A. ISTILAH AHLUS SUNNAH WAL JAMA’AH
Setelah mengetahui makna dari masing-masing lafadz Ahl as-Sunnah wa
al-Jamâ’ah, perlu diketahui bahwa kata Ahl as-Sunnah wa al-Jamâ’ah
ialah lafadz yang digunakan oleh para Ahli Hadits, Sufiyyah,
Asy’ariyyah, dan maturidiyah sebagai nama dari kepribadian mereka.
Sebab mereka meyakini bahwa apa yang mereka lakukan sejalur dengan
ajaran Rasulullah SAW dan para sahabatnya, hanya saja seiring
perjalanan waktu, nama ini menjadi simbol bagi para pengikut ke empat
golongan tersebut. Sehingga sewaktu nama ini di ucapkan secara mutlak
maka dipastikan hanya terarah pada mereka. Keterangan ini di kutip dari
kitab Ittihafus Sadah pada permulaan bab Ar – risalah Al – qudsiyyah.
Dalam pembahasan ini ada beberapa hal penting yang erat kaitannya dengan istilah Ahl as-Sunnah wa al-Jamâ’ah, di antaranya :
I. Bolehkah nama Ahl as-Sunnah wa al-Jamâ’ah disandang
oleh orang-orang yang tidak menganut terhadap salah satu dari madzhab
empat dan mengklaim dirinya memiliki potensi untuk melakukan ijtihad
dalam rangka menggali suatu hukum meski tidak menguasai bahasa arab ?
• Sebagaimana keterangan yang telah dibahas, bisa dipastikan bahwa
predikat Ahl as-Sunnah wa al-Jamâ’ah tidaklah layak disandang oleh
mereka, karena mereka tidak termasuk salah satu dari Asy’ariyyah,
Maturidiyyah, Sufiyyah dan Ahli Hadits dengan alasan sebagai berikut :
Asy’ariyyah & Maturidiyyah:
Imam Abu Hasan Al Asy’ari dan Imam Abu Mansur Al Maturidi keduanya
merupakan sosok figure yang mendukung madzhabnya masing-masing yaitu
madzhab Syafi’iyyah dan Hanafiyyah. Sehubungan mereka tidak menganut
salah satu dari madzhab empat, maka secara otomatis mereka tidak
termasuk golongan ini.
Sufiyyah :
Sehubungan mereka sama sekali tidak mau bertaqlid kepada salah satu dari
empat madzhab, secara tidak langsung merekapun mengingkari terhadap
golongan Sufiyyah, karena dari sekian banyak tokoh-tokoh sufi yang
terkemuka seperti Syaikh Abdul Qadir Al Jilany, Abul Qasim Al Junaidy
dan Hujjatul Islam Imam Ghazali kesemuanya taqlid kepada salah satu
dari empat madzhab.
Ahli Hadits :
Alasan akan di paparkan pada pembahasan berikutnya.
Kesimpulan : Berdasarkan keterangan-keterangan yang telah dijelaskan,
pengikut madzhab empat secara keseluruhan berhaluan madzhab Asy’ariyyah
dan Maturidiyyah kecuali segelintir saja yang memang telah disesatkan
oleh Allah SWT sehingga terpengaruh dengan faham Mujassimah (keyakinan
bahwa Allah adalahjisim; benda, yang mempunyai ukuran, besar atau
kecil) dan Mu’tazilah.
II. Dewasa ini banyak sekali kita jumpai golongan yang
menamakan dirinya sebagai Ahli Hadits, sebab menurut persepsi mereka
dengan mengembalikan segala permasalahan pada Al Qur’an da Al Hadits
serta menjauhkan diri dari taqlid pada madzhab empat itu sudah cukup
bisa disebut Ahli Hadits, dan ironisnya mereka juga mengklaim dirinya
termasuk golongan Ahl as-Sunnah wa al-Jamâ’ah, bagaimana menyikapi
fenomena semacam ini ?
• Lafadz Ahli Hadits atau yang lebih dikenal dengan Muhaddits sesuai
dengan istilahnya Ulama Ahli Hadits dipergunakan untuk suatu makna yang
khusus, yaitu suatu nama bagi seseorang yang sudah memenuhi criteria
yang mu’tabar dikalangan Muhadditsin.
B. KRITERIA AHLI HADDITS
Sesuai dengan keterangan pada bab yang menjelaskan mengenai Lafadz
Musta’mal, yakni jika terdapat lafadz urfi yang khos wajib mengarahkan
lafadz tersebut pada makna urfinya, maka lafadz Ahli Hadits wajib di
arahkan pada makna yang telah dikenal dikalangan Muhadditsin.
Dalam permasalahan ini Imam Tajuddin Assubki dalam kitabnya Mu’idun Ni’am Wa Mubidun Niqom menuturkan :
• Sanad Hadits
• Bisa membedakan antara Hadits ‘Aly dan Nazil
• Mengetahui illat hadits
• Hafal matan Hadits dalam jumlah banyak
• Mengatahui nama para perawi hadits
• Telah menela’ah Kutubus Sittah yaitu: kitab Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan ibn Majah, Sunan Turmudzi, Sunan Abu Dawud dan Sunan An Nasa’I, Musnad Imam Ahmad, Imam Baihaqi, dan Mu’jam Thabrani.
Semua persyaratan di atas merupakan tingkat dasar bagi seorang Muhaddits, sedangkan untuk menempati level awal bagi seorang ahli hadits disyaratkan :
• Telah memperdalam ilmu pada beberapa Muhadditsin
• Membuat catatan yang berhubungan dengan stratifikasi (tingkatan) perawi hadits
• Membahas mengenai illat hadits
• Mengetahui biografi para perawi hadits
• Mengetahui sanad hadits
Imam Syakhowi (902 H) dalam kitabnya al-Jawahir wad Duror menuturkan “Orang yang sekedar mendengar hadits dan tidak memenuhi persyaratan di atas tidak bisa disebut ahli hadits” . pendapat ini didukung oleh Imam Malik, beliau menyatakan “Seorang yang hanya mendengar Hadits keilmuan haditsnya belum bisa di i’tibar (tidak boleh diambil ilmu darinya)” karna itulah otomatis tidak bisa disebut dengan ahli hadits.
0 komentar:
Posting Komentar