Islam
adalah agama kasih sayang, toleran dan moderat. Umat Islam berbeda
dengan umat-umat lain karena kemoderatannya, sebagaimana dinyatakan oleh
Allah Swt dalam firman-Nya.
Agama kita unggul karena mengedepankan toleransi, kemudahan, dan tidak
mempersulit umatnya. Namun demikian, ada saja kelompok-kelompok yang
menyalahi maksud Pembuat syariat yang Mahabijaksana. Mereka menanggalkan
tanda sebagai umat yang moderat dan seimbang. Mereka menyimpang dari
jalan yang lurus dan menyempal dari manhaj yang benar. Mereka cenderung berlebih-lebihan dan kaku.
Fenomena
yang memilukan ini memberikan peluang kepada musuh-musuh Islam untuk
melancarkan kampanye gelap berisi fitnah dan tuduhan yang ingin
disematkan kepada Islam, yaitu tuduhan fanatik, teroris, intoleran dan
tudingan-tudingan lain yang tidak berdasar tentang Islam dan tidak ada
sandarannya, baik dari ilmu pengetahuan maupun dari realitas sejarah.
Orang-orang yang menyimpang itu, sadar tidak sadar, telah membantu
musuh-musuh umat Islam untuk mewujudkan apa yang ingin mereka ambil dari
Islam dan pemeluknya.
Inilah topik bahasan dalam dialog kita kali ini bersama Syekh Yusuf al-Ghaus, peneliti Islam dari Libanon.
Tanya: Profesor yang terhormat! Apa itu ekstremisme keberagamaan?
Jawab: Ekstremisme atau al-tatharruf
adalah berlebih-lebihan dalam beragama, tepatnya menerapkan agama
secara kaku dan keras hingga melewati batas kewajaran. Para ulama dulu
menerapkan kata ekstremisme keberagamaan kepada orang, pendapat, atau
perbuatan yang menyalahi syariat. Dia memahami nash-nash syariat dengan
pemahaman yang melenceng jauh dari maksud Pembuat syariat dan spirit
Islam. Dengan demikian, ekstremisme dalam beragama adalah pemahaman yang
mengarah kepada salah satu dari dua kesimpulan yang tidak baik, yaitu
keterlaluan dan melampaui batas (al-ifrâth wa al-tafrîth).
Orang
yang ekstremis dalam beragama adalah orang yang melewati batas-batas
agama, berpaling dari hukum dan petunjuknya. Orang yang berlebih-lebihan
dalam beragama adalah ekstremis yang menyangkal kemoderatan dan
kemudahan agama. Kata lain yang punya kaitan dengan ekstremis adalah
berlebih-lebihan atau al-ghuluw. Para ulama telah menjelaskan pengertian berlebih-lebihan dalam beragama, antara lain al-Nawawi. Dia mengatakan, “Al-Ghuluw (berlebih-lebihan) adalah menambah-nambahkan sesuatu di luar yang dituntut oleh syariat.” Dengan kata lain, al-ghuluw adalah melampaui perintah Allah dengan alasan untuk memperketat.
Tanya: Menurut Anda, mengapa fenomena ekstremisme keberagamaan ini bisa terjadi? Apa penyebabnya?
Jawab:
Penyebab utama terjadinya ekstremisme dalam beragama adalah salah
memahami agama, fanatik buta kepada satu pendapat, dan tidak mengakui
pendapat orang lain, terutama dalam persoalan-persoalan ijtihad (ijtihâdiyyah). Salah paham dan fanatik buta kepada satu pendapat menyebabkan orang yang ekstremis menganggap masalah-masalah ijtihâdiyyah
sebagai masalah yang pasti, yang hanya memiliki satu pendapat, yaitu
pendapatnya. Petunjuk paling jelas atas ekstremisme adalah fanatik
kepada satu pendapat dan tidak mengakui pendapat orang lain. Petunjuk
lainnya adalah bersikeras dengan satu pemahaman dan tidak menerima
pemahaman lain meskipun jelas-jelas membawa kemaslahatan bagi
manusia.... Ada orang yang membolehkan dirinya berijtihad dalam
masalah-masalah yang sangat sulit dipahami dan sangat pelik, kemudian
dia memberikan fatwa sesuai dengan pendapatnya, entah tepat ataupun
tidak, tapi dia tidak memperkenankan para ulama masa kini yang ahli di
bidang tersebut, baik individu maupun kolektif, untuk memberikan
pendapat yang bertentangan dengan pendapatnya. Aneh bukan?
Tanya:
seperti kita ketahui bahwa fanatik kepada satu pendapat dan salah
memahami agama itu bermacam-macam bentuknya. Bisakah Anda menceritakan
bentuk yang paling menonjol dari fenomena yang terjadi di masyarakat
muslim ini?
Jawab: pertama-tama kita bicarakan soal pemikiran mengafirkan orang lain (takfîr). Dampak al-ghuluww dan ekstremisme yang paling membahayakan adalah merebaknya pemikiran mengafirkan orang lain di tengah-tengah masyarakat muslim. Orang-orang
yang punya pemikiran seperti itu akan dengan mudah menyatakan orang
lain sesat dan kafir, bahkan menyatakan boleh mengucurkan darah dan
merampas hartanya. Mereka membunuh kaum muslimin yang tidak bersalah
hanya lantaran berbeda pendapat dengan mereka. Orang-orang yang tidak
sependapat dengan mereka diancam akan dibunuh. Bahkan ada di antara
mereka yang mengafirkan pemerintah dan sistem yang menerapkan hukum
positif. Mereka menyatakan semua orang yang bekerja di bidang peradilan,
parlemen, administrasi pemerintahan, tentara, dan kepolisian telah
murtad, dan oleh karena itu boleh dibunuh. Menurut mereka, orang-orang
tersebut telah menjalankan hukum syaitan (thâghût).
Harus
diingat bahwa mengafirkan orang lain merupakan ideologi yang ditolak
dan dilarang oleh agama. Sejumlah nas yang sahih, jelas, dan mutawatir
melarang kita mengafirkan orang lain. Itu sudah cukup untuk kita jadikan
pegangan. Sebagai catatan, Khawarij adalah yang pertama kali
memunculkan pemikiran mengafirkan orang lain di kalangan umat ini.
Menurut mereka, muslim yang berbuat dosa itu kafir, darahnya halal
ditumpahkan, dan hartanya halal dirampas.
Partisipasi politik demi
perubahan ke arah yang lebih baik dalam pelbagai sendi kehidupan telah
hilang dari logika kelompok keagamaan yang ekstrem, yang telah
menyimpang dari pemahaman agama Islam yang moderat. Mereka menjadikan
kekerasan sebagai sarana untuk setiap perubahan dalam masyarakat.
Padahal mekanisme partisipasi politik, baik di dewan legislatif maupun
lembaga swadaya masyarakat, sejatinya lebih berpengaruh dalam mengurusi
persoalan real di Pakistan daripada melakukan tindak kekerasan. Berkarya
melalui lembaga politik dan legislatif untuk melakukan perubahan dan
melaksanakan reformasi jauh lebih praktis, tidak membahayakan masa depan
negara, dan tidak mengancam keamanan dan stabilitas negara.
Tahapan berikutnya adalah soal interaksi dengan non-muslim. Islam tidak memaksa siapa pun untuk memeluk agama Islam. “Tidak ada paksaan untuk (memeluk) agama (Islam).” (QS. al-Baqarah [2]: 256), sebagaimana telah menjadi pendapat umum dalam yurisprudensi Islam. Islam
menekankan kehidupan yang damai antar agama. Piagam Madinah (Perjanjian
antara Muslim dan Yahudi) adalah bukti paling otentik atas hal itu.
Namun demikian, sebagian orang yang sejatinya tidak mengetahui hakikat
Islam mengumumkan ke khalayak umat beragama bahwa kekafiran merupakan
alasan yang cukup untuk menumpahkan darah. Ini jelas merupakan
ketidaktahuan terhadap agama dan bertentangan dengan keterangan
ayat-ayat al-Quran yang mulia, Sunnah Nabi, dan pengalaman praktis dari
sejarah Islam. Perlu dicatat bahwa Islam tidak melarang berbuat baik
kepada non-muslim selama mereka berlaku damai. Allah Swt berfirman, “Allah
tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang
yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari
negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (QS. al-Mumtahanan [60]: 8).
Tanya: Bagaimana sikap ekstremisme keberagamaan dalam hal partisipasi perempuan?
Jawab:
Sebagian pemeluk agama menjadi batu sandungan bagi partisipasi
perempuan dalam membangun masyarakat, padahal Allah yang Mahakuasa
menciptakan manusia, laki-laki dan perempuan, dalam kehidupan ini untuk
menyembah-Nya. Ibadah adalah gerak-gerik manusia yang sesuai dengan
syariat Allah Swt dalam menyucikan diri dan menata masyarakat.
Menonaktifkan kapasitas dan kemampuan merealisasikan tujuan tersebut
merupakan tindakan yang bertentangan dengan hukum Allah swt. Perempuan
juga bagian dari masyarakat. Aktivitasnya dalam menunaikan tugas-tugas
kemasyarakatan akan menjadikan masyarakat lebih mampu menatap peradaban
dan menghadapi tantangan, unggul dalam berkontribusi dan mempengaruhi
masyarakat lain. Demikian pula menonaktifkan perempuan dari tugas-tugas
kemasyarakatan dan mengekang potensinya dalam merealisasikan
tujuan-tujuan masyarakat adalah penyebab stagnasi masyarakat dan
ujung-ujungnya bakal ditinggalkan oleh peradaban manusia.
Saat
ini umat Islam telah kehilangan banyak hal karena gagal memanfaatkan
kemampuannya secara optimal dalam mengamankan nasionalnya dan
menyaksikan peradabannya. Akan lebih parah lagi apabila menonaktifkan
perempuan dari tanggung jawab kemasyarakatannya dengan mengatasnamakan agama. Jangan lupa
bahwa ada tugas-tugas kemasyarakatan yang hanya dapat dilakukan secara
optimal dengan partisipasi aktif dari laki-laki dan perempuan.
Ketiadaan
kaum perempuan di dunia Islam yang mengemban tanggung jawab
kemasyarakatan dalam bentuknya yang bisa diterima telah memberikan
kesempatan kepada musuh-musuh Islam untuk menuduh Islam telah
memberangus hak-hak perempuan dan melarang mereka bekerja. Bahkan
sebagian muslim telah menjadi korban kebohongan terhadap agama ini.
Mereka menyalahkan ketiadaan perempuan dalam berbagai bidang pekerjaan
kepada agama. Menurut mereka kaum perempuan telah dirampas hak-haknya yang telah diberikan oleh Allah atas nama agama atau tradisi.
Itulah
yang membuat banyak perempuan muslim meninggalkan agama dan terlibat
dalam gerakan anti-agama. Mereka kira agama tidak memberikan hak-hak
mereka, melarang mereka bekerja dan berkontribusi kepada masyarakat.
Mereka kira agama bertentangan dengan perkembangan kemampuan dan energi
mereka. Padahal kenyataannya tidak seperti itu. Jika kita flashback
ke masa perkembangan Islam di era Nabi saw, disebutkan bahwa perempuan
berpartisipasi aktif dalam isu-isu sosial. Mereka memiliki kesadaran dan
kemampuan dalam menangani isu-isu reformasi dan pembangunan. Mengekang
perempuan dari interaksi dengan isu-isu kemasyarakatan dan
menjauhkannya dari keterlibatan secara praktis dalam isu-isu pembangunan
dan reformasi masyarakat semata-mata merupakan residu dari masa-masa
keterbelakangan dan kejumudan. Hal itu jelas harus dilewati. Oleh karena
itu, mengaktifkan peran perempuan dalam pekerjaan masyarakat, di
samping tetap aktif mengerjakan tugas dan fungsi pendidikan di rumah,
adalah salah satu tuntutan strategis dakwah Islam di era sekarang.
Bahkan, hal itu merupakan respons praktis terhadap kesimpangsiuran dan
tuduhan tidak berdasar yang telah dialamatkan kepada agama Islam.
Penugasan
perempuan untuk bekerja masuk dalam keumuman tugas-tugas syariat yang
mencakup berbagai bidang kehidupan, kecuali jika ada ketetapan khusus
untuknya. Mematuhi tugas-tugas yang luas cakupannya ini menuntut kaum
laki-laki dan perempuan berinteraksi dengan semua isu kemasyarakatan dan
berpartisipasi di dalamnya. Itu merupakan sebuah kemestian dan harus
didahului dengan menciptakan lingkungan yang layak untuk membentuk
kesadaran dan kemampuan menganalisis realitas dan memahami berbagai
dimensinya.
0 komentar:
Posting Komentar