Haji
adalah konferensi Islam yang disyariatkan oleh Allah Swt agar seorang
mukmin kembali suci seperti bayi yang baru lahir. Tanpa ada pretensi apa
pun, kecuali semata-mata mengharap keridaan Allah Swt,
dengan ini saya berpesan kepada para orang kaya:
Sesungguhnya
Allah Swt mewajibkan haji kepada orang yang mampu di jalannya sekali
seumur hidup. Untuk itu, daripada Anda berulang kali menunaikan haji,
lebih baik dana untuk haji yang kesekian kali itu didermakan kepada kaum
fakir, untuk pernikahan para pemuda yang sudah ingin mengarungi bahtera
rumah tangga tapi tidak bisa melangkah karena terbentur biaya, atau
untuk meringankan beban orang-orang yang tengah dilanda kesulitan.
Haji
adalah upacara keagamaan yang besar. Semua orang dari seluruh pelosok
dunia, dari seluruh latar belakang mazhab dan kewarganegaraan berkumpul
dalam upacara tersebut dalam satu musim dan di satu tempat. Di sana
tidak ada perbedaan antara si kaya dan si miskin, tua dan muda, hitam
dan putih. Semua orang datang ke tempat itu untuk menunaikan ibadah dan
mengelilingi Baitul Atik (Baitullah).
Dalam
kesempatan haji ini, saya menyempatkan diri mewawancarai sejumlah Syekh
untuk meminta penjelasan seputar beberapa masalah terkait upacara
keagamaan yang besar ini dan Idul Adha yang penuh berkah. Dalam
rangkaian wawancara ini, saya berhasil mewawancarai Syekh Shuhaib secara
eksklusif. Berikut petikan wawancaranya:
Tanya:
Setiap ibadah memiliki tujuan dalam rangka mengevaluasi perilaku
manusia secara individu dan secara kolektif. Lalu bagaimana ibadah haji
merealisasikan tujuan ini?
Jawab:
Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Allah Swt menitahkan sejumlah perintah kepada para hamba-Nya dan
melarang mereka dari banyak hal karena Dia sangat menyayangi mereka.
Kita diperintahkan beribadah. Asal setiap ibadah pasti berbuah, dan buah
dari setiap ibadah adalah mengingat Allah Swt. Ibadah laksana terapi
yang berkesinambungan bagi hati dan jiwa, serta menjadi nutrisi dan
imunisasi bagi ruh terhadap berbagai godaan dunia, syaitan jin dan
manusia, dan hawa nafsu. Ada ibadah harian seperti shalat. Ada ibadah
mingguan seperti shalat Jum‘at. Ada ibadah bulanan, seperti puasa sunah
tiga hari. Ada ibadah tahunan, seperti puasa di bulan Ramadhan. Dan ada
pula ibadah seumur hidup sekali, yaitu haji.
Shalat mencegah perbuatan keji dan mungkar. Puasa membuahkan ketakwaan. “... agar kamu bertakwa.”
(QS. al-Baqarah [2]: 183). Adapun buah dari haji adalah supaya mereka
menyaksikan berbagai manfaat, menyebut nama Allah, meminta ampunan-Nya,
dan memelihara lisan mereka dari hal-hal buruk. “(Musim) hati itu
(pada) bulan-bulan yang telah dimaklumi. Barang siapa mengerjakan
(ibadah) haji dalam (bulan-bulan) itu, maka janganlah dia berkata jorok, berbuat maksiat dan bertengkar dalam (melakukan ibadah) haji. Segala yang baik yang kamu kerjakan, Allah mengetahuinya.” (QS. al-Baqarah [2]: 197).
Lalu
bagaimana cara mencapai tujuan haji itu? Bagaimana memetik buahnya?
Pertama dengan niat yang tulus dan ikhlas, karena Allah Swt hanya akan
menerima amal yang dilakukan secara ikhlas untuk mendapat keridaan-Nya.
Niat seseorang lebih baik dari amalnya. Haji tidak boleh diselipi dengan
tujuan duniawi. Calon haji harus menjauhi semua bahaya lisan dan
hal-hal berbau dunia. Siapa pun yang merenungkan ayat-ayat tentang haji
akan menemukan arahan untuk berzikir dan istigfar serta larangan berkata
jorok, berbuat maksiat, dan bertengkar.
Baitullah adalah rumah ibadah pertama yang dibangun untuk manusia. Di sana terdapat petunjuk. “Sesungguhnya
rumah (ibadah) pertama yang dibangun untuk manusia ialah (Baitullah)
yang di Bakkah (Makkah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi seluruh
alam.” (QS. Alu ‘Imran [3]: 96).
Lalu
di mana buah yang banyak dan besar itu? Di mana tempat petunjuk itu? Di
mana petunjuk dan berbagai kebaikan turunannya, seperti budi pekerti
baik, etika, tawaduk, dan kasih sayang? Demi Allah, aku melihat dengan
mata kepala sendiri di Raudah Rasulullah Saw orang-orang yang bertengkar
demi mendapatkan tempat duduk. Ada orang yang terus menempel di tanah
karena khawatir tempatnya diserobot orang lain. Ada pula yang
tergesa-gesa menuju tempat tertentu. Bahkan, ada salah satu di antara
mereka yang sampai memaki-maki Allah setelah umrah lantaran tempat
duduknya diambil orang lain. Lalu di mana bukti “Cintailah saudaramu
seperti kamu mencintai dirimu sendiri”? Di mana bukti “Lapangkanlah,
niscaya Allah melapangkan untuk kalian!”? Di mana rasa hormat terhadap
makam dan pemilik Raudah yang hidup nyaman di kuburnya (Rasulullah Saw)?
Apakah
Islam itu hanya jubah putih dan janggut panjang? Tentu tidak. Seperti
sudah saya katakan, semua ibadah berbuah akhlak yang baik. Seorang bijak
mengatakan, “Orang yang menunaikan haji tapi tidak memelihara hajinya
bagaikan orang yang membangun istana tapi menghancurkan kota.” Orang
saleh mengatakan, “Tidak sedikit orang yang badannya berada di Khurasan,
tapi hatinya lebih dekat kepada Baitullah ini daripada orang-orang yang
sedang mengelilinginya.”
Haji
adalah konferensi Islam yang disyariatkan oleh Allah untuk satu tujuan,
yaitu supaya seorang mukmin kembali ke kampung halamannya dalam keadaan
suci laksana baru dilahirkan dari perut ibunya, dengan membada ide dan
rencana baru bagi dirinya dan orang-orang di sekitarnya. Dia membangun
kepribadian baru dengan fondasi ketundukan, penyerahan dan pengorbanan,
tanpa ragu-ragu. Dia menata kembali perilakunya bersama para saudaranya
dan menjadi orang seperti yang diperintahkan oleh Allah Swt, “Dan
tidaklah pantas bagi laki-laki yang mukmin dan perempuan yang mukmin,
apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan mengambil
pilihan (yang lain) bagi mereka tentang urusan mereka. Dan barang siapa
mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka sungguh dia telah tersesat dengan
kesesatan yang nyata.” (QS. al-Ahzab [33]: 36).
Tanya:
Syekh yang terhormat! Tolong jelaskan kepada kami beberapa filosofi
haji dan seragam yang dikenakan oleh para jemaah calon haji?
Jawab:
Semua ibadah diulang berkali-kali, kecuali haji, hanya sekali seumur
hidup. Hal yang membedakannya dari ibadah yang lain adalah bahwa haji
itu berjihad dengan harta dan jiwa. Calon haji harus meninggalkan
keluarga, berpisah dengan orang-orang yang dicintai, bertemu dengan
keluarga dan kekasih yang lain, dan menanggalkan pakaian dunia yang
biasanya dipakai oleh manusia untuk menilai seseorang. Pakaian yang
dikenakan saat itu seragam, seperti kain kafan. Karena itu, surah
al-Hajj dimulai dengan firman Allah Swt, “Wahai manusia, bertakwalah
kepada Tuhanmu! Sungguh, guncangan (hari) Kiamat itu adalah suatu
(kejadian) yang sangat besar. (Ingatlah) pada hari ketika kamu
melihatnya (guncangan itu), semua perempuan yang menyusui anaknya akan
lalai terhadap anak yang disusuinya. Setiap perempuan yang hamil akan
keguguran kandungannya. Kamu melihat manusia dalam keadaan mabuk,
padahal sebenarnya mereka tidak mabuk, tetapi azab Allah itu sangat
keras.” (QS. al-Hajj [22]: 1-2).
Pada
saat itu semua manusia sama. Tidak ada perbedaan antara si kaya dan si
miskin, antara penguasa dan rakyat jelata. Haji adalah kursus pelatihan
agar seseorang mempunyai semangat yang tinggi terhadap ketaatan,
meninggalkan dunia, mengingat kematian, dan berupaya demi persatuan umat
Islam. Jika tidak menghasilkan itu, lalu apa gunanya talbiah, tawaf,
sa‘i, dan wukuf di Arafah. Allah Swt memerintahkan untuk berpegang teguh
kepada tali-Nya dan tidak bercerai-berai sebagaimana Dia memerintahkan
shalat. Orang yang membeda-bedakan perintah yang satu dengan perintah
yang lainnya selaras dengan firman Allah Swt berikut, “Apakah kamu
beriman kepada sebagian Kitab (Taurat) dan ingkar kepada sebagian (yang
lain)? Maka tidak ada balasan (yang pantas) bagi orang yang berbuat
demikian di antara kamu selain kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada
hari Kiamat mereka dikembalikan kepada azab yang paling berat. Dan
Allah tidak lengah terhadap apa yang kamu kerjakan.” (QS. al-Baqarah [2]: 85).
Lalu
untuk apa mereka bertalbiah, mengelilingi Ka’bah yang sama, menghadap
ke arah yang sama, menundukkan diri dan shalat kepada Tuhan yang sama,
sa‘i di antara Shafa dan Marwa, wukuf di Arafah, dan melempar Jumrah?
Tidak lain agar mereka bersatu padu memerangi musuh Allah dan berjuang
melawan orang-orang munafik. Berjuang melawan musuh Allah adalah dengan
senjata, sementara berjuang melawan orang-orang munafik adalah dengan
lisan. “Wahai Nabi, berjihadlah (melawan) orang-orang kafir dan
orang-orang munafik, dan bersikap keraslah terhadap mereka! Tempat
mereka adalah neraka Jahanam. Dan itulah seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. at-Taubah [9]: 73).
Tanya:
Syekh yang mulia! Bisakah saya katakan bahwa haji adalah globalisasi
agama yang terbuka bagi penganut berbagai mazhab melalui dialog Islam
supaya berbagai bangsa dan mazhab saling mengenal satu sama lain? Dan
apa cara praktis untuk merealisasikan hal itu?
Jawab:
Pada dasarnya haji dimaksudkan untuk merealisasikan tujuan-tujuan itu.
Akan tetapi, saat ini banyak tujuan yang tidak tercapai. Sangat
disayangkan haji yang dilakukan umat saat ini telah kehilangan makna.
Mengapa hal itu terjadi? Karena pemerintah telah mengosongkan haji dari
berbagai muatannya. Jika kita ingin mengembalikan makna haji yang
sebenarnya, yaitu menjadi konferensi umat Islam sebagai ajang pertemuan
dan saling mengenal satu sama lain, kita harus menghilangkan hambatan
yang menghadang tujuan mulia tersebut, sehingga para calon haji
mengetahui dalil-dalil dari atsar yang mulia untuk menghilangkan
hambatan-hambatan itu. Pemerintah Arab Saudi tidak boleh mengganjal
upaya kaum Muslimin untuk mengembalikan haji kepada muatan yang
sebenarnya. Namun demikian, kita patut berterima kasih kepada Pemerintah
Arab Saudi atas perhatiannya yang sangat besar terhadap dua tanah haram
yang mulia (Makkah dan Madinah) dengan melakukan perluasan,
pendinginan, dan lain sebagainya.
Kita
harus menyusun kampanye persatuan untuk para peziarah haji di bawah
pengawasan para ulama yang dikenal karena pengetahuan dan integritas
mereka yang akan menjelaskan kepada orang-orang tentang tujuan-tujuan
itu. Ini harus dilakukan karena banyak pengelola ibadah haji saat ini
hanya bertujuan pada keuntungan materiil semata.
Hambatan
lain yang juga menghalangi tujuan haji adalah bahwa setiap negara
berkumpul di sebuah tempat dan di perumahan tertentu. Mereka bertemu
hanya sepintas di beberapa tempat, semisal di Arafah, dan menurut saya
itu tidak memungkinkan terjadinya komunikasi. Lagi pula, orang-orang
saat ini hanya berkomunikasi dengan orang-orang terdekat saja.
Bagaimana
dengan perbedaan bahasa? Umat Islam harus belajar bahasa Arab,
sebagaimana Yahudi berupaya mendidik semua orang Yahudi supaya menguasai
bahasa Ibrani. Kalau mampu, kita distribusikan buku dan buletin yang
berisi ajakan kepada umat untuk bersatu dan mengagungkan Kitab Allah,
serta berpegang teguh kepada firman-Nya, “Dia (Allah) telah menamakan kamu orang-orang muslim sejak dahulu.”
(QS. al-Hajj [22]: 78). Jadi, kita hanya menerima kata “Kaum Muslimin”.
Ini dari mazhab Imam Syafi’i, ini dari mazhab Imam Jakfar, Abu Hanifah,
Ahmad, dan Malik. Mereka semua adalah pohon di kebun Islam. Mereka
semua adalah tim bagi satu pasukan.
Tanya:
Syekh yang mulia! Menurut Anda, mampukah forum dan seminar yang
diadakan pada satu musim dengan nama haji dan dialog antar agama untuk
menghilangkan sedimen dan kebencian antara mazhab-mazhab Islam,
khususnya forum haji yang akan diadakan tahun ini di bawah naungan FIPMI
(Forum Internasional Pendekatan Mazhab-Mazhab Islam)?
Jawab:
Tidak, tidak akan mampu. “Seribu pembangun tidak akan mampu melawan
satu penghancur. Bagaimana mungkin seorang pembangun mampu melawan
seribu penghancur.” Mungkin umat Islam akan bersatu, apabila para
pemimpin dan para ulama bersatu. Belum lagi musuh-musuh Islam yang
senantiasa mengintai menyediakan dana besar untuk memecah belah,
termasuk di intern satu mazhab, apalagi di antara berbagai ras, mazbah
dan negara. Akan tetapi setidaknya forum tersebut dapat mengurangi
bahayanya, terlebih orang-orang yang hadir dalam seminar ini mengusung
ide moderat persatuan sebagai landasannya. Bahaya senantiasa mengancam
orang-orang yang tidak mendengarkan forum dan pertemuan ini. Namun
demikian, kita bermohon kepada Allah Swt kiranya memberikan pertolongan
kepada semua orang yang bekerja secara ikhlas mengupayakan kebaikan.
Semoga Allah merukunkan hati kaum Muslimin dan menyatukan mereka di atas
kebenaran. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar dan Mengabulkan
permohonan.
Tanya:
Syekh yang terhormat, sebagai penutup, tolong beri tahu bagaimana cara
kita memanfaatkan suasana haji untuk menebarkan budaya persatuan di
kalangan umat Islam?
Jawab:
Allah Mahatahu. Hal yang mesti dilakukan sebelum pergi menunaikan
ibadah haji adalah melalui kampanye, seperti telah saya katakan,
sehingga kita terbebas dari bekas-bekas kejahiliahan dan kebodohan yang
membelenggu kita, baik dalam berpikir, berpolitik, berperilaku,
bermasyarakat, dan dalam berbagai bidang lainnya. Dengan demikian kita
akan keluar dari keterbelakangan yang melemahkan umat dan kembali
beribadah sebagaimana diterangkan oleh para ulama dan fukaha terdahulu
dan dipraktekkan oleh para pendahulu yang saleh, yaitu ibadah yang
komprehensif, ibadah secara agama dan ibadah secara kosmis.
Lalu
untuk apa dua hingga tiga juta orang pergi haji setiap tahun? Apa yang
berubah pada diri mereka usai menunaikan haji? Kita harus menanyakan ini
kepada diri kita sendiri. Perubahan apa yang terjadi dalam pemerintahan
yang menyelenggarakan ibadah haji, yang mengantar dan menyambut para
jemaah haji? Di manakah posisi ibadah agung ini dalam jiwa orang-orang,
dalam perilaku mereka, dalam keluarnya umat dari keterbelakangan dan
keterpecahan? Di manakah posisi ibadah ini terhadap publishing houses
yang senantiasa menyebarkan pemikiran, buku, buletin yang mengadu domba
dengan bayaran yang kecil. Betapa buruk apa yang mereka perjualbelikan
itu.
Saya
peringatkan kepada orang-orang yang pergi haji agar jangan berpecah
belah karena perbedaan dalam beribadah. Kalian tidak boleh membayar
biaya tinggi untuk kembali seperti dulu yang berbau kejahiliahan.
Ingatlah hadis Rasulullah saw dalam pidato perpisahannya, “Sesungguhnya
darah kalian, kekayaan kalian, dan kehormatan kalian haram atas
kalian...” Dalam konteks lain yang lebih besar Rasulullah Saw bersabda,
“Ketahuilah, semua yang berbau jahiliah telah dihapuskan di bawah
undang-undangku.” Apakah kita memikirkan hal ini? Apakah semua yang
berbau kejahiliahan telah kita hapuskan ketika kita berangkat haji?
Sebagai
penutup, dengan semata-mata mengharap keridaan Allah Swt, saya berpesan
kepada para orang kaya bahwa Allah Swt mewajibkan haji kepada orang
yang mampu di jalannya sekali seumur hidup. Untuk itu, daripada Anda
berulang kali menunaikan haji, lebih baik dana untuk haji yang kesekian
kali itu didermakan kepada kaum fakir, untuk pernikahan para pemuda yang
sudah ingin mengarungi bahtera rumah tangga tapi tidak bisa melangkah
karena terbentur biaya, atau untuk meringankan beban orang-orang yang
tengah dilanda kesulitan. Semoga keselamatan, rahmat, dan barakah dari
Allah diberikan kepada kalian.
0 komentar:
Posting Komentar