Jumat, 13 Januari 2012

Ekstrim, fanatik, teroris dalam kajian Islam

E-mail

Ekstremisme Keberagamaan Islam adalah agama kasih sayang, toleran dan moderat. Umat Islam berbeda dengan umat-umat lain karena kemoderatannya, sebagaimana dinyatakan oleh Allah Swt dalam firman-Nya. Agama kita unggul karena mengedepankan toleransi, kemudahan, dan tidak mempersulit umatnya. Namun demikian, ada saja kelompok-kelompok yang menyalahi maksud Pembuat syariat yang Mahabijaksana. Mereka menanggalkan tanda sebagai umat yang moderat dan seimbang. Mereka menyimpang dari jalan yang lurus dan menyempal dari manhaj yang benar. Mereka cenderung berlebih-lebihan dan kaku.
Fenomena yang memilukan ini memberikan peluang kepada musuh-musuh Islam untuk melancarkan kampanye gelap berisi fitnah dan tuduhan yang ingin disematkan kepada Islam, yaitu tuduhan fanatik, teroris, intoleran dan tudingan-tudingan lain yang tidak berdasar tentang Islam dan tidak ada sandarannya, baik dari ilmu pengetahuan maupun dari realitas sejarah. Orang-orang yang menyimpang itu, sadar tidak sadar, telah membantu musuh-musuh umat Islam untuk mewujudkan apa yang ingin mereka ambil dari Islam dan pemeluknya.
Inilah topik bahasan dalam dialog kita kali ini bersama Syekh Yusuf al-Ghaus, peneliti Islam dari Libanon.
Tanya: Profesor yang terhormat! Apa itu ekstremisme keberagamaan?
Jawab: Ekstremisme atau al-tatharruf adalah berlebih-lebihan dalam beragama, tepatnya menerapkan agama secara kaku dan keras hingga melewati batas kewajaran. Para ulama dulu menerapkan kata ekstremisme keberagamaan kepada orang, pendapat, atau perbuatan yang menyalahi syariat. Dia memahami nash-nash syariat dengan pemahaman yang melenceng jauh dari maksud Pembuat syariat dan spirit Islam. Dengan demikian, ekstremisme dalam beragama adalah pemahaman yang mengarah kepada salah satu dari dua kesimpulan yang tidak baik, yaitu keterlaluan dan melampaui batas (al-ifrâth wa al-tafrîth).
Orang yang ekstremis dalam beragama adalah orang yang melewati batas-batas agama, berpaling dari hukum dan petunjuknya. Orang yang berlebih-lebihan dalam beragama adalah ekstremis yang menyangkal kemoderatan dan kemudahan agama. Kata lain yang punya kaitan dengan ekstremis adalah berlebih-lebihan atau al-ghuluw. Para ulama telah menjelaskan pengertian berlebih-lebihan dalam beragama, antara lain al-Nawawi. Dia mengatakan, “Al-Ghuluw (berlebih-lebihan) adalah menambah-nambahkan sesuatu di luar yang dituntut oleh syariat.” Dengan kata lain, al-ghuluw adalah melampaui perintah Allah dengan alasan untuk memperketat.
Tanya: Menurut Anda, mengapa fenomena ekstremisme keberagamaan ini bisa terjadi? Apa penyebabnya?
Jawab: Penyebab utama terjadinya ekstremisme dalam beragama adalah salah memahami agama, fanatik buta kepada satu pendapat, dan tidak mengakui pendapat orang lain, terutama dalam persoalan-persoalan ijtihad (ijtihâdiyyah). Salah paham dan fanatik buta kepada satu pendapat menyebabkan orang yang ekstremis menganggap masalah-masalah ijtihâdiyyah sebagai masalah yang pasti, yang hanya memiliki satu pendapat, yaitu pendapatnya. Petunjuk paling jelas atas ekstremisme adalah fanatik kepada satu pendapat dan tidak mengakui pendapat orang lain. Petunjuk lainnya adalah bersikeras dengan satu pemahaman dan tidak menerima pemahaman lain meskipun jelas-jelas membawa kemaslahatan bagi manusia.... Ada orang yang membolehkan dirinya berijtihad dalam masalah-masalah yang sangat sulit dipahami dan sangat pelik, kemudian dia memberikan fatwa sesuai dengan pendapatnya, entah tepat ataupun tidak, tapi dia tidak memperkenankan para ulama masa kini yang ahli di bidang tersebut, baik individu maupun kolektif, untuk memberikan pendapat yang bertentangan dengan pendapatnya. Aneh bukan?
Tanya: seperti kita ketahui bahwa fanatik kepada satu pendapat dan salah memahami agama itu bermacam-macam bentuknya. Bisakah Anda menceritakan bentuk yang paling menonjol dari fenomena yang terjadi di masyarakat muslim ini?
Jawab: pertama-tama kita bicarakan soal pemikiran mengafirkan orang lain (takfîr). Dampak al-ghuluww dan ekstremisme yang paling membahayakan adalah merebaknya pemikiran mengafirkan orang lain di tengah-tengah masyarakat muslim. Orang-orang yang punya pemikiran seperti itu akan dengan mudah menyatakan orang lain sesat dan kafir, bahkan menyatakan boleh mengucurkan darah dan merampas hartanya. Mereka membunuh kaum muslimin yang tidak bersalah hanya lantaran berbeda pendapat dengan mereka. Orang-orang yang tidak sependapat dengan mereka diancam akan dibunuh. Bahkan ada di antara mereka yang mengafirkan pemerintah dan sistem yang menerapkan hukum positif. Mereka menyatakan semua orang yang bekerja di bidang peradilan, parlemen, administrasi pemerintahan, tentara, dan kepolisian telah murtad, dan oleh karena itu boleh dibunuh. Menurut mereka, orang-orang tersebut telah menjalankan hukum syaitan (thâghût).
Harus diingat bahwa mengafirkan orang lain merupakan ideologi yang ditolak dan dilarang oleh agama. Sejumlah nas yang sahih, jelas, dan mutawatir melarang kita mengafirkan orang lain. Itu sudah cukup untuk kita jadikan pegangan. Sebagai catatan, Khawarij adalah yang pertama kali memunculkan pemikiran mengafirkan orang lain di kalangan umat ini. Menurut mereka, muslim yang berbuat dosa itu kafir, darahnya halal ditumpahkan, dan hartanya halal dirampas.
Partisipasi politik demi perubahan ke arah yang lebih baik dalam pelbagai sendi kehidupan telah hilang dari logika kelompok keagamaan yang ekstrem, yang telah menyimpang dari pemahaman agama Islam yang moderat. Mereka menjadikan kekerasan sebagai sarana untuk setiap perubahan dalam masyarakat. Padahal mekanisme partisipasi politik, baik di dewan legislatif maupun lembaga swadaya masyarakat, sejatinya lebih berpengaruh dalam mengurusi persoalan real di Pakistan daripada melakukan tindak kekerasan. Berkarya melalui lembaga politik dan legislatif untuk melakukan perubahan dan melaksanakan reformasi jauh lebih praktis, tidak membahayakan masa depan negara, dan tidak mengancam keamanan dan stabilitas negara.

Tahapan berikutnya adalah soal interaksi dengan non-muslim. Islam tidak memaksa siapa pun untuk memeluk agama Islam. “Tidak ada paksaan untuk (memeluk) agama (Islam).” (QS. al-Baqarah [2]: 256), sebagaimana telah menjadi pendapat umum dalam yurisprudensi Islam. Islam menekankan kehidupan yang damai antar agama. Piagam Madinah (Perjanjian antara Muslim dan Yahudi) adalah bukti paling otentik atas hal itu. Namun demikian, sebagian orang yang sejatinya tidak mengetahui hakikat Islam mengumumkan ke khalayak umat beragama bahwa kekafiran merupakan alasan yang cukup untuk menumpahkan darah. Ini jelas merupakan ketidaktahuan terhadap agama dan bertentangan dengan keterangan ayat-ayat al-Quran yang mulia, Sunnah Nabi, dan pengalaman praktis dari sejarah Islam. Perlu dicatat bahwa Islam tidak melarang berbuat baik kepada non-muslim selama mereka berlaku damai. Allah Swt berfirman, “Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (QS. al-Mumtahanan [60]: 8).

Tanya: Bagaimana sikap ekstremisme keberagamaan dalam hal partisipasi perempuan?

Jawab: Sebagian pemeluk agama menjadi batu sandungan bagi partisipasi perempuan dalam membangun masyarakat, padahal Allah yang Mahakuasa menciptakan manusia, laki-laki dan perempuan, dalam kehidupan ini untuk menyembah-Nya. Ibadah adalah gerak-gerik manusia yang sesuai dengan syariat Allah Swt dalam menyucikan diri dan menata masyarakat. Menonaktifkan kapasitas dan kemampuan merealisasikan tujuan tersebut merupakan tindakan yang bertentangan dengan hukum Allah swt. Perempuan juga bagian dari masyarakat. Aktivitasnya dalam menunaikan tugas-tugas kemasyarakatan akan menjadikan masyarakat lebih mampu menatap peradaban dan menghadapi tantangan, unggul dalam berkontribusi dan mempengaruhi masyarakat lain. Demikian pula menonaktifkan perempuan dari tugas-tugas kemasyarakatan dan mengekang potensinya dalam merealisasikan tujuan-tujuan masyarakat adalah penyebab stagnasi masyarakat dan ujung-ujungnya bakal ditinggalkan oleh peradaban manusia.
Saat ini umat Islam telah kehilangan banyak hal karena gagal memanfaatkan kemampuannya secara optimal dalam mengamankan nasionalnya dan menyaksikan peradabannya. Akan lebih parah lagi apabila menonaktifkan perempuan dari tanggung jawab kemasyarakatannya dengan mengatasnamakan agama. Jangan lupa bahwa ada tugas-tugas kemasyarakatan yang hanya dapat dilakukan secara optimal dengan partisipasi aktif dari laki-laki dan perempuan.

Ketiadaan kaum perempuan di dunia Islam yang mengemban tanggung jawab kemasyarakatan dalam bentuknya yang bisa diterima telah memberikan kesempatan kepada musuh-musuh Islam untuk menuduh Islam telah memberangus hak-hak perempuan dan melarang mereka bekerja. Bahkan sebagian muslim telah menjadi korban kebohongan terhadap agama ini. Mereka menyalahkan ketiadaan perempuan dalam berbagai bidang pekerjaan kepada agama. Menurut mereka kaum perempuan telah dirampas hak-haknya yang telah diberikan oleh Allah atas nama agama atau tradisi.

Itulah yang membuat banyak perempuan muslim meninggalkan agama dan terlibat dalam gerakan anti-agama. Mereka kira agama tidak memberikan hak-hak mereka, melarang mereka bekerja dan berkontribusi kepada masyarakat. Mereka kira agama bertentangan dengan perkembangan kemampuan dan energi mereka. Padahal kenyataannya tidak seperti itu. Jika kita flashback ke masa perkembangan Islam di era Nabi saw, disebutkan bahwa perempuan berpartisipasi aktif dalam isu-isu sosial. Mereka memiliki kesadaran dan kemampuan dalam menangani isu-isu reformasi dan pembangunan. Mengekang perempuan dari interaksi dengan isu-isu kemasyarakatan dan menjauhkannya dari keterlibatan secara praktis dalam isu-isu pembangunan dan reformasi masyarakat semata-mata merupakan residu dari masa-masa keterbelakangan dan kejumudan. Hal itu jelas harus dilewati. Oleh karena itu, mengaktifkan peran perempuan dalam pekerjaan masyarakat, di samping tetap aktif mengerjakan tugas dan fungsi pendidikan di rumah, adalah salah satu tuntutan strategis dakwah Islam di era sekarang. Bahkan, hal itu merupakan respons praktis terhadap kesimpangsiuran dan tuduhan tidak berdasar yang telah dialamatkan kepada agama Islam.

Penugasan perempuan untuk bekerja masuk dalam keumuman tugas-tugas syariat yang mencakup berbagai bidang kehidupan, kecuali jika ada ketetapan khusus untuknya. Mematuhi tugas-tugas yang luas cakupannya ini menuntut kaum laki-laki dan perempuan berinteraksi dengan semua isu kemasyarakatan dan berpartisipasi di dalamnya. Itu merupakan sebuah kemestian dan harus didahului dengan menciptakan lingkungan yang layak untuk membentuk kesadaran dan kemampuan menganalisis realitas dan memahami berbagai dimensinya.

Upaya yang dibutuhkan untuk maju merupakan tanggung jawab bersama laki-laki dan perempuan seraya memperhatikan perbedaan masing-masing terkait jenis pekerjaan yang dapat mereka lakukan, di samping mempertimbangkan kemampuan bertugas masing-masing. Terkadang perempuan lebih cakap melaksanakan pekerjaan tertentu daripada pria dalam bidang tersebut. Alasan kuat agar perempuan bekerja dan memanfaatkan kemampuannya melampaui batasan kebutuhan keluarga untuk memperbaiki taraf kehidupan. Lebih dari itu, seharusnya yang menjadi dasar dan kriterianya adalah kebutuhan umat dan menjembatani kesenjangannya dengan memanfaatkan potensi dan kemampuan yang ada dalam segmen masyarakat, pria maupun wanita, terlepas dari kebutuhan keluarga untuk mendapatkan finansial.

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Ibnu Hajar - Premium Blogger Themes | Ma'had Miftahul Jannah