mempertahankan yang sunat ?" Dengan kalimat yang lain. Imam Hasan Al-Banna menegur kaum muslimin "mengapa kalian mempertahankan fiqih dengan meninggalkan akhlak ?".
Muhammad Jalil'Isa, dalam kitabnya Ma la yajuzu fih al-khilaf bayna al-muslimin, melaporkan berbagai konflik diantara muslimin karena kesetiaan yang berlebihan kepada fiqih yang di anutnya.
Di Masjid lahore, India, seorang santri ditanya tentang kejadian di Afganistan. Ada seseorang yang sedang sholat melihat kawan disampingnya menggerak-gerakkan telunjuknya ketika mengucapkan kalimat tasyahhud pada tahiyyatnya. Ia memukul jarinya dengan keras sehingga patah. Santri itu menjawab, "Memang, peristiwa itu terjadi!" ketika ditanya apa sebabnya, ia menjawab bahwa orang itu sudah melakukan hal yang haram dalam sholat, yaitu menggerak-gerakkan telunjuknya ketika ditanyakan lagi apa keterangan yang menunjukkan haramnya menggerak-gerakkan telunjuk, santri itu menunjuk kitab fiqih yang ditulis oleh Syaikh Al-Kaydani. Haramnya menggerak-gerakkan telunjuk itu didasarkan pada kitab fiqih. Santri itu lupa bahwa melukai dan mematahkan jari seorang muslim yang sedang shalat jelas-jelas haram berdasarkan dalil-dalil yang tegas dalam Al-quran dan sunnah. Haramnya menggerak-gerakkan telunjuk diperdebatkan diantara para Ulama; tetapi haramnya mematahkan telunjuk orang Islam disepakati oleh semua Mazhab. Yang pertama berkaitan dengan fiqih; yang kedua berkaitan dengan akhlak. Kejadian ini darat Anda temukan pada pasal 12, Muqaddimah Kitab Al-Mughni.
Pada pasal yang sama diceritakan juga peristiwa lainnya di Afghanistan. Seorang pengikut mazhab Hanafi mendengar seorang makmum membaca Al-Fatihah hanya wajib bagi imam dan orang yang shalat Munfarid. Demi mempertahankan fiqih itu, pengikutnya yang fanatik merasa berbuat baik dengan menjatuhkan seorang mushalli yang berbeda mazhabnya.
Contoh lain yang menunjukkan sikap mendahulukan fiqih diatas akhlak adalah meninggalkan shalat berjamaah karena imamnya berlainan mazhab dengannya. Lebih ekstrem lagi, kalau ia beranggapan bahwa shalat dengan mengikuti imam yang berlainan mazhab itu batal atau tidak sah, sehingga shalat perlu diulangi lagi. Al-Syathibi, alim besar, dalam Kitabnya yang terkenal Al-I'tisham, nomor 5 pasal ketujuh menulis, "Diantara kekeliruan memelihara yang sunnah adalah keyakinan orang awam bahwa itu adalah wajib. Sebagian pengikut mazhab Syafi'i keluar meninggalkan shalat jamaah subuh karena imam tidak membaca ayat Sajdah dan tidak sujud karenanya. "Muhammad'Isa melaporkan bahwa apa yang disebut Al-Syathibi itu masih sering terjadi pada zaman sekarang ini. Di sebuah masjid di Kairo, shalat subuh diulangi karena imamnya tidak membaca Sajdah.
Agak mirip Kejadian diatas adalah pengalaman salah seorang dosen Al-Azhar, Muhammad Abdul Wahhab Fayid; "Aku menjadi imam saat shalat maghrib berjamaah disebuah masjid besar di Al-Aryaf. Aku tidak mengeraskan bacaan bismillah dalam Al-Fatihah. Usai shalat, salah seorang yang mengaku sebagai Ulama berteriak, "Saudara-saudara, ulangi shalat kalian! Karena shalat kalian batal!" seorang muazin kemudian menyampaikan iqamat dan Ulama yang berteriak itu menjadi imam shalat maghrib yang kedua. Aku sendiri merasa bimbang dan karena itu aku ulangi shalat itu dibelakang dia bersama orang banyak.
Setelah selesai shalat, aku menemuinya dan berkata kepadanya, "Saya ini sudah shalat dibelakang engkau untuk kedua kalinya. Tetapi, saya ingin tahu apa kesalahan saya sehingga shalat saya menjadi batal !". Ia berkata, 'Karena engkau tidak membaca bismillah pada awal Al-Fatihah.' Aku berkata 'Saya membacanya dalam hati. Ada hadist yang menerangkan membaca bismillah dengan sirr sebagaimana ada hadist yang menerangkan pembacaan bismillah dengan jahar. Kedua-duanya diperbolehkan. Bahkan imam Malik ra berkata : membaca basmalah itu makruh. Saya tidak yakin bahwa seorang yang berkata bahwa shalat Imam Malik seluruhnya batal!! Yang diyakini oleh para Ulama ialah bahwa Imam Syafi'i, jika ia shalat dibelakang Malik dan tidak mendengar bacaan Basmalah, ia tidak meninggalkan shalatnya itu. Bahkan ketika disampaikan kepadanya bahwa jika sekiranya Imam Hanafi berwudhu dan setelah wudhu menyentuh kemaluannya, sahkah shalat Imam Syafi'i dibelakangnya ? (Dalam mazhab Hanafi, menyentuh kemaluannya tidak membatalkan wudhu). Imam Syafi'i menjawab : "Mana mungkin aku tidak shalat dibelakang Abu Hanifah."
Alangkah jauhnya perbedaan antara pengikut dengan Imamnya! Pengikut Imam Syafi'i meninggalkan shalat berjamaah karena Imamnya shalat menurut mazhab Hanafi. Imam Syafi'i merasa terhormat bila ia shalat berjamaah dibelakang dan mengikuti Abu Hanifah. Pernah pada suatu hari, Imam Syafi'i ditunjuk sebagai Imam untuk shalat subuh di masjid Kufah. Tidak jauh dari masjid itu, ada kuburan Imam Hanafi. Imam Syafi'i tidak membaca junut di dalam shalat subuhnya dan tidak melakukan sujud sahwi sebagaimana seharusnya di dalam Fiqih Syafi'i. Ketika orang-orang bertanya kepadanya mengapa ia meninggalkan fiqihnya. Imam Syafi'i menjawab sambil menunjuk kekuburan Abu Hanifah: "Aku menghormati penghuni kuburan itu".
Sebetulnya, kita bisa membedakan paradigma berfikir para mujtahid. Para Ulama besar berpegang pada prinsip mendahulukan akhlak di atas fiqih dan orang-orang awam yang guminter sebaliknya.
Di indonesia, saya mengenal banyak orang yang mengikuti paradigma kedua. Salah seorang diantara mereka mengajarkan fiqih yang diperolehnya dari hasil pemahaman dia diatas fatwa hasil ijtihad Ulama besar. Ia menjemur cuciannya di tempat jemuran yang dekat dengan rumah tetangganya. Hujan turun dengan lebat. Karena kebaikan budi, tetangganya mengumpulkan jemuran kawan saya itu dan menyimpannya di dalam wadah cucian. Ia menyerahkannya kepada santri yang "faqih" itu. Sang santri mendelik marah, "Karena ulah anda, aku harus mencuci kembali seluruh cucian ini." Menurut kawan saya itu, pakaian yang sudah disentuh oleh tangan basah orang yang berbeda mazhab menjadi najis. Kawan saya itu juga tidak mau shalat Jumat di kampungnya dan tidak pernah ikut shalat berjamaah bersama mereka. Ketika ia berbuka puasa, ia memilih waktu buka puasa yang berbeda dengan orang-orang Islam lainnya di kampungnya. Ia mendahulukan fiqihnya ketimbang mematuhi sabda Nabi saw, "Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaknya ia memuliakan tetangganya.

Fiqih diangkat dari pendapat Ulama ke satu tingkat sejajar dengan Al-Qur'an dan Sunnah. Fiqih yang sangat manusiawi sekarang memiliki status Ilahi-suci, tidak boleh dibantah, dan pasti benar. Dari situ muncullah keinginan untuk mempersatukan mazhab, seperti yang ditujukan oleh mahasiswa Muhammad Awwamah dalam tulisan Saya yang terdahulu. Di indonesia, keinginan ini ditujukan dalam anggapan bahwa hanya kelompok Kita saja yang beramal sesuai dengan Al-Qur'an dan Sunnah. Kelompok yang berbeda pendapat dengan kita dianggap tidak mendasarkan amalan mereka pada Al-Qur'an dan Hadist yang shahih. Mereka harus kita kembalikan ke jalan yang benar. Umat Islam baru bisa dipersatukan bila semuanya sudah mengikuti pendapat kelompok kita atau beriman pada iman kita.

Dahulu , Umar bin Abdul'Aziz berkeinginan untuk mempersatukan semua negeri dibawah pemerintahannya dalam satu mazhab. Tetapi ia segera mengetahui bahwa dalam setiap negeri sudah berlangsung tradisi Fiqih yang berbeda. Mereka mewarisinya dari para sahabat terdahulu. Para sahabat Nabi saw yang datang di Syam membawa fatwa fiqih yang berbeda dengan mereka yang datang ke mesir dan Kufah ; dan berbeda pula dari para sahabat yang tinggal di Mekkah dan Madinah. Akhirnya, Umar membiarkan setiap negeri mengikuti Ulama di negerinya masing-masing (lihat Tarikh Abu Zar'ah Al-Dimasyqi 1:202 ) . Mungkin juga karena setiap negeri menghadapi kondisi sosial ekonomis yang berlainan . Bukankah setiap fiqih dikembangkan untuk menjawab masalah-masalah yang bersifat lokal dan temporal ?

Keinginan yang sama pernah terlintas pada benak Abu Ja'far Al-Manshur, dari Khalifah Abbasiyyah, Iman Malik adalah faqih terkemuka di zaman itu. Kitabnya, Al-Muwaththa, menjadi rujukan utama para Ulama di berbagai negeri. Iman Malik berkata, "Ketika Al-Manshur berhaji ia mengundang aku ketempatnya. Terjadilah tanya jawab antara aku dengan dia. Ia berkata: Aku bermaksud untuk menurunkan perintah agar buku yang Anda tulis ini yakni Al-Muwaththa disalin menjadi banyak naskah. Lalu , setiap naskah aku kirimi ke setiap negeri. Aku akan memerintahkan setiap hakim di negeri itu beramal dengan kitab Anda Fa man khalafa dharabtu' unuqah. Siapa yang menentang , aku potong lehernya.

"Aku berkata kepadanya: Ya Amir Al-Mukminin , jangan lakukan hal seperti itu, kepada setiap masyarakat sudah berlaku berbagai pendapat , Mereka telah mendengar Hadist-Hadist, mereka telah menyampaikan riwayat-riwayat. Setiap kaum telah mengubahnya dari apa yang mereka ketahui kepada apa yang mereka tidak ketahui, mereka akan menganggapnya sebagai kekafiran. Biarlah seperti negeri berpegang kepada ilmu yang ada pada mereka. Jika anda mau mengambil ilmu ini, ambillah untuk dirimu saja. Para sahabat Rasulullah saw telah berikhtilaf pada hal-hal yang furu' dan tersebar di berbagai penjuru. Semuanya benar. Al-manshur berkata : "Jika Anda menyetujuinya sungguh aku akan memerintahkannya." (Thabaqat Ibn Sa'ad, hal 440; Taqdimah Al-Jarhwa Al-Ta'dil 29 ).

Keinginan kita untuk mempersatukan kaum muslimin agar bermazhab tunggal adalah paradigma fiqih di atas akhlak. Ucapan Iman Malik kepada Al-Manshur adalah paradigma akhlak di atas fiqih. Iman Malik tidak ingin menimbulkan kebingungan pada orang-orang awam. Ia mengingatkan khalifah : Jika Anda mengubahnya dari apa yang mereka ketahui kepada apa yang tidak mereka ketahui , mereka akan menganggapnya sebagai kekafiran. Ia mendahulukan memelihara kerukunan dan ketentraman dari pada mempertahankan mazhab fiqihnya.

Tradisi ini dilanjutkan oleh Ulama salih sesudahnya. Ibn Abd Al-Birr memberitakan Abu Ibrahim bin Ishaq yang selalu mengangkat tangan pada setiap pergantian gerakan shalat setiap kali mengangkat atau menurunkan kepala. Ia menyebut Ibn Ishaq sebagai orang paling faqih dan paling benar ilmunya. Ibn Al-Birr berkata , "Mengapa Anda tidak mengangkat tangan juga supaya kami mengikuti Anda." Abd Al-Malik berkata : "Aku tidak ingin menentang pendapat Ibn Al-Qasim. Sekarang ini masyarakat beriman kepadanya. Bertentangan dengan masyarakat pada hal yang diperbolehkan bagi kita bukanlah akhlak para Iman (Al-Istidzkar 2:124 ).

Jadi, bolehlah Anda menganggap pendapat Anda atau seseorang lebih kuat dari yang lain. Yakinilah itu dalam diri Anda . Itulah pendapat yang lebih Anda sukai. Tetapi, ketika Anda mengamalkannya, ikutilah yang lazim di tengah-tengah masyarakat. Ibn Taymiyyah pernah ditanya apakah basmalah itu dikeraskan atau dipelankan ? Ia menyebut pendapat kebanyakan fuqaha dan ahli Hadist yang menganjurkan untuk men-sirrkan basmalah. Ahmad bin Hambal lebih menyukai pendapat yang mengeraskan basmalah. Segera setelah itu , Ibn Taymiyyah berkata : "Sebaliknya orang meninggalkan pendapat yang disukainya untuk memelihara persaudaraan di antara manusia. Kemaslahatan yang terjadi karena pertalian hati dalam agama lebih besar ketimbang kemaslahatan karena mengamalkan saham fiqih seperti ini. Seperti Nabi saw pernah tidak mengubah bangunan karena dalam melestarikan bangunan itu Nabi saw memelihara hubungan kasih sayang (pertalian hati). Sebagaimana Ibn Mas'ud pernah menentang Utsman yang tidak meng-qashar shalat dalam perjalanan, tetapi ia sendiri juga tidak meng-qasharnya ketika shalat di belakang Utsman. Ia berkata : "Bertengkar itu jelek !"
(Majmu' Fatawa Syaikh Al-Islam Ibn Taymiyyah 22: 406-407).

Walaupun para pengikut Ibn Taymiyyah di Indonesia mengatakan bahwa mereka tidak bermazhab, Ibn Taymiyyah sendiri cenderung mengikuti mazhab Hambali. Iman Hambali lebih suka menjaharkan , tetapi demi kemaslahatan kaum muslimin, Ibn Taymiyyah menganjurkan kita untuk meninggalkan yang disukainya. Fiqih ditinggalkan demi akhlak.

Ketika Iman Hambali ditanya tentang suatu masalah fiqih , ia berkata , "Aku ahli hadist. Tanyalah Sofyan Al-Tsawri ia lebih mengerti fiqih ketimbang aku." Al-Tsawri berkata kepada salah seorang muridnya, "Jika kamu melihat seseorang mengamalkan sesuatu yang diikhtilafkan dan kamu punya pendapat yang lain, janganlah kamu melarang dia melakukannya." (Al-Khatib , Al-Faqih wa Al-Mutafahqih 2:69 ).

Iman Abu Hanifah berkata, "Perkataan kami ini hanyalah pendapat. Itulah yang terbaik yang darat kami capai. Jika ada orang yang datang dengan pendapat yang lebih baik dari perkataan kami, itulah yang lebih benar untuk diikuti." Dalam riwayat lain Abu Hanifah berkata, "Inilah pendapat kami, kami tidak akan memaksakan orang untuk mengikutinya." (Al-Khatib, Tarikh Bagdad 13:353 ;Al-Intifa 140 ).
Fatwa dari Ulama Ahlul Bait

Imam Abu Hanifah pernah hidup sezaman dengan Imam Ja'far Al-Shadiq, salah seorang di antara dua belas Imam dari Ahli Bait Nabi saw . Dengan menisbahkan pada namanya, para pengikutnya menyebut mazhab fiqihnya itu sebagai mazhab Ja'fari. Nu'man, nama kecil Abu Hanifah pernah berguru kepadanya selama dua tahun. Ia berkata , "Law la sanatan,
lahalaka Nu'man". Seandainya tidak ada dua tahun (ketika aku berguru kepada Imam Ja'far) celakalah si Nu'man."

Seorang pengikut Imam Ja'far datang dari negeri yang mayoritas penduduknya mengikuti mazhab Ahlus Sunnah. Ia meminta fatwa apakah boleh baginya untuk shalat bersama mereka. Imam Ja'far bersabda, " Barangsiapa yang shalat bersama mereka pada shaf awal sama pahalanya seperti orang yang shalat di belakang Rasulullah saw pada shaf yang pertama." Imam Ja'far as berkata , "Jauhilah oleh kamu melakukan perbuatan yang menyebabkan kami dipermalukkan karenanya. Karena anak yang buruk mempermalukan orang tuanya dengan kelakuannya. Jadilah kalian hiasan kepada kami yang telah kalian nisbahkan dirimu. Janganlah kalian mendatangkan celaan bagi kami, shalatlah di tempat-tempat shalat mereka, kunjungi orang sakit di antara mereka, layat jenazah mereka, dan janganlah mereka berbuat kebaikan kecuali kamu lebih dahulu melakukannya sebelum mereka. Demi Allah, tidak ada ibadat yang lebih dicintai Allah seperti Al-Khibha." Aku bertanya, "Apakah Al-Khibha? " Ia berkata, " Taqiyyah." (Al-Wasa-il, Kitab Al-Amr bi Al-Ma'ruf, Bab 26).

Taqiyyah adalah menjalankan fiqih yang diamalkan oleh orang kebanyakan atau fiqih yang ditetapkan oleh penguasa, untuk menghindari pertikaian atau perpecahan. Taqiyyah berarti meninggalkan fiqih kita demi memelihara persaudaraan di kalangan kaum Muslimin.
 Semoga bermanfaat, wassalam ww

2 komentar:

Anonim mengatakan...

hadits2 diatas dan qaul ulama diatas apa ada dengan teks arabnya mas?
Kalau ada mohon dishare juga mas.
Sebelumnya terima kasih

the Rain mengatakan...

Artikel yang bagus sekali, menggambarkan toleransi luar biasa inter-muslimin. Sekarang, mulim cenderung toleran dengan penganut agama lain, tapi keras dengan sesama mereka. Kata Nabi : buistu lilhanafiyah samhah (aku diutus kepada agama yang hanif (lurus) dan toleran.Trims penulis dan penyebar,izin share. Jazakallah khairal jaza

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Ibnu Hajar - Premium Blogger Themes | Ma'had Miftahul Jannah