Memasuki
tahun baru 2012, kekerasan atas nama agama meletus lagi. Ratusan orang
membakar pesantren, mushala, dan rumah warga di Kecamatan Omben,
Sampang, Madura.
Dosa mereka: karena pesantren yang dipimpin Ustaz Tajul Muluk itu
mengajarkan Islam mazhab Syiah yang dianggap sesat.
Reaksi
pun datang dari berbagai pihak. Ketua Muhammadiyah Din Syamsuddin dan
Ketua Majelis Ulama Indonesia Umar Shihab menyusul menegaskan bahwa
Syiah tidak sesat.
Ketua
Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama KH Said Aqil Siroj mengingatkan ada
desain besar di balik itu karena sejak dulu tak pernah ada perselisihan
Sunni dan Syiah di Madura. Said Aqil menduga ada pihak yang ingin
merusak suasana damai di Indonesia. "Salah satunya lewat kasus
pembakaran pesantren Syiah di Sampang," katanya.
Dugaan
yang logis. Sebab, Syiah Dua Belas Imam (Itsna'asyariyah) memiliki
banyak kesamaan dengan mazhab Syafi'i, salah satu mazhab Ahlus-Sunnah
(Sunni) yang menjadi panutan mayoritas nahdliyin di Indonesia. Kultur NU
juga sangat mencintai Ahlul Bait (keluarga) Nabi Muhammad SAW dan
keturunannya.
Peringatan
haul, acara tahlil orang meninggal tiga hari, 40 hari, dan
sebagainya—yang banyak dilakukan warga NU—sesungguhnya serupa dengan
upacara-upacara Syiah. Nahdliyin juga pantang menikahkan anak atau
berpesta pada hari Asyura, yang merupakan hari kesedihan memperingati
syahidnya cucu Nabi, Al-Husain (Imam Syiah ketiga). Di kalangan NU juga
sering dibacakan Salawat Dibb, di mana di dalamnya disebutkan nama-nama
Imam Syiah dan keistimewaan Ahlul Bait.
Banyak
studi menunjukkan bahwa versi Islam yang pertama datang ke Indonesia
sesungguhnya adalah Islam Syiah, sebagaimana dibuktikan hadirnya tradisi
Syiah di Aceh. Menurut Syafiq Hasyim (mengutip Marcinkowski dalam
Irasec's Discussion Papers, 2011) muslimin di Indonesia berutang kepada
para ulama dan pedagang Syiah yang membawa Islam ke Indonesia.
Dari pedang ke pena
Studi
lain menyebutkan, pada sekitar 320 H, Ahmad bin Isa "Al-Muhajir" bin
Muhammad bin Ali bin Ja'far As-Shadiq—keturunan kesembilan dari Nabi
SAW—hijrah dari Irak ke Hadramaut, Yaman bagian selatan. Pedagang kaya
itu menghindari teror penguasa Bani Abbasiyah, saat keturunan Nabi SAW,
yang notabene Syiah, dikejar-kejar kaki tangan khalifah di Irak (Walter
Dostal dalam The Saints of Hadramawt, 2005).
Cucu
Imam Syiah keenam (Ja'far As-Shadiq) itu kemudian mematahkan pedangnya.
Sebagai gantinya, Al-Muhajir mengajak para pengikutnya memproklamasikan
dakwah secara damai dengan pena. Di Hadramaut itu ia mengajarkan
tarekat Al-Alawiy yang sufi. Sebagian sejarawan mengatakan ia bermazhab
Syafi'i, tetapi ada pula yang menunjukkan bahwa sebenarnya ia Syiah,
tetapi menutupinya demi keselamatan dari kejaran penguasa.
Pada sekitar tahun 1600-an, anak cucu Al-Muhajir—yang menyandang gelar sayid, syed, sharif, atau habib—melakukan
diaspora
ke sejumlah negara, termasuk Indonesia. Di berbagai belahan dunia itu,
anak cucu Al-Muhajir selalu memilih dakwah secara damai dan
anti-fundamentalisme. Para habib muda yang sekarang pun berdakwah secara
damai meski kadang dikritik memacetkan jalanan Jakarta.
Kita
tak tahu berapa juta umat Islam di Indonesia yang bermazhab Syiah. Yang
kita tahu, dua pokok ajaran kelompok minoritas (sekitar 20 persen dari
total umat Islam di dunia) ini adalah keharusan mengikuti Ahlul Bait
(keluarga) Nabi SAW—mulai dari khalifah keempat Ali bin Abithalib hingga
ke-11 anak cucunya—dan berdasarkan Al Quran dan hadis serta mengakui
kepemimpinan Ali sebagai penerus Nabi SAW.
Ali
itulah salah seorang Ahlul Bait Nabi SAW yang utama. Anggota yang lain
adalah putri Nabi (yang juga istri Ali), Siti Fatimah Az-Zahra, serta
kedua anak mereka, Hasan dan Husain. Sebagai dalil naqli, Syiah merujuk
beberapa ayat Al Quran; juga pada hadis Nabi SAW mengenai kata "Ahlul
Bait"' dalam Surat Asyu'ara 23, yang menyatakan kewajiban mencintai
keluarganya. Yang menarik adalah bahwa tidak kurang dari 45 ulama Sunni
terdahulu juga meriwayatkan hadis itu, di antaranya Ahmad bin Hanbal,
Al-Thabrani, Al-Hakim, Jalaluddin Al-Suyuti, dan Ibnu Katsir.
Itu
sebabnya, kecintaan kepada Ahlul Bait Nabi SAW bukan hanya monopoli
kaum Syiah, melainkan seluruh muslimin. Berderet nama ulama Sunni
tersohor menegaskan hal ini. Imam Syafi'i, misalnya, secara gamblang
menunjukkan kecintaannya kepada Ahlul Bait. "Sekiranya mencintai
keluarga Rasul itu Syiah, maka saksikanlah wahai seluruh jin dan manusia
bahwa aku ini Syiah," kata Syafi'i.
Toleransi dan persatuan
Walhasil,
kini kita bisa membayangkan: apabila Syiah yang secara kultural dekat
dengan NU saja diserang, apatah lagi yang akan terjadi pada pengikut
ajaran lain yang punya lebih banyak perbedaan? Selayaknya semua pihak
menyadari bahwa berbagai mazhab dalam Islam sendiri baru muncul setelah
masa tabi'in, sekitar abad kedua Hijriah. Di kalangan Sunni sendiri
terdapat belasan mazhab, termasuk empat yang besar: Maliki, Hanafi,
Syafi'i, dan Hambali.
Melihat
beragamnya mazhab itu, sejak lama banyak ulama Sunni dan Syiah
menekankan perlunya persatuan ukhuwah Islamiyah. Pada era 2000-an upaya
persatuan itu diperkuat dengan hadirnya lembaga Pendekatan Antar-Mazhab
Dunia (Al-Majma' al-Alamy lit-Taqrib baina al-Madzahib), yang banyak
sidangnya juga dihadiri ulama-ulama dari Indonesia.
Maka,
dalam konteks persatuan, tokoh Sunni, seperti Quraish Shihab,
mengingatkan umat Islam tidak boleh main tuduh. Mengutip mantan Guru
Besar Universitas Al-Azhar Syaikh Muhammad Abul Azhim az-Zarqany yang
mengecam kesalahan kelompok yang saling memaki, Quraisy mengatakan,
"Jangan sampai menuduh seorang Muslim dengan kekufuran, bidah, atau hawa
nafsu hanya disebabkan dia berbeda dengan kita dalam pandangan Islam
yang bersifat teoritis…" (Shihab, 2007).
Memang
orang Syiah, sebagaimana saudaranya yang Sunni, percaya pada hadis
tentang pentingnya Al Quran dan Sunnah. Namun, berbeda dengan Sunni,
mereka lebih kuat berpegang pada hadis lain (juga diriwayatkan banyak
sumber Sunni) yang mengharuskan berpegang kepada Al Quran dan Ahlul
Bait—yang mana keduanya tidak akan berpisah hingga akhir zaman sehingga
tidak akan tersesat siapa pun yang berpegang pada keduanya.
Namun,
sebagian ulama berpendapat bahwa perbedaan itu hanya soal cabang agama
(furu'), dan bukan masalah pokok ajaran Islam (ushuluddin). Tak aneh
jika tokoh sekaliber Abdurrahman Wahid mengakui bahwa Syiah adalah
mazhab kelima dalam Islam (Daniel Dhakidae, 2003).
(IRIBIndonesia/Kompas/SL)
Oleh: Syafiq Basri Assegaff
Penggagas Gerakan Anti-Radikalisme Islam (Garis); Peneliti di Pusat Studi Islam dan Kenegaraan Universitas Paramadina
0 komentar:
Posting Komentar