Di
antara tokoh Islam yang mazhab fikihnya masih banyak diikuti dan tetap
berkembang sampai saat ini adalah Imam Malik Rahimahullah. Nama lengkap
beliau, Malik bin Anas bin Malik bin Anas bin Abu ‘Amir bin ‘Amr bin Al
Harits bin Ghaiman
bin Khutsail bin ‘Amr bin Al Harits Al Himyari Al Ashbahi Al Madani.
Dinisbahkan kepada beliau Al-Ashbahi, karena nenek moyang beliau berasal
dari sebuah kabilah bangsa Arab bernama Dzi Asbah, dan telah berhijrah
dari Yaman dan akhirnya menetap di Madinah. Dan dinisbahkan pula
kepadanya Al Madani, karena beliau lahir di Madinah, yakni pada tahun 93
H (714 M). Beliau adalah anak dari salah seorang ulama besar Tabi’in
bernama Anas bin Malik. Ibu beliau bernama ‘Aliyah bintu Syariik Al
Adziyyah. Kakek beliau adalah salah seorang sahabat agung Nabi, Anas bin
Malik ra yang selalu menyertai Nabi saw dalam semua peperangan kecuali
perang Badar.
Kelahiran dan Riwayat Pendidikan
Menurut
riwayat yang masyhur, Imam Malik dilahirkan pada tahun 93 H di Kota
Madinah Al-Munawwarah. Beliau lahir, besar, belajar dan mengabdikan
dirinya sepenuhnya di kota Madinah, dan tak pernah sekalipun keluar ke
kota lain, kecuali ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji. Beliau telah
merasa cukup menimba ilmu di Madinah, karena baginya Madinah adalah kota
sumber ilmu yang berlimpah dengan ulama-ulama besarnya, terlebih lagi
ayah dan kakeknya sendiri adalah ulama hadits terpandang di Madinah.
Tumbuh dan besar dalam lingkungan keluarga ulama, menjadikan beliau
sejak kecil telah terbiasa mencintai ilmu. Beliaupun menuntut ilmu dari
banyak ulama yang berdiam di Madinah. Di antara ulama besar yang beliau
serap ilmunya adalah Nafi’ bin Abi Nuaim, Ibnu Syihab Al Zuhri, Abu
Zinad, Hasyim bin Urwa, Yahya bin Said Al Anshari, Muhammad bin
Munkadir, Abdurrahman bin Hurmuz, Abdullah bin Dinar dan Imam Ja’far as
Shadiq. Karena telah memulainya sejak dini, maka di usia yang teramat
muda 17 tahun (riwayat lain menyebutkan 21 tahun) beliau telah
diperbolehkan mengajarkan hadits dan mengeluarkan fatwa. Diriwayatkan
beliau pernah berkata, “Dan tidaklah aku boleh berfatwa dan mengajar
hadis sampai ada 70 orang syeikh dari golongan ahli ilmu yang telah
memberi kesaksian bahwa aku dibenarkan berbuat sedemikian.”
Kecintaan
dan minatnya yang mendalam terhadap ilmu menjadikan hampir seluruh
hidupnya diabdikan dalam dunia pendidikan, tidak kurang empat Khalifah,
mulai dari Al Mansur, Al Mahdi, Harun Arrasyid dan Al Makmun pernah jadi
muridnya, bahkan ulama ulama besar sekaliber Imam Abu Hanifah dan Imam
Syafi’i pun pernah menimba ilmu darinya. Menurut sebuah riwayat
disebutkan bahwa murid Imam Malik yang terkenal mencapai 1.300 orang. Di
antara mereka yang sangat terkenal adalah Ishaq bin Abdullah bin Abu
Thalhah, Ayyub bin Abu Tamimah As Sakhtiyani, Ayyub bin Habiib Al
Juhani, Ibrahim bin ‘Uqbah, Isma’il bin Abi Hakim, Ibnul Mubarak, Al
Qoththon, Ibnu Mahdi, Ibnu Wahb, Ibnu Qosim, Al Qo’nabi, Abdullah bin
Yusuf, Sa’id bin Manshur, Yahya bin Yahya al Andalusi, Yahya bin Bakir,
Qutaibah Abu Mush’ab, Al Auza’i, Sufyan Ats Tsaury, Sufyan bin Uyainah
dan Ismail Ibnu Muhammad bin Sa’ad. Ciri pengajaran Imam Malik adalah
disiplin, ketentraman dan rasa hormat murid terhadap gurunya. Prinsip
ini dijunjung tinggi olehnya sehingga tak segan-segan ia menegur keras
murid-muridnya yang melanggar prinsip tersebut. Pernah suatu kali
Khalifah Mansur membahas sebuah hadits dengan nada agak keras. Sang imam
marah dan berkata, ”Jangan melengking bila sedang membahas hadits
Nabi.” Demikian pula, Imam Malik lebih menghormati ulama dan cendekiawan
dari apapun, hatta kepada khalifah sekalipun. Mencium tangan khalifah
apabila menghadap di baliurang telah menjadi tradisi yang tertanam,
namun Imam Malik tidak pernah sekalipun melakukannya. Namun sebaliknya,
ia sangat hormat pada para cendekiawan, sehingga pernah ia menawarkan
tempat duduknya sendiri kepada Imam Abu Hanifah yang mengunjunginya.
Kepada
murid-muridnya, beliau juga menanamkan kecintaan kepada ilmu dengan
memberikan penghormatan dan pemuliaan terhadap ilmu. Diriwayatkan, dalam
sebuah kunjungan ke kota Madinah, Khalifah Bani Abbasiyyah, yang saat
itu Khalifah Harun Al Rasyid, tertarik mengikuti kajian kitab al
Muwaththa' (himpunan hadis) yang diadakan Imam Malik. Karena khalifah
ingin diajari seorang diri, maka ia mengutus orang untuk memanggil Imam.
Namun Imam Malik menolak, dan memberikan nasihat kepada Khalifah Harun
melalui utusannya, ''Bila sebagai khalifah Anda tidak menghormati ilmu,
tak seorang pun akan menaruh hormat lagi. Manusia yang mencari ilmu,
sementara ilmu tidak akan mencari manusia.'' Khalifah pun akhirnya
bersedia menemui Imam Malik, namun meminta agar para jamaah meninggalkan
ruangan tempat kajian itu diadakan. Namun, permintaan itu kembali tak
dikabulkan Imam Malik. Beliau berkata, ''Saya tidak dapat mengorbankan
kepentingan umum hanya untuk kepentingan seorang pribadi.'' Sang
khalifah pun akhirnya mengikuti ceramah bersama dua putranya dan duduk
berdampingan dengan rakyat kecil.
Dari Al Muwaththa' Hingga Madzhab Maliki
Kitab
seperti apakah Al-Muwaththa’ itu, sehingga Khalifah Harun Al Rasyid
sampai tertarik mengikuti kajiannya bahkan rela duduk berdampingan dalam
majelis bersama para pecinta ilmu dari kalangan rakyat jelata?. Al
Muwaththa' adalah kitab fikih berdasarkan himpunan hadits-hadits pilihan
yang disusun sendiri oleh Imam Malik Rahimahullah. Al Muwaththa'
berarti ‘yang disepakati’ atau ‘tunjang’ atau ‘panduan’ yang membahas
tentang ilmu dan hukum-hukum agama Islam. Kitab ini memuat hadits-hadits
yang dikumpulkan dan diteliti Imam Malik serta pendapat para sahabat
dan ulama-ulama tabiin. Kitab ini lengkap dengan berbagai problem agama
yang merangkum ilmu hadits, ilmu fiqh dan sebagainya. Semua hadits yang
ditulis adalah shahih karena Imam Malik terkenal dengan sifatnya yang
tegas dalam penerimaan sebuah hadits. Beliau sangat berhati-hati ketika
mengklasifikasikan, meneliti dan menerima serta menolak riwayat yang
meragukan. Dari 100.000 hadits yang dihafal beliau, hanya 10.000 saja
yang menurut beliau shahih, namun dari 10.000 hadits itu, kemudian hanya
5.000 saja yang menurut beliau tidak ada lagi keraguan tentang
keshahihannya setelah diteliti dan dibandingkan dengan al-Quran. Namun
beliau hanya memasukkan 1.720 hadits dalam kitabnya tersebut. Menurut
sebuah riwayat, Imam Malik menghabiskan 40 tahun untuk mengumpul dan
menyaring hadits-hadits yang diterima dari guru-gurunya.
Dengan
melalui penelitian dan studi yang komprehensif, maka menjadi wajar jika
kitab Al Muwaththa' ini menjadi rujukan penting dalam dunia Islam,
khususnya pada pembahasan fiqh. Bahkan sejumlah ulama berpendapat bahwa
kitab sumber hadits itu ada tujuh, yaitu Al Kutub as Sittah ditambah Al
Muwaththa’. Karya monumental Imam Malik ini dinilai memiliki banyak
keistimewaan. Ia disusun berdasarkan klasifikasi fikih dengan memperinci
kaidah fikih yang diambil dari hadits dan fatwa sahabat. Hadits-hadits
yang terdapat dalam A l Muwaththa’ tidak semuanya Musnad, ada yang Mursal, mu’dlal dan munqathi.
Sebagian ulama menghitungnya berjumlah 600 hadits musnad, 222 hadits
mursal, 613 hadits mauquf, 285 perkataan tabi’in, disamping itu ada 61
hadits tanpa penyandara, hanya dikatakan telah sampai kepadaku” dan “
dari orang kepercayaan”, tetapi hadits hadits tersebut bersanad dari
jalur jalur lain yang bukan jalur dari Imam Malik sendiri, karena itu
Ibn Abdil Bar an Namiri menentang penyusunan kitab yang berusaha
memuttashilkan hadits-hadits mursal, munqathi’ dan mu’dhal yang terdapat
dalam Al Muwaththa’ Malik.
Menurut
beberapa riwayat, kitab Al Muwaththa' lahir atas permintaan Khalifah
Al-Mansur karena Imam Malik menolak panggilan Khalifah untuk menemuinya
di Baghdad. Karena permintaannya ditolak, maka Al Mansur memberikan
pilihan lain dengan memintanya untuk mengumpulkan hadits dan
membukukannya. Karena ketegasan sikapnya untuk tidak akan meninggalkan
kota Madinah, maka lahirlah Al Muwaththa'. Ditulis di masa Al Mansur
(754-775 M) dan baru selesai di masa Al Mahdi (775-785 M). Kitab ini
telah diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa dengan 16 edisi yang
berlainan. Sedemikan terkenalnya kitab Al-Muwaththa’, Abu Ja’far
Al-Mansur pernah menginginkan untuk menjadikan kitab tersebut sebagai
undang-undang yang perlu diaplikasikan ke setiap negara Islam. Namun
Imam Malik menolaknya, beliau berkata, “Jangan engkau melakukannya!
Masih demikian banyak sahabat yang berpencar diberbagai tempat, mereka
banyak meriwayatkan hadits-hadits selain hadits-hadits dari Hijaz yang
telah menjadi sandaranku, dan telah banyak manusia telah mengambil dan
bersandar pada hadits-hadits tersebut. Maka biarkanlah mereka di dalam
keadaan mereka itu.”
Selain
Al Muwaththa', Imam Malik juga menyusun kitab Al Mudawwanah al Kubra,
yang berisi fatwa-fatwa dan jawaban Imam Malik atas berbagai persoalan.
Beliau juga menulis Risalah fil Qadar yang dikirimkan kepada Abdullah
bin Wahb, an-Nujum wa Manazilul Qa-mar yang diriwayatkan oleh Sahn-un
dari Nafi’ dari beliau, Risalah fil Aqdhiyah, Juz dalam Tafsir, Kitabus
Sir, Risalah ila Laits fi ljma Ahlil Ma-dinah, dan lainnya.
Imam
Malik tidak hanya meninggalkan warisan buku. Ia juga mewariskan mazhab
fikih di kalangan Islam Sunni, yang disebut sebagai Mazhab Maliki.
Selain fatwa-fatwa Imam Malik dan Al Muwatta', kitab-kitab seperti Al
Mudawwanah al Kubra, Bidayatul Mujtahid wa Nihaayatul Muqtashid (karya
Ibnu Rusyd), Matan ar Risalah fi al Fiqh al Maliki (karya Abu Muhammad
Abdullah bin Zaid), Asl al Madarik Syarh Irsyad al Masalik fi Fiqh al
Imam Malik (karya Shihabuddin al Baghdadi), dan Bulgah as Salik li Aqrab
al Masalik (karya Syeikh Ahmad as Sawi), menjadi rujukan utama mazhab
Maliki.
Di
samping sangat konsisten memegang teguh hadits, mazhab ini juga dikenal
amat mengedepankan aspek kemaslahatan dalam menetapkan hukum. Secara
berurutan, sumber hukum yang dikembangkan dalam Mazhab Maliki adalah
Al-Qur'an, Sunnah Rasulullah SAW, amalan sahabat, tradisi masyarakat
Madinah (amal ahli al Madinah), qiyas (analogi), dan al maslahah al
mursalah (kemaslahatan yang tidak didukung atau dilarang oleh dalil
tertentu).
Mazhab
Maliki pernah menjadi mazhab resmi di Mekah, Madinah, Irak, Mesir,
Aljazair, Tunisia, Andalusia (kini Spanyol), Marokko, dan Sudan. Di Iran
juga sampai sekarang masih terdapat sejumlah pengikut Mazhab Maliki
meskipun jumlahnya tidak banyak. Sampai saat ini, hanya Maroko
satu-satunya negara yang secara resmi menganut Mazhab Maliki.
Meskipun
banyak yang mengikuti ajaran dan pendapat-pendapatnya tidak mejadikan
Imam Malik Rahimahullah menjadi bangga dan berbesar hati. Beliau tetap
mengajarkan kepada pengikut-pengikutnya untuk konsisten dalam memegang
teguh dan bersandar pada Al-Qur’an dan Hadits. Pesan beliau yang
tercatat dengan tinta emas dalam lembar sejarah kegemilangan Islam,
"Saya hanyalah seorang manusia, terkadang salah terkadang benar. Oleh
karena itu, telitilah pendapatku. Bila sesuai dengan Al-Qur'an dan
As-Sunnah maka ambillah, dan bila tidak sesuai dengan Al-Qur'an dan
As-Sunnah, maka tinggalkanlah."
Wafat Beliau
Imam
Malik Rahimahullah wafat di pagi hari 14 Rabi’ul Awwal tahun 179 H di
Madinah dalam usia 89 tahun. Semoga Allah meridhainya, mengampuni
kesalahan-kesalahannya, melimpahkan baginya pahala atas amalan-amalan
shalihnya dan menempatkannya dalam keluasan jannah-Nya.
0 komentar:
Posting Komentar