Pemikiran ushul fikih
bertujuan mencari jawaban yang terkandung dalam syariat Islam dan
menempatkan kaidah-kaidah yang mempunyai potensi ruang lingkup luas di
dalam syariat serta mampu menghadapi tuntutan masalah manusia
kapan pun dan dimana pun. Pemikiran ushul fikih bertanggung
jawab besar mengembangkan pemikiran dalam rangka memenuhi tuntutan
zaman. Adalah jelas bahwa tempat dan waktu terus mengalami perluasan
kapasitas dan perkembangannya. Sehingga hal ini menjadikan pemikiran ushul fikih
memiliki tugas rutin untuk melaksanakan kewajibannya sebaik mungkin,
demikian pula dengan perkembangannya yang tidak boleh berhenti bahkan
harus terus tumbuh.
Disiplin ilmu ushul fikih selalu memberikan pembaruan bagi orang yang mengalami kelemahan dan kejumudan dalam pemikiran ushul, sehingga dengan demikian pemikiran ushul tetap langgeng. Pemikiran ushul fikih yang islami berupaya menghubungkan pelbagai pemikiran yang memilki kesamaan dengan ushul. Dan pemikiran ushul fikih juga harus berkewajiban untuk mengontrolnya.
Mungkin saja pemikiran ushul
mempunyai hubungan dekat ataupun jauh dengan pelbagai bidang agama atau
hukum positif, akademi atau non akademi, seperti pelbagai disiplin
ilmu, teori-teori bahasa, undang-undang atau akedemi modern. Pemikiran ushul
juga memilki hubungan yang dekat dan jauh dalam kaitannya dengan
pemikiran Ahlusunah dan Syiah. Dua mazhab ini sangat kaya dengan
pemikiran akan tetapi keduanya memiliki perbedaan pandangan, baik secara
metodologis maupun pendiri/tokoh sentralnya. Meskipun demikian keduanya
secara keilmuan tetap saling membantu dan melengkapi sehingga keduanya
mampu mengharumkan keilmuan Islam dan memajukannya. Mazhab Imamiyah
berperan penting di bidang pemikiran umum yang berjalan selama dua abad
yang lalu.
Pada dasarnya pemikiran ushul
fikih yang bersifat umum mengalami perkembangan yang cepat dan pesat
karena kedua mazhab besar Islam ini satu sama lain saling bergotong
royong. Mazhab Ahlusunah mengadopsi apa yang dimiliki oleh mazhab Syiah,
baik dari sisi metode maupun pandangan-pandangannya, dan mazhab Syiah
pun melayani kebutuhan saudaranya dengan baik dan memberikan persepsinya
secara bebas. Maka tak ayal lagi, kedua mazhab Islam ini pun mengalami
perkembangan yang pesat sepanjang masa.
Sebagaimana
kedua mazhab ini telah mediskusikan masalah Sunah sebagai bahan kajian,
lalu menguraikannya secara ilmiah dengan bentuk dan metode yang
berbeda-beda. Meskipun pada akhirnya kesimpulan akhir dari hasil kajian
masing-masing mazhab berbeda, namun sudah barang tentu kita menyikapinya
secara wajar, dewasa dan bijaksana. Kita harus mampu memaparkan tema
yang penuh dengan dinamika. Dan salah satu tema yang sangat dinamis
adalah tema syariat Islam, dimana kita harus mampu memberikan
perbandingan pandangan di dalamnya. Dari situlah kita akan menghasilkan
kesimpulan-kesimpulan yang bisa memuaskan kedua mazhab ini. Dua mazhab
besar ini memberikan kontribusi yang sangat besar untuk memajukan
pemikiran ushul fikih islami yang umum dan mampu memenuhi tuntutan yang dimaksudkan oleh ilmu ushul.
Kedudukan Sunah dalam Pandangan Kaum Muslim
Sunah
menduduki posisi yang khusus dalam pandangan kaum muslim setelah Al
Quran al Karim, dan kaum muslim sepakat akan hal itu, tetapi hanya
segelintir saja yang menolaknya, seperti kaum Khowarij dan Zanadiqoh.
Sunah menjadi sumber rujukan kedua sebagai landasan penetapan syariat
Islam. Seandainya saja Sunah tidak ada maka syariat tidak akan sempurna
dan hanya tinggal dasar-dasar secara umum dan hukum yang
terpotong-potong.
Sunah
menurut bahasa berarti jalan yang ditempuh yang bersifat terus-menerus.
Menurut istilah fiqih, yang dimaksud dengan Sunah terkadang memiliki
kesamaan dengan hukum istihbab (hukum Sunah) lawan dari bid’ah.
Terkadang juga memiliki arti yang kedua menurut istilah ilmu kalam.
Adapun kesepakatan di antara mazhab Islam adalah bahwa sunah berarti
perkataan Nabi saw, perbuatan, atau keputusannya.
Mazhab
Imamiyah mempunyai dalil-dalil yang diambil dari Ahlul Bait Nabi saw,
dimana mereka adalah hujah-hujah untuk umat setelah Nabi saw. Sebab
itulah mereka memperluas definisi Sunah hingga mencakup Sunah para imam
Ahlul Bait. Sehingga istilah Sunah menurut mereka berarti perkataan
seorang maksum (manusia yang terjaga dari dosa), perbuatan dan
keputusannya.
Bagi
yang membutuhkan kebenaran maka Sunah merupakan perkara yang jelas yang
tidak membutuhkan penjelasan dan pembuktian. Seandainya saja tidak ada
dalil yang membuktikan Sunah maka peninggalan Nabi dan pengajarannya
akan menjadi sia-sia belaka. Andaikan Sunah tidak ada maka
jawaban-jawaban yang diberikan dari pertanyaan kaum muslim pasti tidak
berfaedah karena jawaban tersebut tidak berdasarkan pijakan yang jelas.
Di samping itu, ayat-ayat Al Quran pun tidak akan dipahami dengan baik
dan benar dan ketaatan kepada Nabi saw akan sirna dan patut
dipertanyakan. Tanpa Sunah, tidak ada artinya mempelajari perintah dan
larangan Nabi saw. Berkaitan dengan hal ini, Allamah Sayyed Muhammad
Taqi Al hakim berkata: ”Sungguh hampir saja aku tidak memahami arti
Islam tanpa adanya Sunah.”
Sunah
yang sampai pada tingkatan tertentu akan memberikan kejelasan sedangkan
membangun bukti tanpa berdasarkan Sunah tidak akan memilki arti sama
sekali. Karena yang bisa dijadikan bukti/dalil adalah ilmu maka para
pakar ilmu ushul fikih mengatakan yang bisa dijadikan dalil
adalah Kitab, Sunah, ijma’ dan akal. Kita harus menguasai keempat hal
tersebut. Sebenarnya para ahli fikih dan dan para imam empat mazhab
telah membahas dan menetapkan bahwa Sunah itu sebagai hujah (bukti). Dan
mereka pun memperluas cakupan pembahasan, seperti Imam Syafi’i dalam
kitabnya “Al um”, dalam kitabnya “Irsyadul fuhul ila ilmu ushul”, Syeih
Muhammad Abu zahra dalam kitabnya “Ushul fiqih”, Syeih Doktor Wahbah Az
zahili dalam kitabnya “Ushul figih al Islami”. Dan masih banyak lagi
dari orang-orang terdahulu dan sekarang.
Sayyed Muhammad Taqi Al Hakim ikut berkomentar dalam kesempatan ini ketika para ahli ushul dan para imam empat mazhab menjadikan Sunah sebagai dalil dengan alasan berikut:
1. Al-quran:
Al-quran yang menunjukan kebenaran Sunah Nabi saw sebagai dalil dengan
firman-Nya: “Taatlah kalian pada Allah dan taatlah pula pada Rasul-Nya
dan pemimpin yang datang dari kalian, jika kalian berseteru pada sesuatu
maka kalian kembalikanlah pada Allah dan Rasul-Nya...? Allah SWT
berfirman :”....maka apa yang datang pada Rasul kalian ambillah dan apa
yang dilarang olehnya maka jauhilah...” Allah SWT berfirman: ”Barang
siapa yang taat pada Rasul maka ia telah taat pada Allah...” Al Qozali
berdalil dengan firman Allah SWT: ”Tidaklah keluar dari ucapan
(Muhammad) dari hawa nafsunya melainkan wahyu yang diturunkan.”
Sebagian wahyu yang dibacakan maka dinamakan Kitab (Al-quran) dan
sebagian yang lain yang tidak dibacakan dinamakan dengan Sunah. Sunah
Nabi saw bagian dari wahyu Ilahi yang wajib ditaati.
2. Sunah(
hadis): Sebagian mereka berdalil Sunah dengan Sunah itu sendiri,
seperti sabda Rasul saw pada haji wada’: “Aku tinggalkan pada kalian dua
perkara yang tidak akan tersesat kalian dengan keduanya selama-lamanya,
yaitu Kitab Allah dan Sunah Nabi.” Sayyed Al Hakim memberikan komentar
atas dalil di atas: ”Dalil ini sangat aneh, karena menimbulkan daur (rotasi) (daur=A butuh B, B butuh A). Karena sesuatu tidak mungkin membuktikan untuk dirinya sendiri.
3. Ijma’:
mereka juga berdalil tentang keabsahan Sunah dengan ijma’. Sayyed Al
Hakim memberikan komentar, ijma’ jika sumbernya dari Sunah maka ini juga
menghasilkan daur, karena ada juga orang yang tidak mengetahui bahwa ijma’ itu sebagai dalil. Maka tidak mungkin ijma’ dijadikan sebagai dalil.
4. Akal:
Akal mengatakan bahwa Nabi saw terjaga dari dosa, kesalahan dan lupa.
Jika kenabiannya sudah tertetapkan maka keterjagaannya dari dosa pun
akan tertetapkan pula. Jika ismah-nya sudah tertetapkan maka
Sunahnya adalah syariat. Maka perkataan Nabi saw, perbuatan dan
keputusannya tidak mungkin bohong. Perbuatan, perkataan dan keputusannya
menjadi bagian dari risalah yang bergantung pada terpeliharanya Nabi
dari dosa, salah dan lupa. Kaum muslim pun sepakat terhadap pendapat di
atas. Sayyed Muhammad Taqi Al Hakim mengomentari: ”Secara akal dari
bukti-bukti yang ada mungkin dapat disebutkan bahwa Sunah itu hujah dan
mengingkarinya sama saja dengan mengingkari kenabian. Karena tidak
mungkin maksiat muncul dari Nabi, seperti salah dalam tablih, lupa atau
lalai yang menghilangkan kepercayaan [manusia terhadapnya] atau yakin
dengan apa yang disampaikan sebagai tugas dari Allah SWT, padahal boleh
jadi ada kemungkinan salah, lupa dan lalai di dalamnya.”. Meskipun dalil
di atas masih diperdebatkan dan dipermasalahkan namun kemudian beliau
menjawabnya untuk menghilangkan keraguan dan kesamaran sehingga dalil
itu disifati sebagai dalil yang kuat. Dan juga sebagai ganti dari dalil
Al-quran yang tidak membutuhkan pemikiran luas.
Pakar ushul
empat mazhab ingin mengantarkan pembahasan ini seelegan mungkin dengan
mencari dalil bagi orang-orang yang mengingkari Sunah sebagai hujah
dengan berdalil bahwa A-lquran telah menyifati dirinya sebagai penjelas
segala sesuatu. Kalau saja Al-quran butuh pada Sunah maka ia bukan lagi
sebagai penjelas segala sesuatu dan keberadaan Al-quran akan sia-sia
belaka. Allah SWT telah menjamin Al-quran dengan menjaganya, sedangkan
Dia tidak menjamin untuk menjaga Sunah. Mereka menolak dalil yang
mengatakan bahwa Al-quran yang memberikan petunjuk pada Sunah. Maka
penjelasan Sunah harus dilihat seperti kedudukan penjelasan Al-quran.
Meskipun Al-quran menjadi penjelas segala sesuatu, namun ini tidak
berarti mengesampingkan Sunah. Karena banyak syariat yang diambil dari
Sunah, seperti bagian-bagian dari kewajiban dan syarat-syaratnya,
Sunah-Sunah yang membatalkan dan larangan-larangannya. Dan itu banyak
terdapat di fiqih pada bab mua’malat dan iqo’aat.
Pada
kajian ini mereka mengatakan bahwa Zanadiq dan kaum Khawarij telah
sepakat pada sebuah hadist yang berbunyi: ”Apa saja yang datang pada
kalian itu adalah dariku, maka hendaklah kalian merujuk Al-quran, jika
sesuai dengan Kitab Allah maka aku yang mengatakannya dan jika
bertentangan aku tidak pernah mengatakannya. Bagaimana mungkin aku
bertentangan dengan Al-quran karena sebab Al Quran aku mendapatkan
petunjuk.” Imam Syafi’i telah mengatakan hadis yang sama: “Seseorang
meriwayatkan untuk memperkuat hadist ini pada sesuatu yang kecil dan
tidak besar.” Mereka menolak karena hadis di atas dianggap buatan dan
bertentangan dengan Al-quran, sementara Al-quran memerintahkan supaya
kita mengambil Sunah Rasul saw.
Tujuan
mencocokkan hadis dengan Al-quran adalah untuk membedakan antara hadis
yang benar dan palsu. Dan itu sebagai dasar bagi para ulama ushul
fikih Imamiyah untuk menyelesaikan pertentangan yang muncul dari
dalil-dalil syar’i. Mereka memiliki banyak riwayat yang benar yang
sesuai dengan Al-quran dan mereka akan mencampakkan ke dinding kalau
saja ada hadis yang bertentangan dengan Al-quran.
Pemikiran
yang bertentangan dengan Al-quran tidak bisa dijadikan sebagai dalil,
dan tidak penting menisbatkannya pada kaum Khowarij dan Zindig, karena
akan menyebabkan sia-sia belaka. Karena menetapkan Sunah pada Sunah akan
menjadi daur (siklus), demikian pula membatalkan Sunah dengan Sunah adalah perkara yang tidak mungkin.
Dua
madrasah besar Sunni dan Syiah sebagai unsur yang bertanggung jawab
pada kajian-kajian ilmiah yang beraneka ragam. Metode keduanya harus
mampu menjelaskan sejauh manakah kebutuhan akan kajian-kajian ushul. Syathiby dan lainnya juga memahami sebagaimana para pakar ushul
fikih Ahlusunah memahami tentang hadis yang menyatakan bahwa Sunah
menjadi tempat rujukan Al-quran, lalu dia mengomentarinya: “Cara yang
semacam ini jelas salah, karena ini telah dilakukan oleh orang-orang
terdahulu.” Akan tetapi di halaman selanjutnya dia mengatakan: “Apabila
hadis bertentangan dengan Al-quran maka hadis itu telah dusta.”
Sunah
berkewajiban menjawab dengan mengatakan bahwa hadis-hadis yang benar
adalah yang sesuai dengan Al-quran dan tidak membelakanginya. Karena
banyak yang berpegang teguh pada hadis hanya dengan anggapan saja tanpa
mengoreksi apakah hadis tersebut benar atau tidak. Maka dengan
berlalunya zaman, mereka mengetahui cara untuk menolak hadis-hadis
palsu.
Apabila
sebuah hadis memiliki bukti yang didukung oleh Al-quran maka hadis itu
akan menjadi hujah sehingga tidak akan ada hadis-hadis lain yang
menafikannya. Dan saat itu pula Al-quran akan menjadi hakim tentang
kebenaran sebuah hadis. Terkadang Al-quran sebagai saksi tetapi tidak
jelas pada dirinya dan membutuhkan petunjuk dari hadis yang lain. Karena
banyak dari permasalahan yang terjadi di dalam Al-quran tetapi tidak
bisa diungkapnya, maka dibutuhkanlah hadis sebagai penyingkapnya. Dengan
catatan bahwa hadis itu sesuai dengan Al-quran.
Pada
akhirnya pembahasan hadis yang dijadikan sebagai rujukan harus sesuai
dengan wahyu dan syariat bukan seperti kata ijtihad. Sebagain mereka
berkeyakinan bahwa Nabi saw terkadang berijtihad, sedangkan ijtihad itu
berpotensi salah dan lupa. Apakah mungkin terjadi kesalahan dan lupa
pada Sunah Rasul saw. Juga tidak benar sebagian mereka yang berpendapat
demikian “bahwa ijtihad Rasul saw pada hukum-hukum dasar Al-quran dan
inti syariat.” Yang benar, yaitu yang mengatakan bahwa Sunah berdasarkan
‘ismah (terjaga) Nabi saw dari dosa, kesalahan dan lupa.
Syathiby
mengatakan dalam kitabnya yang berjudul Al Muwafaqat bahwa hadis itu
datang dari Allah SWT murni atau hasil dari ijtihad Nabi saw melalui
wahyu yang benar yang berdasarkan Al-quran atau Sunah, kedua-duanya
tidak mungkin ada pertentangan berdasarkan ayat yang artinya ‘apa yang
diucapkan bukan dari hawa nafsu melaikan wahyu yang telah diturunkan.’
Seandainya perkataan Nabi itu boleh salah, maka tidak bisa berpegang
dengannya dan harus mencari kebenaran. Sesungguhnya Allah SWT tidak akan
membiarkan Nabi saw berijtihad salah, maka Dia akan segera
mengembalikan pada kebenaran sebelum beliau mengamalkannya.
Pendapat
di atas sama sekali tidak benar, karena jelas bahwa Nabi saw tidak akan
berbicara sesuai hawa nafsunya melainkan melalui wahyu yang diturukan
padanya. Karena itu seluruh perkataannya adalah hadis. Tidak benar
pembagian Sunah pada wahyu dan ijtihad. Seandainya ijtihad itu benar
apakah itu perkara yang harus dilakukan? Dan apa kebutuhan Nabi saw pada
ijtihad yang menghasilkan pada sebuah hukum, yang terkadang sesuai
dengan realita dan terkadang tidak sesuai. Dan apakah ijtihad mampu
menghasilkan sebuah hukum yang datang dari wahyu secara langsung?
Sesungguhnya
pemikiran ijtihad Nabi saw yang diyakini oleh empat mazhab Ahlusunah
membutuhkan pembahasan dan kajian yang cukup mendalam. Dan tentu bukan
di sini tempatnya. Ini adalah perbedaan yang mendasar di antara dua
mazhab ushul, yaitu madrasah Imamiyah dan madrasah Ahlusunah.
0 komentar:
Posting Komentar