PERSOALAN SUNNAH DAN BID'AH
Pada kesempatan ini ardhia mencoba menghadirkan persoalan2 di masyarakat khusus tentang masalah bid'ah atau sunah......semoga Allah selalu membimbing kita. aamiin
MUQADDIMAH
Assalamu'alaikum warohmatullahi wabarokatuh,
Segala
puji bagi Allah Subhanahuwata'ala yang telah memberikan kita hidayah
dan begitu banyak nikmat dalam kehidupan kita, shalawat dan salam bagi
Rasulullah s.a.w. dan keluarganya dan juga para sahabat, tabi'in,
tabi'it tabi'in dan orang-orang Islam yang mengikuti agama yang mulia
ini. Sebelum saya membuka tulisan atau menguraikan tentang masalah yang
selalui ramai dibicarakan orang, yaitu tentang bid'ah dan sunnah maka
saya terlebih dahulu mengutip firman Allah 'Azza Wa Jalla dari Surah Ali
Imran ayat 103:
وَٱعۡتَصِمُواْ
بِحَبۡلِ ٱللَّهِ جَمِيعً۬ا وَلَا تَفَرَّقُواْۚ وَٱذۡكُرُواْ نِعۡمَتَ
ٱللَّهِ عَلَيۡكُمۡ إِذۡ كُنتُمۡ أَعۡدَآءً۬ فَأَلَّفَ بَيۡنَ قُلُوبِكُمۡ
فَأَصۡبَحۡتُم بِنِعۡمَتِهِۦۤ إِخۡوَٲنً۬ا وَكُنتُمۡ عَلَىٰ شَفَا
حُفۡرَةٍ۬ مِّنَ ٱلنَّارِ فَأَنقَذَكُم مِّنۡہَاۗ كَذَٲلِكَ يُبَيِّنُ
ٱللَّهُ لَكُمۡ ءَايَـٰتِهِۦ لَعَلَّكُمۡ تَہۡتَدُونَ ١٠٣
Yang artinya: " Dan
berpeganglah kamu semuanya kepada tali [agama] Allah, dan janganlah
kamu bercerai berai, dan ingatlah akan ni’mat Allah kepadamu ketika kamu
dahulu [masa Jahiliyah] bermusuh musuhan, maka Allah mempersatukan
hatimu, lalu menjadilah kamu karena ni’mat Allah orang-orang yang
bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah
menyelamatkan kamu daripadanya. Demikianlah Allah menerangkan
ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk. " (QS. Ali Imran:
103)
Dalam ayat diatas بِحَبۡلِ ٱللَّهِ mempunyai
arti tali Allah, dimana Al Imam Qurthubi mengatakan dalam Kitab Li
Jami'li Ahkam Al Qur'an bahwa maksudnya adalah Al Qur'an. Kalimat
selanjutnya ialah وَلَا تَفَرَّقُواْۚ dan jangan kamu ber-tafarruq atau bercerai berai.
Hadirin
dan saudara-saudaraku pembaca yang mulia, Allah Subhanahu wata'ala
sudah mengingatkan kita agar kita jangan bercerai-berai. Oleh karena itu
dengan semangat inilah saya mencoba mengulas tentang permasalahan yang
ramai diperselisihkan yaitu tentang Sunnah dan Bid'ah, tentunya dengan
segala keterbatasan ilmu yang sampai dengan hari ini saya Muhammad
Irmansyah As Syafi'i masih terus belajar dan menambah ilmu. Jika paparan
saya ini benar, maka datangnya dari Allah 'Azza Wa Jalla, akan tetapi
jika ada kesalahan dalam tulisan sederhana ini, maka itu karena
ke-dhoifan saya semata. Saya teringat ucapan guru saya: "Tidak
ada seorang ulama pun –yang terpercaya keilmuan, amanah, dan
ketaatannya– sengaja menyelisihi apa yang ditunjukkan oleh dalil
Al-Qur`an dan As-Sunnah. Karena orang yang sejatinya alim, niscaya yang
menjadi penunjuk jalannya adalah kebenaran. Islam telah meletakkan
kaidah yaitu Adabul Khilaf dan Al-Qawa'id Al-Fiqhiyah, pergunakanlah
itu."
Hadirin
sekalian, masalah sunnah dan bid'ah selalu menjadi pangkal perbedaan dan
perselisihan pendapat. Untuk bisa mengatasi hal-hal yang tidak
diinginkan perlu ada pengertian yang benar tentang apa makna dan maksud
dari dua perkataan itu.
Sunnah dan bid'ah adalah dua hal yang saling berhadap-hadapan dalam memahami ucapan-ucapan Rasulullah S.A.W. sebagai shahibusy-syara'
(yang berwenang menetapkan hukum syari'at). Sunnah dan bid'ah secara
masing-masing tidak dapat ditentukan batas-batas pengertiannya, kecuali
jika yang satu sudah ditentukan batas pengertiannya terlebih dahulu.
BATAS PENGERTIAN SUNNAH DAN BID'AH
Tidak
sedikit orang yang menetapkan batas pengertian bid'ah tanpa menetapkan
terlebih dahulu apa batas pengertian sunnah, padahal sunnah itulah yang
merupakan pokok persoalan. Karena itu orang banyak (mereka) terperosok
kedalam pemikiran sempit dan tidak dapat keluar meninggalkannya, dan
akhirnya mereka terbentur pada dalil-dalil yang berlawanan dengan
pengertian mereka sendiri tentang bid'ah. Andaikata pengertian sunnah
terlebih dahulu ditetapkan batasannya maka akan diperoleh kesimpulan
yang tidak berlainan atau bahkan bertabrakan. Dari beberapa hadis
dibawah ini akan tampak jelas bahwa Rasulullah SAW menekankan soal
sunnah terlebih dahulu, baru kemudian memperingatkan soal bid'ah:
1.
Hadis Jabir dalam Shahih Muslim: "Rassulullah saw. bila berkhutbah
tampak matanya kemerah-merahan dan dengan suara keras bersabda: "Fainna
ashdaqol haditsi kitabullahi wakhayral hadyi hadyu muhammadin saw.
wasyarral umuwri muhdatsaa tuhaa wakulla muhdatsatin bid'atun wakulla
bid'atin dholaa latun wa kulla dholaa latin fiyn naar." (Sesungguhnya
sebaik-baik perkataan adalah Kitabullah, sebaik-baik petunjuk adalah
petunjuk Muhammad saw, sejelek-jelek perkara adalah yang diada-adakan,
setiap yang diada-adakan adalah bid'ah dan setiap bid'ah itu sesat dan
setiap kesesatan tempatnya di Neraka.)
2.
Makna hadis diatas diperjelas oleh hadis yang diriwayatkan oleh Abu
Dawud, Ibnu Majah dan di shahih-kan oleh Al Imam Turmudziy: "Rasulullah
saw. memperingatkan kami dengan peringatan yang sejelas-jelasnya,
membuat hati kami gemetar dan mata berlinang-linang. Kami menyahut: 'Ya
Rasulullah, seolah-olah peringatan itu peringatan perpisahan!' Beliau
kemudian memberikan wasiat kepada kami dengan bersabda: 'Kuwasiatkan
kepada kalian, hendaknya kalian tetap bertakwa kepada Allah 'Azza Wa
Jalla dan tetap taat (kepada penguasa) sekalipun kalian diperintah oleh
seorang budak berkulit hitam. Orang yang hidup sepeninggalku akan
menyaksikan banyak perselisihan, maka hendaklah kalian berpegang teguh
pada sunnahku dan sunnah para khalifah rasyidin (yakni para
penerus kepemimpinan beliau saw.) yang setia mengikuti hidayah. Gigitlah
sunnah itu dengan geraham kalian (yakni: peganglah kuat-kuat jangan
sampai terlepas). Hati-hati terhadap persoalan yang diada-adakan,
karena setiap bid'ah adalah sesat."
3.
Hadis nomer 1 diatas diperjelas lagi maknanya dengan Hadis Jarir
riwayat Muslim, yaitu: "Man sanna fil islaami sunnatan hasanatan falahu
ajruhaa wa ajru, man 'amila bihaa ba'dahu min ghayri ay yunqosho min
ujuwrihim syaiy'un, wa man sanna sunnatan sayyiatan kaana 'alayhi
wizruhaa wa wizru, man 'amila bihaa min ba'dihi min ghayri ay yunqosho
min aw zaarihim syay'un."
Artinya:
"Barangsiapa yang didalam Islam merintis jalan kebaikan, ia memperoleh
ganjarannya dan ganjaran orang yang mengerjakannya sesudah dia tanpa
dikurangi sedikitpun. Barangsiapa yang didalam Islam merintis jalan
kejahatan, ia memikul dosanya dan dosa orang yang mengerjakannya sesudah
dia tanpa dikurangi sedikit pun."
Selain tiga buah hadis tersebut diatas masih banyak hadis-hadis lain yang semakna:
4.
Hadis Ibnu Mas'ud r.a. yang diketengahkan oleh Muslim: "Man dalla 'ala
khayrin falahu mitslu ajri faa 'ilihi" Artinya: "Barangsiapa yang
menunjukkan kebajikan ia memperoleh ganjaran seperti yang diperoleh
orang yang mengerjakannya."
5.
Hadis Abu Hurairah r.a. riwayat Muslim, yaitu: "Man da'aa ila hudan
kaana lahu minal ajri mistlu ujuri man tabi'ahu laa yunqoshu min
ujurihim syay'un." Artinya: "Barangsiapa yang mengajak ke jalan hidayah
ia memperoleh ganjaran sama dengan yang diperoleh orang-orang yang
mengikutinya tanpa dikurangi sedikitpun. Barangsiapa yang mengajak ke
jalan kesesatan ia memperoleh dosa seperti yang diperoleh orang-orang
yang mengerjakannya tanpa dikurangi sedikitpun."
Dari
hadis Jabir yaitu hadis nomor 1 diatas, kita mengetahui dengan jelas
bahwa Kitabullah dan petunjuk Rasulullah saw. berhadap-hadapan dengan
bid'ah, yaitu sesuatu yang diada-adakan menyalahi Kitabullah dan
petunjuk Rasulullah saw.
Dari
hadis berikutnya kita saksikan bahwa Sunnah Rasulullah saw. dan sunnah
para khalifah rasyidin berhadap-hadapan dengan bid'ah. Dalam hadis
selanjutnya kita lihat bahwa jalan kebajikan (sunnah hasanah) berhadap-hadapan dengan jalan kejahatan (sunnah sayyi'ah). Jadi teranglah, bahwa yang pokok adalah "sunnah", sedangkan yang menyimpang dan berlawanan dengan sunnah adalah "bid'ah".
Dalam bahasa Arab dan menurut peristilahan hukum syara', sunnah berarti jalan (thariqah). Dalam hal ini yang dimaksud adalah tuntunan dan petunjuk (huda)
Rasulullah saw. Yaitu sebagaimana yang terdapat di dalam hadis nomor 3
yaitu: "Barangsiapa merintis jalan kebajikan ....(Man sanna fil-Islam
sunnah hasanah...) - Lihat hadis Abu Hurairah r.a. pada hadis nomor
5 diatas. Jika jalan yang ditempuh itu baik, sesuai dan tidak
berlawanan dengan tuntunan atau petunjuk Rasulullah saw., disebut sunnah hasanah.
Sebaliknya, jika jalan yang ditempuh itu buruk, tidak sesuai dan
berlawanan dengan tuntunan atau petunjuk Rasulullah saw. disebut sunnah sayyi'ah.
Jadi, yang dimaksud dengan sunnah bukan seperti yang difahami oleh orang awam.
Kaum awam mengartikannya sebagaimana yang kita kenal dalam istilah FIQH, yaitu: "sesuatu yang jika dikerjakan mendatangkan pahala, dan jika ditinggalkan tidak mendatangkan dosa."
Tegasnya ialah: Menurut istilah ahlul-hadis, kata sunnah berarti hadis Nabi saw. dan menurut istilah Fiqh kata sunnah berarti mustahab (dikerjakan baik, ditinggalkan boleh).
Makna
kata sunnah menurut dua macam peristilahan itu bukan yang kita maksud
dalam pembicaraan mengenai makna hadis Rasulullah saw. sebagaimana yang
tercantum pada hadis nomor 5 diatas tadi, yaitu mengenai soal sunnah dan bid'ah.
Sebab, yang dimaksud dengan kata sunnah dalam hal ini ialah Sunnah
Rasulullah saw. yakni jalan yang beliau tempuh, baik dalam bentuk amal
perbuatan maupun perintah. Dengan demikian maka sesuatu yang baru
diadakan (yang belum pernah ada sebelumnya) harus dihadapkan,
dipertimbangkan dan dinilai berdasarkan sunnah Rasulullah saw. Jika yang
baru diadakan itu baik, sesuai dan tidak bertentangan dengan jalan yang
ditunjukkan oleh Nabi saw., maka dapat diterima. Jika sebaliknya, maka
harus ditolak. Yang dapat diterima disebut sunnah hasanah dan yang ditolak disebut sunnah sayyi'ah (jalan baik dan jalan buruk).
Sunan
adalah jamak dari kata sunnah. Sunnah sesuatu berarti jalan sesuatu.
Sunnah Rasulullah saw. berarti Jalan Rasulullah saw., yaitu jalan yang
ditempuh dan ditunjukkan oleh beliau.
Beberapa riwayat hadis menggunakan kata sunnah sebagai pengganti kata fithrah, dan bermakna thariqah atau jalan.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam kitab Iqtidha'us Shirathil Mustaqim mengatakan:
"Sunnah jahiliyyah adalah adat kebiasaan yang berlaku dikalangan
masyarakat jahiliyah. Jadi, kata sunnah dalam hal ini berarti adat
kebiasaan, yaitu jalan atau cara yang berulang-ulang dilakukan oleh
orang banyak, baik mengenai soal-soal yang dianggap sebagai peribadatan
maupun yang tidak dianggap peribadatan." (Iqtidha'us Shiratil Mustaqim
halaman 76)
Karena itu kita
harus dapat memahami sunnah Rasululah saw. dalam menghadapi berbagai
persoalan yang terjadi pada zamannya, yaitu persoalan-persoalan yang
tidak dilakukan, tidak diucapkan dan tidak diperintahkan oleh beliau
saw., tetapi dipahami dan dilakukan oleh orang-orang yang ber-ijtihad
menurut kesanggupan akal pikirannya dengan tetap berpedoman pada
Kitabullah dan Sunnah Rasulullah saw. Kecuali itu juga harus mengikuti
dan menelusuri persoalan-persoalan itu agar kita dapat memahami jalan
atau sunnah yang ditempuh Rassulullah saw. dalam membenarkan, menerima
atau menolak sesuatu yang dilakukan orang. Dengan mengikuti dan
menelusuri persoalan-persoalan itu kita dapat mempunyai keyakinan yang
benar dalam memahami sunnah Rasulullah saw. mengenai soal-soal baru yang
terjadi sepeninggal beliau saw.
Mana yang baik dan sesuai dengan Sunnah Rasulullah saw. itulah yang kita namakan sunnah , dan mana yang buruk, tidak sesuai dan bertentangan dengan Sunnah Rasulullah saw. itulah yang kita namakan bid'ah.
Dengan
demikian kita dapat memahami secara benar makna ucapan Rasulullah saw.
yang tertera didalam hadis-hadis shahih, seperti: "Barangsiapa yang
mengajak ke jalan hidayat..." dst.; dan "Barangsiapa yang mengajak ke
jalan sesat..." dst. Selain itu kitapun perlu mengetahui soal baru apa
yang dapat diterima dan yang harus ditolak. akan tetapi hal itu baru
dapat kita ketahui setelah kita membedakan terlebih dahulu mana yang
sunnah dan mana yang bid'ah.
Bersamaan
dengan itu kita perlu mengikuti dan menelusuri berbagai persoalan yang
terjadi pada zaman khulafa' rasyidin, agar kita mengerti jalan atau
sunnah yang mereka tempuh, sebagai gambaran mengenai soal-soal apa yang
dapat diterima atau ditolak oleh Rasulullah saw. Sebab para khulafa'
rasyidin itu adalah para sahabat Nabi saw. yang terkemuka dan terdekat,
yang tidak diragukan lagi kesetiaannya kepada kebenaran Allah dan
kebenaran Rasul-Nya.
Mungkin
ada orang yang mengatakan bahwa suatu kejadian yang dibiarkan oleh
Rasululah saw. artinya tidak dicela atau tidak dilarang adalah termasuk
kategori sunnah. Hadirin sekalian dan para pembaca sekalian, itu
memang benar, akan tetapi kejadian yang dibiarkan oleh beliau itu
merupakan petunjuk juga bagi kita untuk dapat mengetahui bagaimana cara
Rasululah sw. membiarkan atau menerima kenyataan yang terjadi. Hal itu
perlu saya tegaskan, karena banyak sekali kejadian yang dibiarkan oleh
Rasulullah saw. tidak menjadi sunnah dan tidak ada seorangpun yang
mengatakan itu sunnah. Sebab, apa yang diperbuat dan dilakukan
Rasulullah saw. pasti lebih utama, lebih afdhal dan lebih mustahaq
diikuti. Suatu kejadian atau perbuatan yang didiamkan atau dibiarkan
oleh Rasululah saw. merupakan petunjuk bagi kita, bahwa beliau saw.
tidak menolak sesuatu yang baik, jika yang baik itu tidak bertentangan
dengan nash, tidak mendatangkan akibat buruk
dan tidak berlawanan dengan tuntunan serta petunjuk beliau saw. Itulah
yang dimaksud oleh kesimpulan para ulama yang khusus maupun yang
bersifat umum, bukanlah bid'ah; walaupun sesuatu itu tidak dilakukan
dan tidak diperintahkan secara khusus oleh Rasulullah saw. Mengenai
persoalan itu nanti saya akan sajikan beberapa hadis shahih dan hadis
hasan. Dan juga beberapa kebijakan yang dilakukan oleh para khulafa' rasyidin sesuai dengan Sunnah Rasulullah saw.
RASULULLAH SAW. MEMBENARKAN PRAKARSA BAIK PARA SAHABATNYA.
Banyak
hadis shahih yang menunjukkan bahwa Nabi saw. sering membenarkan
prakarsa baik yang diambil oleh para sahabatnya. Prakarsa itu ada yang
berupa amal perbuatan, zikir, doa dan lain sebagainya; yang Rasulullah
saw. sendiri tidak melakukan dan tidak memerintahkannya.
Para
sahabat beliau mengambil prakarsa dan mengerjakannya berdasarkan
kesimpulan pemikiran dan keyakinannya sendiri, bahwa yang dilakukanya
itu merupakan kebajikan yang dianjurkan oleh agama Islam dan yang secara
umum diserukan oleh Rasulullah saw. Kecuali itu mereka juga berpedoman
pada firman Allah dalam Al Qur'an, Surah Al Hajj ayat 77:
وَٱفۡعَلُواْ ٱلۡخَيۡرَ لَعَلَّڪُمۡ تُفۡلِحُونَ
Artinya: Hendaklah kalian berbuat kebajikan, agar kalian memperoleh keberuntungan.
dan
berpedoman pula pada sabda Rasulullah saw. sebagaimana yang hadisnya
telah saya sebut terdahulu, yaitu: "Barangsiapa yang didalam Islam
merintis jalan kebajikan ia memperoleh ganjaran orang-orang yang
mengerjakannya sesudah dia, tanpa dikurangi sedikitpun."
Sekalipun
hadis tersebut berkaitan dengan soal shadaqah, namun kaidah pokok yang
telah disepakati bulat oleh para ulama menetapkan "Pengertian berdasarkan keumuman lafal, bukan berdasarkan kekhususan sebab."
Walaupun mereka (para sahabat Nabi) berbuat demikian, itu tidak berarti
setiap orang dapat mengambil prakarsa, karena agama Islam mempunyai
kaidah-kaidah dan pedoman-pedoman yang telah ditetapkan batas-batasnya.
Amal kebajikan yang prakarsanya diambil oleh para sahabat Nabi
berdasarkan ijtihad dapat dipandang sejalan
dengan sunnah Rasulullah saw. jika amal kebajikan itu sesuai dengan
syariat. Jika menyalahi ketentuan syariat maka prakarsa itu tidak dapat
dibenarkan dan harus ditolak.
Demikian pula ijtihad kebajikan dan kebijaksanaan yang diambil dan dilakukan oleh para khulafa' rasyidin.
Prakarsa dan kebijaksanaan yang mereka lakukan diteliti oleh para ulama
dan diuji dengan Kitabullah, Sunnah Rasulullah saw. dan kaidah-kaidah
hukum syariat. Bila setelah diuji ternyata baik, maka prakarsa itu
dinilai baik dan dapat diterima. Sebaliknya, bila setelah diuji
ternyata buruk, prakarsa itu dinilai buruk dan dipandang sebagai bid'ah tercela. Prakarsa yang telah dinilai baik dan dapat diterima kadang-kadang disebut dengan bid'ah hasanah
(bid'ah baik), sebab setiap prakarsa yang diambil dan dikerjakan oleh
para sahabat Nabi saw. secara bahasa memang harus disebut "bid'ah",
yakni sesuatu yang dikerjakan bukan atas perintah Allah dan Rasul-Nya.
Akan tetapi "bid'ah hasanah" sebagaimana yang saya terangkan diatas
tadi dalam pandangan hukum syariat bukan "bid'ah" melainkan "sunnah mustanbathah", yakni "sunnah" yang ditetapkan berdasarkan "istinbath" atau hasil ijtihad.
Sebagai contoh mengenai "bid'ah" menurut pengertian lughoh
atau bahasa dapatlah dikemukakan ucapan Khalifah 'Umar Ibnul Khaththab
r.a. mengenai shalat tarawih. Ia mengatakan, "Alangkah besar nikmat
bid'ah itu" (na'imatil-bid'ah). Yang dimaksud
dengan ucapan itu ialah: Alangkah besar nikmat shalat tarawih
itu. Pada masa itu memang ada orang yang berani
menyanggah ucapan Khalifah "Umar karena ia berpegang pada pengertian
"bid'ah" menurut bahasa dan tidak memahami yang dimaksud oleh Khalifah
Umar r.a. Orang itu berkata, "Di dalam bid'ah tidak ada kebaikan."
Baiklah,
persoalan itu saya hadapkan saja pada beberapa bukti yang menunjukkan
amal kebajikan yang dilakukan oleh para sahabat Nabi saw. atas prakarsa
mereka sendiri, dan bagaimana sikap Rasululah saw. menghadapi persoalan
itu. ............. 30 Maret 2010 Jam 21:51
31 Maret 2010 11:00
Bukti pertama ,
Imam Al-Bukhari, Imam Muslim, dan Imam Ahmad bin Hanbal meriwayatkan
sebuah hadis shahih berasal dari Abu Hurairah r.a. bahwasanya Rasulullah
saw. bertanya pada Bilal seusai shalat Subuh, "Hai Bilal, katakanlah
kepadaku apa yang paling engkau harapkan dari amal yang telah engkau
lakukan di dalam Islam, sebab aku mendengar suara terompahmu di dalam
surga." Bilal menjawab, "Bagiku amal yang paling kuharapkan ialah aku
selalu bersuci setiap saat (selalu dalam keadaan ber-wudhu) siang dan
malam, dan dalam keadaan suci seperti itulah aku menunaikan shalat."
Dalam
hadis lain yang diketengahkan oleh Imam Tirmudziy dan disebut sebagai
hadis hasan dan shahih, Rasulullah saw. bertanya kepada Bilal, "Dengan
apakah engkau dapat mendahului aku masuk surga?" Bilal menjawab, "Aku
tidak pernah meninggalkan shalat dua rakaat sehabis adzan, pada setiap
saat wudhu-ku batal aku segera mengambil air wudhu, dan aku merasa wajib
bersembahyang (sunnah) dua rakaat demi karena Allah." Atas jawaban
Bilal itu Rasulullah saw. berkata, "Engkau telah mencapainya" -yakni
engkau telah mencapai martabat (manzilah) itu. (Hadis tersebut
diketengahkan juga oleh Al-Hakim sebagai shahih, dan Adz-Dzhabiy juga
sebagai hadis shahih.)
Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam kitab Al-Fath mengatakan: Dari hadis tersebut dapat diperoleh pengertian bahwa ijtihad menetapkan waktu ibadah diperbolehkan. Apa yang dikatakan oleh Bilal kepada Rasulullah saw adalah hasil istinbath (ijtihad)-nya sendiri dan ternyata dibenarkan oleh beliau saw. (Fathul Bari, Jilid III/276).
Demikian
juga hadis yang berasal dari Khabbab dalam Shahih Al-Bukhari, mengenai
prakarsa Khabbab bersembahyang dua rakaat sebagai pernyataan sabar (bela
sungkawa) di saat menghadapi orang Muslim yang mati terbunuh. (Fathul
Bari, Jilid VIII/313).
Dari
dua hadis tersebut kita mengetahui jelas bahwa baik Bilal maupun
Khabbab, kedua-duanya menetapkan waktu-waktu ibadah atas dasar
prakarsanya sendiri-sendiri. Rasulullah saw. tidak memerintahkan hal itu dan tidak pula melakukannya,
beliau hanya secara umum menganjurkan supaya kaum Muslimin banyak
beribadah. Sekalipun demikian beliau saw. tidak melarang, bahkan
membenarkan prakarsa dua orang sahabat itu.
Bukti Kedua , hadis yang diketengahkan oleh Imam Al-Bukhari, Imam Muslim dan lain-lain dalam Kitabus-Shalat,
Bab "Rabbana lakal-hamdu," hadis tersebut berasal dari Rifa'ah bin
Rafi' yang menerangkan sebagai berikut: Pada suatu hari aku
bersembahyang di belakang Rasulullah saw. Ketika berdiri ('itidal) sesudah ruku' beliau mengucapkan "sami'allahu liman hamidah."
Salah seorang makmum menyusul ucapan beliau itu dengan berdoa:
"Rabbana lakal-hamdu hamdan katsiiran thayyiban mubarakan fiihi" (Ya
Tuhan kami, puji syukur sebanyak-banyaknya dan sebaik-baiknya atas
limpahan keberkahan-Mu). Seusai shalat Rasulullah saw. bertanya,
"Siapa tadi yang berdoa?" Orang yang bersangkutan menjawab, "Aku ya
Rasulullah." Rasulullah saw. berkata, "Aku melihat lebih dari tiga puluh malaikat berpacu ingin mencatat doa itu lebih dulu!"
Didalam
Al-Fath, Imam Al-Hafizh mengatakan bahwa hadis tersebut menunjukkan
diperbolehkannya orang berdoa atau berdzikir diwaktu shalat selain dari
yang sudah biasa, asalkan maknanya tidak berlawanan dengan kebiasaan
yang telah ditentukan. Kecuali itu hadis tersebut memperbolehkan orang
mengeraskan suara di waktu shalat dalam batas tidak menimbulkan
keberisikan. Demikian Al-Hafizh.
Bukti Ketiga, Ash-Sha'aniy 'Abdurrazaq dalam Al-Mushannaf-nya
meriwayatkan sebuah hadis dari 'Abdullah bin 'Umar r.a. yang mengatakan
sebagai berikut: Di saat orang sudah mulai shalat jama'ah, datang
seseorang yang agak terlambat. Setelah berdiri di shaf dengan suara
agak keras dia berucap: "Allahu akbar kabira, wal-hamdu lillahi katsira
wasubhanallahi bukratan wa ashila." Seusai shalat, Rasulullah saw.
bertanya: "Siapakah yang tadi mengucapkan kalimat itu?" Orang itu
menjawab "Aku, ya Rasulullah. Demi Allah, aku tidak menghendaki lain
kecuali kebajikan dengan mengucapkan kalimat itu." Rasulullah saw.
kemudian berkata: "Aku melihat pintu-pintu langit terbuka karena kalimat
itu." Sejak mendengar pernyataan Rasulullah saw. yang demikian itu
'Abdullah bin 'Umar tidak pernah ketinggalan mengucapkan kalimat
tersebut disaat mulai bersembahyang. Hadis tersebut diketengahkan juga
oleh An-Nasa'iy dengan teks yang sedikit berbeda, tetapi bermakna sama;
dan diketengahkan juga oleh Imam Muslim.
Dalam
hadis tersebut saya menemukan pembuktian jelas, bahwa Rasulullah saw.
bukan mempermasalahkan orang yang menambah ucapan takbir dengan kalimat
yang lebih sempurna, malah justru meridhai dan menggembirakan orang yang
melakukannya. Karena itu saya, Muhammad Irmansyah As Syafi'i sungguh merasa heran
terhadap sementara orang yang menganggap pembacaan doa qunut dalam
shalat subuh sebagai bid'ah. Padahal doa itu berasal dari Rasulullah
saw. sendiri. Demikianlah yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik r.a. dan
beberapa orang sahabat Nabi saw. yang lain.
Kalau
saya menyinggung masalah pembacaan doa qunut didalam shalat subuh; itu
tidak berarti bahwa saya hendak membicarakan masalah itu dalam makalah
ini. Saya hanya ingin mengatakan, bagaimana mungkin pembacaan doa yang
berasal dari Rasulullah saw. dalam shalat subuh itu dikatakan bid'ah,
sedangkan tambahan-tambahan kalimat dalam 'itidal dan dalam takbiratul ihram
yang dilakukan orang atas prakarsanya sendiri, tidak dipermasalahkan
oleh Rasulullah saw. tetapi justru dibenarkan, dipuji dan diridhainya.
Adapula
sementara orang yang dapat kita pandang lebih aneh lagi. yaitu mereka
yang tidak membaca kalimat "bismillah" untuk mengawali pembacaan surah
Al-Fatihah di dalam shalat. Atau mungkin membaca "bismillah", tetapi
dengan suara lirih untuk didengar sendiri. Saya katakan aneh karena
Al-Fatihah adalah sebuah surah dalam Al-Quran yang didahului dengan
kalimat "bismillah". Akan tetapi yang lebih aneh lagi ialah ada
beberapa orang dari kalangan mereka yang setelah membaca Al-Fatihah
tanpa "bismillah", mereka membaca "bismilah" dengan suara keras sebelum
membaca surah berikutnya!
Bukti Keempat,
dalam Kitabut-Tauhid Al-Bukhari mengetengahkan sebuah hadis berasal
dari Siti 'Aisyah r.a. yang mengatakan sebagai berikut: Pada suatu saat
Rasulullah saw. menugaskan seseorang dengan dengan beberapa temannya ke
suatu daerah untuk menangkal serangan kaum musyrikin. Tiap shalat
berjamaah, selaku imam ia selalu membaca surah Al-Ikhlas di samping
surah lainnya sesudah Al-Fatihah. Setelah mereka pulang ke Madinah,
seseorang diantaranya memberitahukan persoalan itu kepada Rasulullah
saw. Beliau menjawab, "Tanyakanlah kepadanya apa yang dimaksud." Atas
pertanyaan temannya itu orang yang bersangkutan menjawab, "Karena Surah
Al-Ikhlas itu menerangkan sifat Ar-Rahman, dan aku suka sekali
membacanya." Ketika jawaban itu disampaikan kepada Rasulullah saw.
beliau berpesan, "Sampaikan kepadanya bahwa Allah menyukainya."
Apa
yang dilakukan oleh orang tadi tidak pernah dilakukan dan tidak pernah
diperintahkan oleh Rasululah saw. Itu hanya merupakan prakarsa orang
itu sendiri. Sekalipun begitu Rasulullah saw. tidak mempermasalahkan
dan tidak pula mencelanya, bahkan memuji dan meridhainya dengan ucapan
"Allah menyukainya".
Hadis
yang semakna dengan itu diketengahkan juga oleh Imam Bukhari dalam
Kitabush-Shalah, berasal dari Anas bin Malik r.a. yang menceritakan
sebagai berikut: Beberapa orang menunaikan shalat berjamaah di masjid
Quba. Orang yang meng-imam-i shalat itu setelah membaca surah
Al-Fatihah dan satu surah yang lain selalu menambahnya dengan membaca
Surah Al-Ikhlas. Demikian yang dilakukan olehnya tiap rakaat. Seusai
shalat orang-orang yang makmum menegur, "Kenapa Anda setelah membaca
surah Al-Fatihah dan surah lainnya selalu menambah lagi dengan surah
Al-Ikhlas? Sebenarnya Anda dapat memilih: membaca surah yang lain dan
meninggalkan surah Al-Ikhlas, atau membaca surah Al-Ikhlas dan tidak
usah membaca surah yang lain!" Orang yang menjadi Imam shalat itu
menjawab, "Tidak, aku tidak mau meninggalkan surah Al-Ikhlas. Kalau
kalian setuju, aku mau mengi-imami kalian untuk seterusnya, tetapi jika
kalian tidak suka, aku tidak mau meng-imami kalian." Karena orang-orang
yang makmum tidak melihat ada orang lain yang lebih baik dan lebih
afdhal daripada imam tadi, mereka tidak mau di imami orang lain.
Setibanya kembali di Madinah mereka menemui Rasululah saw.
memberitahukan persoalan tersebut kepada beliau saw. Kepada orang yang
meng-imami shalat berjamaah itu Rasulullah saw. bertanya, "Hai Fulan,
apa sesungguhnya yang membuatmu tidak mau menuruti permintaan
teman-temanmu dan terus menerus membaca Surah Al-Ikhlas pada setiap
rakaat?" Orang itu menjawab, "Ya Rasulullah, aku sangat mencintai Surah
itu." Beliau saw. kemudian berkata, "Kecintaanmu kepada Surah itu
akan memasukkan dirimu kedalam surga." 31 Maret 2010 15:01
2 April 2010 10:56
Saudara
hadirin dan pembaca sekalian, Imam Al-Hafizh dalam penjelasannya
mengenai makna hadis tersebut diatas antara lain mengatakan dalam
AlFath: "...Orang itu berbuat melebihi kebiasaan yang telah ditentukan
karena terdorong oleh kecintaannya kepada Surah tersebut (Al-Ikhlas).
Namun Rasulullah saw. menggembirakan orang itu dengan pernyataan ia akan
masuk surga. Hal ini menunjukkan bahwa beliau saw. meridhainya."
Demikian Al-Hafizh.
Imam
Nashiruddin Ibnul-Munir menjelaskan makna hadis tersebut dengan
menegaskan, "Niat atau tujuan dapat mengubah kedudukan hukum suatu
perbuatan." Selanjutnya ia menerangkan, "Seumpama orang itu menjawab
dengan alasan karena ia tidak hafal surah yang lain, mungkin Rasulullah
akan menyuruhnya supaya belajar menghafal surah-surah selain yang selalu
dibacanya berulang-ulang. Akan tetapi karena ia mengemukakan alasan
"karena sangat mencintai surah itu" (yakni Al- Ikhlas), Rasulullah saw.
dapat membenarkannya, sebab alasan itu menunjukkan niat baik dan tujuan
yang sehat." Lebih jauh Imam Nashiruddin mengatakan: "Hadis tersebut
juga menunjukkan bahwa orang boleh membaca berulang-ulang surah atau
ayat-ayat khusus dalam Al-Qur'an menurut kesukaannya. Kesukaan demikian
itu tidak dapat diartikan bahwa orang yang bersangkutan tidak menyukai
seluruh isi Al-Qur'an atau meninggalkannya."
Menurut
kenyataannya, baik para ulama zaman dahulu maupun pada zaman-zaman
berikutnya, tidak ada yang mengatakan perbuatan seperti itu merupakan
bid'ah, tetapi tidak ada juga yang mengatakan bahwa perbuatan itu
merupakan sunnah yang tetap. Sebab, sunnah yang tetap dan wajib
dipertahankan serta dipelihara baik-baik ialah sunnah yang dilakukan
oleh Rasulullah saw. Pengertian yang dapat kita tarik dari makna hadis
tersebut ialah bahwa sekalipun perbuatan orang itu tidak sebagaimana
yang biasa dilakukan oleh Rasulullah saw. namun dibenarkan dan diridhai
juga oleh beliau, karena "tidak keluar" dari ketentuan syariat dan tetap
berada didalam kerangka amal kebajikan yang diminta oleh agama Islam.
Hadis-hadis
yang saya sajikan di atas semuanya berkaitan dengan soal-shalat, yaitu
ibadah terpokok dan terpenting di dalam Islam.
Sebagaimana
kita ketahui, mengenai soal shalat itu Rasulullah saw. telah
memerintahkan umatnya: " Sholluw kamaa roaytumuw fiy usholliy"
(Hendaklah kalian shalat sebagaimana kalian melihat aku shalat).
Sekalipun
demikian beliau saw. dapat membenarkan dan meridhai tambahan-tambahan
tertentu yang berupa doa dan bacaan surah, yang beliau sendiri tidak
biasa melakukannya; karena beliau saw. memandang penambahan doa dan
bacaan surah itu tidak keluar dari batas-batas yang telah ditentukan
oleh syariat. Batas-batas yang telah ditetapkan oleh syariat wajib
diperhatikan dan dijaga baik-baik, adapun selebihnya dari itu, selagi
masih tetap dalam kerangka kebajikan yang dituntut oleh agama, merupakan
sunnah (jalan atau cara) yang dapat dibenarkan. Karena itu para ulama
menegaskan: Setiap amal perbuatan yang tidak menyalahi hukum syara',
tidak berlawanan dengan nash (Kitabullah dan Sunnah Rasulullah saw.) dan tidak mendatangkan akibat buruk; tidak termasuk bid'ah.
Hadis-hadis
lain mengenai prakarsa baik di luar masalah shalat, yang dibenarkan
oleh Rasulullah saw. antara lain sebagai berikut:
1. Hadis Ruqyah (kekuatan gaib), yang oleh Imam Bukhari diketengahkan dalam beberapa bagian dalam Shahih-nya. Yaitu mengenai usaha menyembuhkan penyakit dengan ludah riwayat dari Abu Sa'id Al-Khudry r.a.
2.
Abu Dawud, At-Tirmudziy, dan An-Nasa'iy mengetengahkan sebuah riwayat
hadis berasal dari paman Kharijah bin Shilt tentang menyembuhkan orang
gila dengan membaca Surah Al-Fatihah.
3.
Ibnu Mas'ud r.a. membaca Surah Al-Mu'minun ayat 115 ditelinga orang
yang dalam keadaan pingsan, pada saat itu juga orang tersebut siuman dan
sadarkan diri. Ketika Rasulullah saw. mendengar peristiwa itu, beliau
bertanya, "Hai Ibnu Mas'ud, apa yang kau baca?" Ibnu Mas'ud menjawab:
"Aku membaca:
Mendengar jawaban itu Rasulullah saw. berkata: "Law anna rajula mu'minan qoro abiha 'ala jabalin lazal" (Seumpama orang yang benar-benar beriman membacakan ayat itu atau gunung, maka akan lenyaplah gunung itu!)
Dari hadis tersebut tampak jelas, bahwa Ibnu Mas'ud membacakan ayat 115 Surah Al-Mu'minun pada telinga orang pingsan itu bukan atas perintah Rasulullah saw. dan bukan karena ia pernah mendengar atau melihat beliau berbuat seperti itu, melainkan atas prakarsa-nya sendiri atau atas ijtihad-nya sendiri, karena ia sadar dan yakin bahwa apa yang dilakukannya itu adalah amal baik yang tidak bertentangan dengan syariat. Dari jawaban Rasulullah saw. itu kita dapat mengetahui bahwa beliau saw. membenarkan apa yangtelah dilakukan oleh Abdullah bin Mas'ud.
4. Imam Bukhari mengetengahkan sebuah hadis tentang fadha'il surah Al-Ikhlas, berasal dari Sa'id Al-Khudry r.a. yang mengatakan bahwa ia mendengar seseorang mengulang-ulang bacaan "Qul huwallahu ahad.." Kesesokan harinya ia (Sa'id Al-Khudry r.a.) memberitahukan hal itu kepada Rasulullah saw., dalam keadaan orang yang dilaporkan itu masih terus mengulang-ulang bacaannya. Menanggapi laporan Sa'id Al-Khudry itu Rasulullah saw. berkata, "Demi Allah yang nyawaku berada di tangan-Nya, itu sama dengan membaca sepertiga Al-Qur'an!".
Imam Al-Hafizh mengatakan di dalam Al-Fathul-Bari, bahwa orang yang disebut dalam hadis itu ialah Qatadah bin Nu'man. Hadis tersebut diriwayatkan oleh Ahmad bin Tharif dari Abu Sa'id, yang mengatakan , bahwa sepanjang malam Qatadah bin Nu'man terus menerus membaca "Qul huwallahu ahad," tidak lebih. Mungkin yang mendengar adalah saudaranya seibu (dari lain ayah), yaitu Abu Sa'id yang tempat tinggalnya berdekatan sekali dengan Qatadah bin Nu'man. Hadis yang sama diriwayatkan juga oleh Malik bin Anas, bahwa Abu Sa'id mengatakan, "Tetanggaku selalu bersembahyang di malam hari dan terus-menerus membaca Qul huwallahu ahad." Menurut hadis tersebut ternyata Rasulullah saw. membenarkan orang mengkhususkan bacaan suatu surah dengan memperpendek ayat-ayatnya (yakni tidak dibaca suatu surah seluruh ayatnya) dan mengulang-ulangnya (mewiridkannya) sepanjang malam. Rasulullah saw. sendiri tidak melakukan hal itu, tetapi beliau tidak mempersalahkan orang lain, bahkan mengatakan, " Itu sama dengan membaca sepertiga Al-Qur'an." Saya tidak mengatakan bahwa bahwa membaca Al-Qur'an secara demikian itu lebih afdhal. Tidak! Sebab, membaca Al-Qur'an selengkapnya adalah lebih afdhal, yaitu sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah saw. Dengan mengemukakan hadis tersebut saya hanya hendak menunjukkan, bahwa apa yang dilakukan oleh Qatadah bin Nu'man itu bukan perbuatan tercela, bahkan terpuji dan dibenarkan oleh Rasulullah saw. Karena itu perbuatan tersebut tidak dapat disebut "bid'ah".
5. Ashabus-Sunan, Imam Ahmad bin Hanbal dan Ibnu Hibban dalam Shahih-nya meriwayatkan sebuah hadis berasal dari ayah Abu Buraidah yang menceritakan kesaksiannya sendirisebagai berikut: Pada suatu hari aku bersama Rasulullah saw. masuk kedalam masjid Nabawiy. Di dalamnya terdapat seseorang sedang menunaikan shalat sambil berdoa, "Ya Allah aku mohon kepada-Mu dengan bersaksi bahwa tiada tuhan selain Engkau. Engkaulah Al-Ahad, As-Shamad, lam yalid walam yuulad wa lam yakullahu kufuwan ahad." Mendengar doa itu Rasulullah saw. berucap, "Demi Alah yang nyawaku berada di tangan-Nya, dia mohon kepada Allah dengan Asma-Nya Yang Mahabesar; yang bila dimintai akan memberi dan bila orang berdoa kepada-Nya Dia akan menjawab." Tidak diragukan lagi bahwa doa yang mendapat tanggapan sangat menggembirakan dari Rasulullah saw. itu disusun atas dasar prakarsa orang yang berdoa itu sendiri, bukan doa yang diajarkan oleh Rasulullah saw. kepadanya. Karena susnannya sesuai dengan ketentuan syariat dan bernafaskan tauhid, maka beliau saw. menaggapinya dengan baik, membenarkan dan meridhainya. Sekiranya orang-orang yang gemar melemparkan tuduhan bid'ah dapat memahami hikmah apa yang ada pada sikap Rasulullah saw. dalam menghadapi amal kebajikan yang dilakukan oleh para sahabatnya--sebagaimana yang saya kemukakan nash-nash hadisnya seperti diatas semuanya-- tentu mereka mau menghargai orang lain yang tidak sependapat dengan mereka. Mereka mengatakan, bahwa para Imam dan para ulama, yang memilah-milahkan bid'ah menjadi beberapa jenis telah membuka pintu selebar-lebarnya bagi kaum Muslimin untuk berbuat segala bid'ah! Kemudian mereka tanpa pengertian yang benar mengatakan, bahwa semua bid'ah adalah dhalalah (sesat) dan yang sesat tempatnya di dalam neraka!
JENIS-JENIS BID'AH
Pada dasarnya semua amal kebajikan yang sejalan dengan tuntunan syariat, tidak bertentangan dengan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah saw., dan tidak mendatangkan akibat buruk; tidak dapat disebut "bid'ah" menurut pengertian istilah syara'. Nama yang tepat adalah "sunnah hasanah" sebagaimana yang terdapat dalam hadis Rasulullah saw.: "Man sanna sunnatan hasanah....." dan seterusnya. ("Barangsiapa yang merintis jalan kebajikan..."). Amal kebajikan seperti itu dapat disebut "bid'ah" hanya menurut pengertian bahasa, karena apa saja yang baru "diadakan" disebut dengan nama "bid'ah". Untuk mencegah timbulnya kesalah-pahaman mengenai kata bid'ah itulah para Imam dan Ulama Fiqh memilah-milahkan "bid'ah" menjadi beberapa jenis. Misalnya, Imam Syafi'i r.a. membagi bid'ah menjadi dua bagian, yaitu bid'ah mahmudah (bid'ah terpuji) dan bid'ah madzmumah (bid'ah tercela). apa yang sesuai dengan Sunnah Rasuilullah saw. adalah bid'ah mahmudah dan apa yang menyalahi Sunnah Rasulullah saw. adalah bid'ah madzmumah. Khalifah Umar bin Khaththab r.a. sendiri menyebut shalat tarawih dengan kata "bid'ah" (na'imatil-bid'ah--"betapa nikmatnya bid'ah itu," yakni betapa nikmatnya shalat tarawih itu). Menurut kenyataan memang demikian, ada bid'ah yang baik dan terpuji dan ada pula bid'ah yang buruk dan tercela. Banyak sekali para Imam dan Ulama yang sependapat dengan Imam Syafi'i, bahkan banyak juga yang menetapkan perincian lebih jelas lagi, seperti Imam Nawawi, Imam Al-Hafizh Ibnu Hajar dan lain-lain. apakah orang hendak mengatakan bahwa para Imam dan Ulama itu tidak memahami firman Allah dan sabda Rasulullah saw.?
Orang-orang yang tidak sepaham dengan saya Muhammad Irmansyah As Syafi'i mengenai soal bid'ah itu berpegang pada dalil sabda Rasululah saw. "Setiap bid'ah adalah sesat..." (kullu bid'atin dhalalah), tetapi tidak mau berpegang pada hadis lain yang telah saya kemukakan pada bagian terdahulu. Yaitu hadis-hadis yang membuktikan sikap Rasulullah saw. yang membenarkan dan meridhai berbagai amal kebajikan tertentu yang dilakukan oleh para sahabatnya tidak atas perintah beliau.
Memang benar bahwa Rasulullah saw. pernah mengucapkan kalimat kullu bid'atin dhalalah. Akan tetapi kita harus memahami bahwa sabda beliau itu bersifat umum (kulliyyah), dan didalam ke-umum-an pasti terdapat ke-khusus-an (juz'yyah). Kekhususan yang terdapat dalam sabda Rasulullah saw. itu telah kami berikan contoh-contoh pembuktiaannya berupa hadis-hadis shahih terdahulu. Mengenai soal "keumuman" dan "kekhususan" itu dapat dimisalkan sebagai berikut: "Tidak ada seorang Muslimpun di dunia yang menolak pernyataan bahwa manusia itu makhluk Allah yang mulia, sebab Allah SWT telah berfirman: "Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak anak Adam..." dan seterusnya (wa laqad karramna Bani Adam...., Surah Al-Isra: 70). Firman Allah SWT itu bersifat umum, sebab Allah juga telah berfirman, bahwa ada manusia-manusia yang mempunyai hati tetapi tidak dapat memahami ayat-ayat Allah, mempunyai mata tetapi tidak menggunakannya untuk melihat tanda-tanda kekuasaan Allah dan mempunyai telinga tetapi tidak menggunakannya untuk mendengar firman-firman Allah; "mereka itu bagaikan binatang ternak, bahkan lebih sesat lagi" (ulaika kal-an 'ami, bal hum adhall, Surah Al-'Araf ayat 179). Jadi jelaslah, bahwa secara umum manusia adalah makhluk yang mulia, tetapi secara khusus banyak manusia yang setaraf dengan bintang ternak, bahkan lebih sesat.
Secara umum "bid'ah" adalah sesat karena berada di luar perintah Allah dan Rasul-Nya. akan tetapi banyak kenyataan membuktikan, bahwa Rasulullah saw. membenarkan dan meridhai banyak persoalan yang berada di luar perintah Allah 'Azza Wa Jalla dan perintah beliau saw. Silahkan baca kembali hadis-hadis yang telah saya kemukakan. Bagaimanakah cara kita memahami semua persoalan itu? Apakah kita berpegang pada satu hadis Nabi saw. dan kita buang hadis Nabi saw. yang lain? Yang benar ialah bahwa kita harus berpegang pada semua hadis shahih yang telah diterima kebenarannya oleh jumhurul-'ulama. Untuk itu tidak ada jalan yang lebih tepat dari pada yang telah ditunjukkan oleh para Imam dan 'Ulama FIQH, yaitu sebagaimana yang telah dipecahkan oleh Imam Syafi'i r.a. dan lain-lain.
Mereka (yang sering menghujat dan menganggap kelompoknya yang paling benar dan adalah satu-satunya kelompok yang akan masuk surga, sedangkan orang Islam lainnya masuk neraka) menganggap semua bid'ah itu dhalalah dan tidak mengakui adanya bid'ah hasanah atau mahmudah, tetapi mereka sendiri membagi bid'ah menjadi beberapa macam. Ada bid'ah mukaffarah, ada bid'ah muharramah, dan ada bid'ah makruh. Mereka tidak menetapkan adanya bid'ah mubah, seolah-olah mubah itu tidak termasuk ketentuan hukum syariat, atau seolah-olah bid'ah di luar bidang ibadah yang tidak perlu dibicarakan. .........2 April 2010 15:05
21 Rabbi'ut tsani 1431 H bertepatan tanggal 6 April 2010 M jam 16:00
PENUTUP
Sehabis shalat subuh hari Sabtu tanggal 18 Rabbi'ulakhir 1431 H atau 3 April 2010 yang lalu saya diberikan takdir oleh Allah 'Azza Wa Jalla untuk membaca suatu kitab yang baru saya peroleh minggu lalu yaitu kitab dari Syaikhul Islam Ibnu Taymiyyah yang berjudul Al-Hasanah wa al-Sayyi'ah terbitan Dar al-Kutub al-'Ilmiyyah, Kairo.t.t. Sungguh kitab itu sangat berarti sehingga saya tertegun dan membuat kepala saya tertunduk kebawah, khususnya ketika saya membaca kalimat yang ditulis oleh beliau ketika menafsirkan firman Allah yang berbunyi: "Yang takut kepada Allah di antara hamba-Nya hanyalah para ulama," (Q.S. Fathir ayat 28). Syaikh al-Islam al-Imam Ibn Taymiyyah berkata, "Setiap yang takut dan taat kepada-Nya serta meninggalkan maksiat, maka ia pantas disebut ulama." (Beliau mengutip Q.S. surah al-Zumar ayat 9). Beliau, Syaikh al-Islam al-Imam Ibn Taymiyyah menukil sebuah riwayat bahwa seseorang memanggil al-Sya'bi dengan ucapan,"Wahai orang alim!" Mendengar hal tersebut, al-Sya'bi menjawab, "Yang disebut orang alim adalah yang takut kepada Allah." Beliau juga menukil ucapan Ibn Mas'ud yang berbunyi, "Cukuplah rasa takut kepada Allah disebut sebagai pengetahuan, dan cukuplah lupa diri disebut sebagai kebodohan." Dengan demikian, pengertian ulama menurut Ibn Taymiyyah adalah orang yang takut kepada Allah, tunduk kepada-Nya, mengikuti semua perintah-Nya, menjauhi segala larangan-Nya, menjaga batasan-batasan-Nya, dan menjelaskan sesuai dengan yang diperintahkan kepadanya. Sebaliknya, orang bodoh menurut beliau adalah orang yang melakukan keburukan, mengerjakan maksiat, dan malas dalam melaksanakan kewajiban.
Alangkah indahnya seandainya para ulama kita memahami peran dan misi mereka dengan pemahaman yang bersih dan lurus semacam ini. Alangkah indahnya seandainya mereka mengetahui bahwa yang disebut dengan ilmu bukanlah buku-buku yang dihafal untuk dibacakan dan bukan gelar yang dipasang di tembok depan. Tetapi yang disebut dengan ilmu adalah akhlak, misi, amanat, dan rasa takut kepada Allah. Alangkah indahnya seandainya mereka mengetahui. Jika para ulama sudah mengetahui dan berpemahaman seperti itu, pasti wajah dunia akan berubah dan dan kehidupan manusia akan menjadi baik.
Sebenarnya masih banyak yang akan saya tulis sampai detail, namun setelah membaca kalimat yang ada pada Kitab Al-Hasanah wa al-Sayyi'ah tulisan Syaikh al-Islam Ibn Taymiyyah tersebut saya urungkan untuk bicara lebih panjang lagi karena saya benar-benar tersengat untuk lebih memahami apa maksud tulisan dari Syaikh Ibn Taymiyyah tersebut. Akhlak, sekali lagi akhlak...... dan akhlak.
Hadirin dan pembaca yang mulia, tidak ada kesimpulan yang saya buat walaupun tadinya saya masih akan mengulas banyak hal-hal detil termasuk kesimpulan, namun setelah membaca kitab tulisan Syaikhul Islam Ibn Taymiyyah tersebut saya mengurungkannya. Kesimpulan makalah ini saya kembalikan dan saya serahkan kepada para hadirin dan pembaca sekalian.
"Semoga Allah merahmati orang yang menunjukkan kekuranganku kepadaku."
Wallahu a`lam bishshawab,
Wassalamu `alaikum warahmatullahi wabarakatuh
2 komentar:
Artikel bagus.
yang terjadi di masyarakat sekarang, kadang bid'ah dianggap sunah.
itulah..
Posting Komentar