Jumat, 13 Januari 2012

Pengakuan sebagai ahli hadist


Bila Anda berbicara dengan orang-orang yang lantang menyuarakan anti-TBC (takhayul, bidah dan churafat), Anda akan mendengar pengakuan mereka, “Kami adalah ahli Hadits”. Bila Anda berbicara dengan orang-orang yang anti mazhab dan menolak bermazhab dengan salah satu mazhab fiqih yang empat, Anda akan mendengar pengakuan mereka, “Kami adalah pengikut ahli Hadits”. Bila Anda berbicara dengan mereka yang anti Hadits dha’îf, Anda akan mendengar pengakuan mereka, “Kami adalah ahli Hadits”. Dan, bila Anda mendengar orang-orang yang sok mujtahid dan meremehkan para ulama, Anda akan mendengar pengakuan mereka, “Kami adalah ahli Hadits”. Nama ahli Hadits seakan menjadi primadona yang diperebutkan. Siapa sih ahli Hadist?
Ahli Hadits sebagai pembawa Hadits-hadits Nabi Shollallaah ‘alaih wa sallam dan atsâr ulama salaf yang saleh, tentu memiliki posisi penting di dalam hati sanubari kaum muslimin. Dukungan ahli Hadits terhadap suatu mazhab akan menjadi modal utama bagi suksesnya mazhab tersebut tersosialisasi, mengakar dan membumi di tengah-tengah masyarakat. Oleh karena itu, ketika Dinasti Abbasiah bermaksud mensosialisasikan faham Muktazilah di kalangan umat akar rumput, Dinasti Abbasiah memaksa ahli Hadis agar mengakui dan melegitimasi faham tersebut dengan cara mengintimidasi, hukuman penjara, penyiksaan dan eksekusi terhadap ahli Hadits yang menolaknya, sehingga lahirlah tragedi sejarah yang disebut dengan mihnatul-Qur’ân (ujian para ulama tentang kemakhlukan al-Qur’an), dengan korban beberapa ulama ahli Hadits yang disiksa, dipenjara dan dibunuh. Dinasti Abbasiah dan ulama Muktazilah menyadari bahwa ideologi mereka tentang kemakhlukan al-Qur’an (khalqul-Qur’ân), tanpa dukungan dan legitimasi ahli Hadis, hanya akan menjadi gerakan pemikiran kaum elit yang berada di singgasana langit, dan tidak tersentuh kehidupan bumi, menikmati prestise, popularitas dan privilege.
Namun demikian, di sini ada suatu hal yang lepas dari perhatian kebanyakan orang, bahwa ahli Hadits sebenarnya tidak memiliki mazhab tertentu yang menyatukan paradigma mereka, baik dalam bidang fikih maupun dalam bidang akidah. Kitab-kitab tentang rijâlul-Hadîts dan biografi ahli Hadis seperti Tahdzîbul-Kamâl, Tadzkiratul-Huffâzh, Lisânul-Mîzân, dan lain-lain, menyebutkan dengan gamblang bahwa di antara perawi Hadis ada yang mengikuti mazhab Syafii, Hanafi, Maliki, Hanbali, dan mazhab-mazhab fikih yang lain.
Dalam bidang akidah, di antara ahli Hadits ada yang mengikuti aliran Syiah, Khawarij, Muktazilah, Mujassimah, mazhab al-Asy’ari, al-Maturidi, dan aliran-aliran pemikiran yang lain. Di antara mereka ada juga yang mengikuti ideologi yang diaktualisasikan oleh Ibnu Taimiyah yang diambilnya dari minoritas ahli Hadits dan diklaimnya sebagai mazhab salaf dan Ahlussunnah wal Jamaah. Tentu saja, motivasi mereka mengklaim pandangannya sebagai mazhab salaf dan ahli Hadits, karena posisi Hadits Nabi Shollallaah ‘alaih wa sallam dan posisi ulama salaf saleh yang sangat penting di tengah-tengah kaum Sunni. Setiap golongan mengklaim bahwa dirinya merupakan pengikut ahli Hadits dan salaf yang saleh, seraya memvonis pihak lain telah menyimpang dari mainstream ahli Hadits dan salaf.
Dari sini, dapat difahami bahwa pernyataan kelompok-kelompok yang anti mazhab, yang mengklaim dirinya sebagai pengikut ahli Hadits, sedangkan kelompok lain yang bermazhab, baik dalam hal akidah maupun dalam hal fikih, dianggapnya sebagai pengikut ahli bidah dan telah keluar dari mazhab ahli Hadits, tidak dapat dibenarkan, karena berdasarkan realita yang ada, ahli Hadits sendiri tidak memiliki mazhab tertentu yang menyatukan paradigma mereka, baik dalam hal fikih maupun dalam hal akidah. Justru dalam realita yang ada, mayoritas ahli Hadits dalam hal fikih mengikuti salah satu mazhab yang empat, sedangkan dalam hal akidah mengikuti mazhab al-Asy’ari dan al-Maturidi. Bahkan tidak sedikit pula di antara ahli Hadits yang mengikuti ajaran kaum shufi sebagaimana dapat dibaca dalam banyak literatur seputar biografi dan sejarah ahli Hadtis.
Sebagai catatan akhir, di antara ahli Hadits yang mengikuti mazhab asy-Syafii adalah al-Imam al-Bukhari, an-Nasa’i, Ibnu Khuzaimah, al-Ajurri, al-Daraquthni, al-Lalikai, al-Hakim, al-Baihaqi, Abu Nu’aim, as-Sam’ani, Ibn Asakir, Ibnush-Shalah, an-Nawawi, al-Mizzi, adz-Dzahabi, Ibnu Katsir, al-Alai, al-Iraqi, Ibnu Hajar, as-Sakhawi, as-Suyuthi, dan lain-lain.
Mayoritas ahli Hadits mengakui adanya bid’ah hasanah (bidah yang terpuji), menerima Hadits dha’îf (Hadis lemah) dalam amal-amal yang utama, meyakini barakah dan karomah para wali dan orang saleh, menganjurkan ziarah ke makam para wali dan orang saleh, membolehkan bertawasul dengan para nabi dan wali, mengikuti tarekat-tarekat sufi, membolehkan maulid Nabi Shollallaah ‘alaih wa sallam, meyakini sampainya pahala yang dihadiahkan kepada orang yang sudah meninggal dunia, dan atribut-atribut Ahlussunnah wal Jamaah lainnya. Hal ini sebenarnya merupakan hal yang aksiomatis, mudah dibaca dalam literatur sejarah dan biografi para ulama. Tapi sekarang memang zaman edan, yang jelas seakan menjadi samar, yang samar terkadang diminati orang. Wallâhu A’lam.

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Ibnu Hajar - Premium Blogger Themes | Ma'had Miftahul Jannah