Jumat, 13 Januari 2012

Imam Malik bin Anas

E-mail

mazhab islamDi antara tokoh Islam yang mazhab fikihnya masih banyak diikuti dan tetap berkembang sampai saat ini adalah Imam Malik Rahimahullah. Nama lengkap beliau, Malik bin Anas bin Malik bin Anas bin Abu ‘Amir bin ‘Amr bin Al Harits bin Ghaiman bin Khutsail bin ‘Amr bin Al Harits Al Himyari Al Ashbahi Al Madani. Dinisbahkan kepada beliau Al-Ashbahi, karena nenek moyang beliau berasal dari sebuah kabilah bangsa Arab bernama Dzi Asbah, dan telah berhijrah dari Yaman dan akhirnya menetap di Madinah. Dan dinisbahkan pula kepadanya Al Madani, karena beliau lahir di Madinah, yakni pada tahun 93 H (714 M). Beliau adalah anak dari salah seorang ulama besar Tabi’in bernama Anas bin Malik. Ibu beliau bernama ‘Aliyah bintu Syariik Al Adziyyah. Kakek beliau adalah salah seorang sahabat agung Nabi, Anas bin Malik ra yang selalu menyertai Nabi saw dalam semua peperangan kecuali perang Badar.
Kelahiran dan Riwayat Pendidikan
Menurut riwayat yang masyhur, Imam Malik dilahirkan pada tahun 93 H di Kota Madinah Al-Munawwarah. Beliau lahir, besar, belajar dan mengabdikan dirinya sepenuhnya di kota Madinah, dan tak pernah sekalipun keluar ke kota lain, kecuali ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji. Beliau telah merasa cukup menimba ilmu di Madinah, karena baginya Madinah adalah kota sumber ilmu yang berlimpah dengan ulama-ulama besarnya, terlebih lagi ayah dan kakeknya sendiri adalah ulama hadits terpandang di Madinah. Tumbuh dan besar dalam lingkungan keluarga ulama, menjadikan beliau sejak kecil telah terbiasa mencintai ilmu. Beliaupun menuntut ilmu dari banyak ulama yang berdiam di Madinah. Di antara ulama besar yang beliau serap ilmunya adalah Nafi’ bin Abi Nuaim, Ibnu Syihab Al Zuhri, Abu Zinad, Hasyim bin Urwa, Yahya bin Said Al Anshari, Muhammad bin Munkadir, Abdurrahman bin Hurmuz, Abdullah bin Dinar dan Imam Ja’far as Shadiq. Karena telah memulainya sejak dini, maka di usia yang teramat muda 17 tahun (riwayat lain menyebutkan 21 tahun) beliau telah diperbolehkan mengajarkan hadits dan mengeluarkan fatwa. Diriwayatkan beliau pernah berkata, “Dan tidaklah aku boleh berfatwa dan mengajar hadis sampai ada 70 orang syeikh dari golongan ahli ilmu yang telah memberi kesaksian bahwa aku dibenarkan berbuat sedemikian.”
Kecintaan dan minatnya yang mendalam terhadap ilmu menjadikan hampir seluruh hidupnya diabdikan dalam dunia pendidikan, tidak kurang empat Khalifah, mulai dari Al Mansur, Al Mahdi, Harun Arrasyid dan Al Makmun pernah jadi muridnya, bahkan ulama ulama besar sekaliber Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi’i pun pernah menimba ilmu darinya. Menurut sebuah riwayat disebutkan bahwa murid Imam Malik yang terkenal mencapai 1.300 orang. Di antara mereka yang sangat terkenal adalah Ishaq bin Abdullah bin Abu Thalhah, Ayyub bin Abu Tamimah As Sakhtiyani, Ayyub bin Habiib Al Juhani, Ibrahim bin ‘Uqbah, Isma’il bin Abi Hakim, Ibnul Mubarak, Al Qoththon, Ibnu Mahdi, Ibnu Wahb, Ibnu Qosim, Al Qo’nabi, Abdullah bin Yusuf, Sa’id bin Manshur, Yahya bin Yahya al Andalusi, Yahya bin Bakir, Qutaibah Abu Mush’ab, Al Auza’i, Sufyan Ats Tsaury, Sufyan bin Uyainah dan Ismail Ibnu Muhammad bin Sa’ad. Ciri pengajaran Imam Malik adalah disiplin, ketentraman dan rasa hormat murid terhadap gurunya. Prinsip ini dijunjung tinggi olehnya sehingga tak segan-segan ia menegur keras murid-muridnya yang melanggar prinsip tersebut. Pernah suatu kali Khalifah Mansur membahas sebuah hadits dengan nada agak keras. Sang imam marah dan berkata, ”Jangan melengking bila sedang membahas hadits Nabi.” Demikian pula, Imam Malik lebih menghormati ulama dan cendekiawan dari apapun, hatta kepada khalifah sekalipun. Mencium tangan khalifah apabila menghadap di baliurang telah menjadi tradisi yang tertanam, namun Imam Malik tidak pernah sekalipun melakukannya. Namun sebaliknya, ia sangat hormat pada para cendekiawan, sehingga pernah ia menawarkan tempat duduknya sendiri kepada Imam Abu Hanifah yang mengunjunginya.
Kepada murid-muridnya, beliau juga menanamkan kecintaan kepada ilmu dengan memberikan penghormatan dan pemuliaan terhadap ilmu. Diriwayatkan, dalam sebuah kunjungan ke kota Madinah, Khalifah Bani Abbasiyyah, yang saat itu Khalifah Harun Al Rasyid, tertarik mengikuti kajian kitab al Muwaththa' (himpunan hadis) yang diadakan Imam Malik. Karena khalifah ingin diajari seorang diri, maka ia mengutus orang untuk memanggil Imam. Namun Imam Malik menolak, dan memberikan nasihat kepada Khalifah Harun melalui utusannya, ''Bila sebagai khalifah Anda tidak menghormati ilmu, tak seorang pun akan menaruh hormat lagi. Manusia yang mencari ilmu, sementara ilmu tidak akan mencari manusia.'' Khalifah pun akhirnya bersedia menemui Imam Malik, namun meminta agar para jamaah meninggalkan ruangan tempat kajian itu diadakan. Namun, permintaan itu kembali tak dikabulkan Imam Malik. Beliau berkata, ''Saya tidak dapat mengorbankan kepentingan umum hanya untuk kepentingan seorang pribadi.'' Sang khalifah pun akhirnya mengikuti ceramah bersama dua putranya dan duduk berdampingan dengan rakyat kecil.
Dari Al Muwaththa' Hingga Madzhab Maliki
Kitab seperti apakah Al-Muwaththa’ itu, sehingga Khalifah Harun Al Rasyid sampai tertarik mengikuti kajiannya bahkan rela duduk berdampingan dalam majelis bersama para pecinta ilmu dari kalangan rakyat jelata?. Al Muwaththa' adalah kitab fikih berdasarkan himpunan hadits-hadits pilihan yang disusun sendiri oleh Imam Malik Rahimahullah. Al Muwaththa' berarti ‘yang disepakati’ atau ‘tunjang’ atau ‘panduan’ yang membahas tentang ilmu dan hukum-hukum agama Islam. Kitab ini memuat hadits-hadits yang dikumpulkan dan diteliti Imam Malik serta pendapat para sahabat dan ulama-ulama tabiin. Kitab ini lengkap dengan berbagai problem agama yang merangkum ilmu hadits, ilmu fiqh dan sebagainya. Semua hadits yang ditulis adalah shahih karena Imam Malik terkenal dengan sifatnya yang tegas dalam penerimaan sebuah hadits. Beliau sangat berhati-hati ketika mengklasifikasikan, meneliti dan menerima serta menolak riwayat yang meragukan. Dari 100.000 hadits yang dihafal beliau, hanya 10.000 saja yang menurut beliau shahih, namun dari 10.000 hadits itu, kemudian hanya 5.000 saja yang menurut beliau tidak ada lagi keraguan tentang keshahihannya setelah diteliti dan dibandingkan dengan al-Quran. Namun beliau hanya memasukkan 1.720 hadits dalam kitabnya tersebut. Menurut sebuah riwayat, Imam Malik menghabiskan 40 tahun untuk mengumpul dan menyaring hadits-hadits yang diterima dari guru-gurunya.
Dengan melalui penelitian dan studi yang komprehensif, maka menjadi wajar jika kitab Al Muwaththa' ini menjadi rujukan penting dalam dunia Islam, khususnya pada pembahasan fiqh. Bahkan sejumlah ulama berpendapat bahwa kitab sumber hadits itu ada tujuh, yaitu Al Kutub as Sittah ditambah Al Muwaththa’. Karya monumental Imam Malik ini dinilai memiliki banyak keistimewaan. Ia disusun berdasarkan klasifikasi fikih dengan memperinci kaidah fikih yang diambil dari hadits dan fatwa sahabat. Hadits-hadits yang terdapat dalam A l Muwaththa’ tidak semuanya Musnad, ada yang Mursal, mu’dlal dan munqathi. Sebagian ulama menghitungnya berjumlah 600 hadits musnad, 222 hadits mursal, 613 hadits mauquf, 285 perkataan tabi’in, disamping itu ada 61 hadits tanpa penyandara, hanya dikatakan telah sampai kepadaku” dan “ dari orang kepercayaan”, tetapi hadits hadits tersebut bersanad dari jalur jalur lain yang bukan jalur dari Imam Malik sendiri, karena itu Ibn Abdil Bar an Namiri menentang penyusunan kitab yang berusaha memuttashilkan hadits-hadits mursal, munqathi’ dan mu’dhal yang terdapat dalam Al Muwaththa’ Malik.
Menurut beberapa riwayat, kitab Al Muwaththa' lahir atas permintaan Khalifah Al-Mansur karena Imam Malik menolak panggilan Khalifah untuk menemuinya di Baghdad. Karena permintaannya ditolak, maka Al Mansur memberikan pilihan lain dengan memintanya untuk mengumpulkan hadits dan membukukannya. Karena ketegasan sikapnya untuk tidak akan meninggalkan kota Madinah, maka lahirlah Al Muwaththa'. Ditulis di masa Al Mansur (754-775 M) dan baru selesai di masa Al Mahdi (775-785 M). Kitab ini telah diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa dengan 16 edisi yang berlainan. Sedemikan terkenalnya kitab Al-Muwaththa’, Abu Ja’far Al-Mansur pernah menginginkan untuk menjadikan kitab tersebut sebagai undang-undang yang perlu diaplikasikan ke setiap negara Islam. Namun Imam Malik menolaknya, beliau berkata, “Jangan engkau melakukannya! Masih demikian banyak sahabat yang berpencar diberbagai tempat, mereka banyak meriwayatkan hadits-hadits selain hadits-hadits dari Hijaz yang telah menjadi sandaranku, dan telah banyak manusia telah mengambil dan bersandar pada hadits-hadits tersebut. Maka biarkanlah mereka di dalam keadaan mereka itu.”
Selain Al Muwaththa', Imam Malik juga menyusun kitab Al Mudawwanah al Kubra, yang berisi fatwa-fatwa dan jawaban Imam Malik atas berbagai persoalan. Beliau juga menulis Risalah fil Qadar yang dikirimkan kepada Abdullah bin Wahb, an-Nujum wa Manazilul Qa-mar yang diriwayatkan oleh Sahn-un dari Nafi’ dari beliau, Risalah fil Aqdhiyah, Juz dalam Tafsir, Kitabus Sir, Risalah ila Laits fi ljma Ahlil Ma-dinah, dan lainnya.
Imam Malik tidak hanya meninggalkan warisan buku. Ia juga mewariskan mazhab fikih di kalangan Islam Sunni, yang disebut sebagai Mazhab Maliki. Selain fatwa-fatwa Imam Malik dan Al Muwatta', kitab-kitab seperti Al Mudawwanah al Kubra, Bidayatul Mujtahid wa Nihaayatul Muqtashid (karya Ibnu Rusyd), Matan ar Risalah fi al Fiqh al Maliki (karya Abu Muhammad Abdullah bin Zaid), Asl al Madarik Syarh Irsyad al Masalik fi Fiqh al Imam Malik (karya Shihabuddin al Baghdadi), dan Bulgah as Salik li Aqrab al Masalik (karya Syeikh Ahmad as Sawi), menjadi rujukan utama mazhab Maliki.
Di samping sangat konsisten memegang teguh hadits, mazhab ini juga dikenal amat mengedepankan aspek kemaslahatan dalam menetapkan hukum. Secara berurutan, sumber hukum yang dikembangkan dalam Mazhab Maliki adalah Al-Qur'an, Sunnah Rasulullah SAW, amalan sahabat, tradisi masyarakat Madinah (amal ahli al Madinah), qiyas (analogi), dan al maslahah al mursalah (kemaslahatan yang tidak didukung atau dilarang oleh dalil tertentu).
Mazhab Maliki pernah menjadi mazhab resmi di Mekah, Madinah, Irak, Mesir, Aljazair, Tunisia, Andalusia (kini Spanyol), Marokko, dan Sudan. Di Iran juga sampai sekarang masih terdapat sejumlah pengikut Mazhab Maliki meskipun jumlahnya tidak banyak. Sampai saat ini, hanya Maroko satu-satunya negara yang secara resmi menganut Mazhab Maliki.
Meskipun banyak yang mengikuti ajaran dan pendapat-pendapatnya tidak mejadikan Imam Malik Rahimahullah menjadi bangga dan berbesar hati. Beliau tetap mengajarkan kepada pengikut-pengikutnya untuk konsisten dalam memegang teguh dan bersandar pada Al-Qur’an dan Hadits. Pesan beliau yang tercatat dengan tinta emas dalam lembar sejarah kegemilangan Islam, "Saya hanyalah seorang manusia, terkadang salah terkadang benar. Oleh karena itu, telitilah pendapatku. Bila sesuai dengan Al-Qur'an dan As-Sunnah maka ambillah, dan bila tidak sesuai dengan Al-Qur'an dan As-Sunnah, maka tinggalkanlah."
Wafat Beliau
Imam Malik Rahimahullah wafat di pagi hari 14 Rabi’ul Awwal tahun 179 H di Madinah dalam usia 89 tahun. Semoga Allah meridhainya, mengampuni kesalahan-kesalahannya, melimpahkan baginya pahala atas amalan-amalan shalihnya dan menempatkannya dalam keluasan jannah-Nya.

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Ibnu Hajar - Premium Blogger Themes | Ma'had Miftahul Jannah