Bila
Anda berbicara dengan orang-orang yang lantang menyuarakan anti-TBC
(takhayul, bidah dan churafat), Anda akan mendengar pengakuan mereka,
“Kami adalah ahli Hadits”. Bila Anda berbicara dengan orang-orang yang
anti mazhab dan menolak bermazhab dengan salah satu mazhab fiqih yang
empat, Anda akan mendengar pengakuan mereka, “Kami adalah pengikut ahli
Hadits”. Bila Anda berbicara dengan mereka yang anti Hadits dha’îf, Anda
akan mendengar pengakuan mereka, “Kami adalah ahli Hadits”. Dan, bila
Anda mendengar orang-orang yang sok mujtahid dan meremehkan para ulama,
Anda akan mendengar pengakuan mereka, “Kami adalah ahli Hadits”. Nama
ahli Hadits seakan menjadi primadona yang diperebutkan. Siapa sih ahli
Hadist?
Ahli Hadits sebagai pembawa Hadits-hadits
Nabi Shollallaah ‘alaih wa sallam dan atsâr ulama salaf yang saleh,
tentu memiliki posisi penting di dalam hati sanubari kaum muslimin.
Dukungan ahli Hadits terhadap suatu mazhab akan menjadi modal utama bagi
suksesnya mazhab tersebut tersosialisasi, mengakar dan membumi di
tengah-tengah masyarakat. Oleh karena itu, ketika Dinasti Abbasiah
bermaksud mensosialisasikan faham Muktazilah di kalangan umat akar
rumput, Dinasti Abbasiah memaksa ahli Hadis agar mengakui dan
melegitimasi faham tersebut dengan cara mengintimidasi, hukuman penjara,
penyiksaan dan eksekusi terhadap ahli Hadits yang menolaknya, sehingga
lahirlah tragedi sejarah yang disebut dengan mihnatul-Qur’ân (ujian para
ulama tentang kemakhlukan al-Qur’an), dengan korban beberapa ulama ahli
Hadits yang disiksa, dipenjara dan dibunuh. Dinasti Abbasiah dan ulama
Muktazilah menyadari bahwa ideologi mereka tentang kemakhlukan al-Qur’an
(khalqul-Qur’ân), tanpa dukungan dan legitimasi ahli Hadis, hanya akan
menjadi gerakan pemikiran kaum elit yang berada di singgasana langit,
dan tidak tersentuh kehidupan bumi, menikmati prestise, popularitas dan
privilege.
Namun demikian, di sini ada suatu hal
yang lepas dari perhatian kebanyakan orang, bahwa ahli Hadits sebenarnya
tidak memiliki mazhab tertentu yang menyatukan paradigma mereka, baik
dalam bidang fikih maupun dalam bidang akidah. Kitab-kitab tentang
rijâlul-Hadîts dan biografi ahli Hadis seperti Tahdzîbul-Kamâl,
Tadzkiratul-Huffâzh, Lisânul-Mîzân, dan lain-lain, menyebutkan dengan
gamblang bahwa di antara perawi Hadis ada yang mengikuti mazhab Syafii,
Hanafi, Maliki, Hanbali, dan mazhab-mazhab fikih yang lain.
Dalam bidang akidah, di antara ahli
Hadits ada yang mengikuti aliran Syiah, Khawarij, Muktazilah,
Mujassimah, mazhab al-Asy’ari, al-Maturidi, dan aliran-aliran pemikiran
yang lain. Di antara mereka ada juga yang mengikuti ideologi yang
diaktualisasikan oleh Ibnu Taimiyah yang diambilnya dari minoritas ahli
Hadits dan diklaimnya sebagai mazhab salaf dan Ahlussunnah wal Jamaah.
Tentu saja, motivasi mereka mengklaim pandangannya sebagai mazhab salaf
dan ahli Hadits, karena posisi Hadits Nabi Shollallaah ‘alaih wa sallam
dan posisi ulama salaf saleh yang sangat penting di tengah-tengah kaum
Sunni. Setiap golongan mengklaim bahwa dirinya merupakan pengikut ahli
Hadits dan salaf yang saleh, seraya memvonis pihak lain telah menyimpang
dari mainstream ahli Hadits dan salaf.
Dari sini, dapat difahami bahwa
pernyataan kelompok-kelompok yang anti mazhab, yang mengklaim dirinya
sebagai pengikut ahli Hadits, sedangkan kelompok lain yang bermazhab,
baik dalam hal akidah maupun dalam hal fikih, dianggapnya sebagai
pengikut ahli bidah dan telah keluar dari mazhab ahli Hadits, tidak
dapat dibenarkan, karena berdasarkan realita yang ada, ahli Hadits
sendiri tidak memiliki mazhab tertentu yang menyatukan paradigma mereka,
baik dalam hal fikih maupun dalam hal akidah. Justru dalam realita yang
ada, mayoritas ahli Hadits dalam hal fikih mengikuti salah satu mazhab
yang empat, sedangkan dalam hal akidah mengikuti mazhab al-Asy’ari dan
al-Maturidi. Bahkan tidak sedikit pula di antara ahli Hadits yang
mengikuti ajaran kaum shufi sebagaimana dapat dibaca dalam banyak
literatur seputar biografi dan sejarah ahli Hadtis.
Sebagai catatan akhir, di antara ahli
Hadits yang mengikuti mazhab asy-Syafii adalah al-Imam al-Bukhari,
an-Nasa’i, Ibnu Khuzaimah, al-Ajurri, al-Daraquthni, al-Lalikai,
al-Hakim, al-Baihaqi, Abu Nu’aim, as-Sam’ani, Ibn Asakir, Ibnush-Shalah,
an-Nawawi, al-Mizzi, adz-Dzahabi, Ibnu Katsir, al-Alai, al-Iraqi, Ibnu
Hajar, as-Sakhawi, as-Suyuthi, dan lain-lain.
Mayoritas ahli Hadits mengakui adanya
bid’ah hasanah (bidah yang terpuji), menerima Hadits dha’îf (Hadis
lemah) dalam amal-amal yang utama, meyakini barakah dan karomah para
wali dan orang saleh, menganjurkan ziarah ke makam para wali dan orang
saleh, membolehkan bertawasul dengan para nabi dan wali, mengikuti
tarekat-tarekat sufi, membolehkan maulid Nabi Shollallaah ‘alaih wa
sallam, meyakini sampainya pahala yang dihadiahkan kepada orang yang
sudah meninggal dunia, dan atribut-atribut Ahlussunnah wal Jamaah
lainnya. Hal ini sebenarnya merupakan hal yang aksiomatis, mudah dibaca
dalam literatur sejarah dan biografi para ulama. Tapi sekarang memang
zaman edan, yang jelas seakan menjadi samar, yang samar terkadang
diminati orang. Wallâhu A’lam.
0 komentar:
Posting Komentar