Di
antara sahabat Nabi saw yang terkenal paling pemberani adalah paman
beliau sendiri, Hamzah bin Abdul Muthalib. Beliau seorang lelaki Arab
yang paling berani, pejuang yang pantang mundur, dan komandan perang
Islam yang cerdas dalam beberapa peperangan yang sangat menentukan masa
depan Islam,
seperti perang Badar dan Uhud. Dengan keahlian perangnya yang mumpuni,
dia menjadi salah seorang penentu kemenangan perang Badar dengan
beberapa sahabat Nabi lainnya yang gagah berani, meskipun saat itu
jumlah pasukan kaum Muslimin sedikit.
Hamzah
senantiasa berada di sisi kemenakannya sendiri, Nabi Muhammad saw dan
di saat tersulit pun ia selalu setia membela risalah yang dibawa oleh
Rasulullah saw. Pemimpin dan pembesar Quraisy takut dan khawatir akan
keberanian beliau. Dan ketakutan itu membuat mereka tidak punya nyali
untuk mencegah laju dakwah Rasulullah saw. Sehingga bisa dikatakan,
Hamzah memainkan peran penting dalam mempertahankan dan menjaga Islam
serta membela Nabi demi keberlangsungan dan keabadian ajaran suci Islam.
Selama
di Mekkah, Hamzah membantu Rasulullah saw di saat-saat genting dengan
sepenuh jiwa. Beliau rela berkorban dan tak segan-segan menjadikan
dirinya sebagai tumbal saat berhadapan langsung dengan kaum musyrikin.
Beliau
adalah putra Abdul Muthalib dan paman Rasulullah saw. Beliau lahir pada
tahun keempat sebelum peristiwa pasukan gajah (Tahun Gajah) di kota
Mekkah. Di tengah masa Jahilah dan tersebarnya akidah syirik pada
penduduk Hijaz, beliau tetap berpegang pada ajaran lurus Nabi Ibrahim
dan dikenal sebagai pemuda yang senantiasa memberikan perlindungan
kepada orang-orang lemah.
Ayahnya adalah Abdul Muthalib dan ibunya anak perempuan dari Amru bin Zaid bin Lubaid yang bernama Salmi.
Saudara Sepersusuan Rasulullah saw
Hamzah
sangat dekat dengan Nabi saw. Kedekatan ini tidak hanya dari sisi
spiritual namun juga dari sisi material. Tsubah, budak Abu Lahab pernah
menyusui Hamzah dan sewaktu menyusui anaknya yang bernama Masruh, ia
juga menyusui Nabi saw selama beberapa hari. (1) Sehingga dengan
demikian, bisa dikatakan bahwa Hamzah dan Nabi adalah saudara
sepersusuan.
Sewaktu
Nabi saw memulai menyebarkan ajaran sucinya dan masyarakat secara
bertahap menerima ajaran tauhid dan pesan-pesan Al-Qur’an, Hamzah pun
sebenarnya telah mengetahui dan tertarik dengan kebenaran ajaran Ilahi
dan dakwah kemenakannya, Muhammad saw. Namun demi kemaslahatan saat itu
ia belum menampakkan keimanan dan keyakinannya. Ia seolah menunggu
moment yang tepat untuk menunjukkan ketertarikan dan kecintaannya
terhadap Islam dan Nabi Muhammad saw serta mendukung risalah Ilahi
secara terang-terangan.
Karena
Hamzah hidup bersama kaum musyrikin maka ia mengetahui pelbagai
konspirasi mereka terhadap Nabi saw. Hal itulah yang membuatnya semakin
tergugah dan tegar untuk membela Rasul saw. Setiap dakwah Islam semakin
bertumbuh dan jumlah kaum Muslimin semakin bertambah maka perlawanan
kaum musyrikin pun semakin hebat. Keteguhan dan ketegaran Nabi saw di
jalan kebenaran dan syariat Ilahi begitu menggugah perasaan Hamzah.
Beberapa tahun setelah masa pengangkatan Nabi berlalu, terbuka
kesempatan bagi Hamzah untuk menunjukkan keimanan dan akidahnya.
Sebagian mengatakan bahwa Hamzah masuk Islam pada tahun kedua pasca bi’tsah (masa pengangkatan Nabi), sebagiannya lagi menyakini pada tahun keenam pasca bi’tsah. Kisah mengenai masuk Islamnya beliau sangat menarik:
Setelah
pengangkatan Muhammad saw menjadi Nabi, Hamzah juga mengucapkan
syahadat dengan menyakini keesaan Allah Swt dan kebenaran agama yang
dibawah oleh putra saudaranya. Setelah Hamzah masuk Islam, kaum Quraisy
mengajukan beberapa permintaan/usulan kepada Rasulullah saw. Sebab
mereka sadar bahwa laki-laki yang paling berani kini telah menyatakan
keimanannya di hadapan Nabi saw, sehingga karena itu mereka tak lagi
dapat mengharapkan dukungannya. Namun Nabi saw tak memenuhi satupun dari
permintaan mereka.
Usai Abu Jahal menyampaikan pidatonya di tengah-tengah Kabilah Quraisy, mereka memutuskan untuk membunuh Nabi Muhammad.
Suatu
hari Abu Jahal melihat Nabi di bukit Safa, lalu ia memaki Rasul. Nabi
tetap saja berjalan menuju ke rumah beliau tanpa memperdulikan makian
Abu Jahal. Budak Abdullah bin Jad’an yang menjadi saksi mata atas
peristiwa tersebut melaporkannya kepada Hamzah. Tanpa berpikir panjang
dan memikirkan akibatnya, Hamzah memutuskan untuk membalas perlakukan
buruk yang didapat oleh kemenakannya. Di tengah perjalanan ia menemui
Abu Jahal yang berada di tengah kerumunan orang-orang Quraisy. Tanpa
memberikan kesempatan kepada yang lain untuk berbicara, ia mendekati Abu
Jahal dan langsung menghantam kepalanya dengan cambuk, sehingga kepala
Abu Jahal bersimbah darah. Hamzah pun berkata, “Berani kau menghina
Rasulullah? Saya beriman dengan apa yang dikatakannya dan akan mengikuti
jalan kemanapun dia pergi. Jika kau berani, silakan berhadapan
denganku!” Dengan menghadap kepada orang-orang Quraisy, Abu Jahal
berkata, “Saya telah berbuat buruk pada Muhammad, dan wajar Hamzah
marah.” (2)
Ketika
penyiksaan kaum Musyrikin kepada pengikut Nabi Muhammad saw semakin
menjadi-jadi, beberapa sahabat beliau berhijrah ke Habasyah. Tidak
berapa lama kemudian Nabi saw pun akhirnya memutuskan untuk berhijrah ke
Madinah. Beberapa kelompok kaum Muslimin Yatsrib bertemu dengan Nabi
saw di Mina saat mereka melaksanakan ibadah haji. Mereka berjanji bahwa
jika sekiranya Rasulullah saw dan kaum Muslimin lainnya berhijrah ke
Madinah maka mereka akan memberikan perlindungan terhadap umat Islam
yang teraniaya tersebut.
Demi
kelancaran pertemuan dan keberlangsungan perjanjian tersebut, Hamzah
melindungi dan menyembunyikan pertemuan tersebut dari kaum Musyrikin.
Akhirnya, setelah satu dua tahun kemudian kaum Muslimin mendapat
kesempatan dan peluang untuk berhijrah. Sebelum Rasulullah saw
berhijrah, beberapa kelompok terlebih dahulu berhijrah ke Yatsrib dan
Hamzah ikut di antara mereka. Setibanya di Madinah, mereka menunggu
detik-detik kedatangan Nabi saw.
Akhirnya
Nabi saw hijrah ke Madinah. Hijrah Nabi saw ini membuat kekuatan umat
Islam semakin bertambah, sekaligus membuat permusuhan kaum Musyrikin
melemah. Sampai akhirnya umat Islam dan kaum musyrikin saling
berhadap-hadapan pada perang Badar. Pada perang yang pertama kali ini
Sayyidina Hamzah mendapat gelar asadullah wa asadurrasul
(singa Allah dan Rasul-Nya). Saat itu beliau diserahi amanah oleh
Rasulullah untuk menjadi komandan perang dimana bendera perang ada di
tangannya. Hamzah memimpin pasukan Islam yang hanya berjumlah 30 orang
untuk berhadapan dengan 300 orang dari laskar Quraisy. Peristiwa ini
terjadi pada bulan Ramadhan, tahun pertama hijriyah. Meskipun tidak
terjadi kontak fisik antara kedua kubu namun Hamzah merasa terhormat dan
bangga ketika ditunjuk oleh Nabi sebagai pimpinan pasukan.
Epik kepahlawanan dalam Peperangan
Perkembangan
dakwah Islam yang pesat membuat kaum Quraisy semakin murka dan semakin
meningkatkan penyiksaan dan permusuhan mereka terhadap umat Islam.
Bahkan Abu Lahab, paman Nabi saw dan istrinya berkali-kali bersikap
buruk terhadap Rasulullah saw, utamanya ketika mereka bertetangga dengan
beliau. Nabi saw tidak mampu berbuat apa-apa ketika kepala dan wajah
beliau dilempari berbagai kotoran dan sampah serta kotoran kambing.
Hamzah pun membalas tindakan setimpal yang dilakukan oleh Abu Lahab.
Sariyah
(perang yang tidak diikuti Nabi saw) pertama: Rasulullah saw berhijrah
dari Mekah ke Madinah pada hari Senin 12 Rabiul Awal dan bendera pertama
Rasulullah saw yang berwarna putih, pada bulan Ramadhan, awal bulan
ketujuh tahun pertama Hijriyah, diserahkannya kepada Hamzah, pamannya.
Abu Marshad Kannas bin Hushain Ganawi, termasuk orang pertama yang masuk
Islam dan sekaligus teman sebaya Hamzah, mengikatkan bendera itu di
pundaknya. Rasulullah saw mengutus Hamzah dengan 30 sahabat Muhajirin
menuju ke medan perang untuk menghadapi 300 orang pasukan Quraisy.
Pasukan Quraisy ini dipimpin oleh Abu Jahal. Saat itu pasukan musuh
telah melakukan perjalanan dari Syam dan ingin kembali ke Mekah. Di
salah satu desa di tepi laut merah dua pasukan ini bertemu. Mujaddi bin
Amru Jahni yang memiliki hubungan baik dengan kedua belah pihak menjadi
mediator dan berusaha keras agar kedua kelompok berunding dan mencegah
terjadinya peperangan.
Pada bulan Safar tahun awal Hijriyah, Rasulullah saw ikut serta dalam Ghazwah
Abwa (perang yang diikuti Nabi saw) Abwa untuk pertama kalinya. Abwa
adalah tempat yang berjarak 37 km di antara Mekah dan Madinah (3). Saat
itu beliau memberikan bendera putih kepada Hamzah. Dalam Ghazwah ini, Rasulullah saw bertekad untuk menghadapi kafilah Quraisy, namun beliau tidak bertemu langsung dengan pasukan musuh.
Pada
bulan Jumadil Akhir tahun kedua Hijriyah, Rasulullah saw berangkat
menuju Gazhwa Dzul’asyirah dan lagi-lagi beliau memberikan bendera putih
kepada Hamzah. Beliau bergerak bersama 150 pasukan sukarelawan
Muhajirin. Kelompok pasukan ini memiliki 30 ekor unta dan mereka saling
bergantian mengendarainya. Ketika Rasulullah saw dan sahabat-sahabatnya
tiba di Dzul’asyirah, pasukan kaum kafir Quraisy telah melewatinya sejak
beberapa hari sebelumnya. Ketika kembali pun, pasukan musuh melewati
tepian pantai sehingga tidak bertemu dengan Rasulullah saw dan para
sahabatnya. (4)
Pada
17 Ramadhan tahun kedua Hijriyah terjadi perang antara kaum Muslimin
dengan kaum kuffar Quraisy yang dikenal dengan nama perang Badar.
Sewaktu Rasulullah saw merapikan barisan kaum Muslimin, tiba-tiba angin
berhembus dengan sangat kencang yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Dan angin kencang ini bertiup berulang sampai beberapa kali. Angin
kencang ini sebagai pertanda kedatangan para malaikat. Yang pertama,
Malaikat Jibril dengan seribu malaikat lainnya datang menghadap
Rasulullah saw, yang kedua Malaikat Mikail dengan seribu malaikat di
sebelah kanan Rasulullah saw dan yang ketiga Malaikat Israfil dengan
seribu malaikat disisi kiri Rasulullah saw. Kesemua malaikat ini
mengenakan sorban (ikat kepala) yang terbuat dari cahaya yang berwarna
hijau, kuning dan merah yang menggelantung sampai di pundak mereka, dan
mereka menggantungkan bulu dan rambut di dahi unta-unta mereka.
Rasulullah saw bersabda kepada sahabat-sahabatnya, bahwa mereka adalah
malaikat-malaikat yang akan memberikan bantuan dan dukungan kepada kaum
Muslimin. Para malaikat telah menandai diri mereka, maka kalian pun
hendaklah melakukan hal yang sama. Lalu para sahabat mendandai topi besi
yang dikenakan di kepala mereka dengan bulu onta(5)
Orang
yang pertama kali tiba di medan pertempuran dari kaum Muslimin adalah
Muhajja` (budak yang dimerdekakan oleh Umar bin Khattab). Kaum musyrikin
berteriak dengan keras, “Hai Muhammad, siapa saja yang punya hubungan
dengan kami, kirimlah dia untuk berperang dengan kami.” Nabi Muhammad
saw berkata kepada Bani Hasyim, “Bangkitlah! Berperanglah demi kebenaran
yang dengannya Nabi kalian diutus dan mereka datang untuk memadamkan
cahaya kebenaran itu.!!!”
Hamzah
bin Abdul Muthalib, Ali bin Abi Thalib dn Ubaidah bin Harits bin
Muthalib keluar dari barisan dan menuju mereka. Karena ketiga orang
tersebut mengenakan penutup kepala sehingga sulit untuk dikenali. Utbah
berkata, “Berbicaralah sehingga kami dapat mengenali suara kalian!”
Hamzah berkata, “Sayalah Hamzah, putra Abdul Muthalib, singa Allah dan
singa Rasul-Nya.” Utbah berkata, “Ya, kamu adalah pembesar, lantas siapa
dua orang bersamamu ini?” Hamzah menjawab, “Ali bin Abi Thalib dan
Ubaidah bin Harits”. Utbah berkata, “Dua orang bersamamu juga adalah
juga orang-orang besar”.
Waktu
itu Ali bin Abi Thalib berhadapan dengan Walid bin Utbah dan berhasil
membunuhnya. Sementara Hamzah berduel dengan Utbah dan juga berhasil
membunuhnya dengan hanya dua pukulan. Dan Ubaidah bin Harits sahabat
Nabi yang paling muda saat itu berdiri menghadapi Syaibah. Syaibah
memukulkan pedangnya pada kaki Ubaidah dan membuat pergelangan kaki
Ubaidah terpotong. Melihat itu Hamzah, singa Allah dan Rasul-Nya bersama
Ali segera menyerang Syaibah dan mereka berhasil membunuhnya.(6)
Dalam
perang ini, Abdurrahman bin Auf dan Bilal Habasyi berhasil menawan
Umayyah bin Khalf dan anaknya. Bilal berkata, ”Waktu itu saya berada
diantara Umayyah dan anaknya, kemudian saya menangkap mereka. Umayyah
bertanya kepada saya, “Siapa diantara kalian yang menandai dadanya
dengan bulu onta?”. Saya menjawab, “Hamzah bin Abdul Muthalib.” Ia
berkata, “Hamzah membawa malapetaka atas diri kami.”
Pertengahan
Syawal tahun kedua Hijriyah. Kabilah Bani Qainuqa’, kelompok yang
paling berani diantara kelompok kaum Yahudi yang berprofesi sebagai
pandai besi memiliki ikatan perjanjian dengan Abdullah bin Ubay dan juga
Rasulullah saw. Ketika terjadi perang Badar, kebencian dan rasa dengki
membuat mereka memutuskan untuk membatalkan perjanjian. Allah Swt
menurunkan surah Al-Anfal ayat 58 kepada Rasulullah saw, “Dan
jika engkau (Muhammad) khawatir akan (terjadinya) pengkhianatan dari
suatu golongan, maka kembalikanlah perjanjian itu kepada mereka dengan
cara yang jujur. Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang berkhianat.” (7)
Dengan
turunnnya ayat ini, Rasulullah menjadi waspada terhadap Bani Qainuqa’.
Beliau menyerahkan bendera ke tangan Hamzah dan memerintahkannya dengan
beberapa pasukan untuk menghadapi mereka. Bani Qainuqa’ adalah kelompok
Yahudi yang pertama kali melakukan pengkhianatan kepada Islam. Ketika
Rasulullah saw baru melakukan pengepungan, kontan saja mereka merasa
ketakutan, sehingga mereka pun menyerah kepada kaum Muslimin dan
menyerahkan harta-harta mereka. Rasulullah saw bersabda, “Bebaskan
mereka, Allah Swt telah melaknat mereka dan Abdullah bin Ubay”.(8)
Perang
Uhud: Akhir Syawal tahun kedua Hijriyah menjelang terjadinya perang
Uhud. Hamzah, sebagai panglima perang—sebelum memulai perang— berkata,
“Demi Allah Swt yang telah menurunkan Al-Qur’an, hari ini saya tidak
akan menyentuh sedikit pun makanan sampai saya menghadapi lawan dalam
peperangan.”(9)
Hamzah bersama Kaum Muslimin
Di
malam hari perang Uhud, Rasulullah saw tahu bahwa tidak lama lagi
pamannya akan gugur sebagai syahid. Beliau pun berbincang dengan Hamzah
dan menanyakan kembali keyakinannya mengenai ketauhidan dan kenabian
serta risalah yang dibawanya. Hamzah kemudian menjawab dengan tegas dan
kembali mengucapkan syahadat dengan lidahnya. Akhirnya Rasulullah saw
bersabda kepadanya, “Hamzah adalah pemimpin para syuhada, singa Allah
dan singa Rasul-Nya dan paman Nabi.” Sabda Nabi ini menebar aroma
kesyahidan dan membuat dada Hamzah bergemuruh. Hamzah pun meneteskan air
mata kebahagiaan. Rasulullah saw berdoa agar pamannya tetap tegar
berdiri di jalan tauhid dan segala keraguan di dalam hatinya segera
sirna.
Menjelang
Perang Uhud, Hamzah berkata kepada Nabi saw, “Saya bersumpah atas nama
Allah, tidak akan sedikitpun menyentuh makanan sebelum mengeluarkan
semua musuh dari kota Madinah.”
Perang
Uhud terjadi pada bulan Ramadhan, kaum Muslimin berbaris dengan rapi di
kaki gunung Uhud di bagian utara Madinah. Setelah perang satu lawan
satu, maka dimulailah perang secara terbuka. Hamzah bertempur dengan
gagah berani dan penuh dengan keimanan yang meluap-luap. Dengan dua
pedang di tangannya, ia menyerang dengan penuh keberanian sambil
berteriak, “Saya adalah singanya Allah.”
Thalhah
bin Abi Thalhah pembawa bendera kaum Musyrikin berteriak sambil
menantang, “Siapakah yang berani berhadapan denganku?” Ali bin Abi
Thalib bergegas mendekatinya dan menebaskan pedang ke arah kepalanya.
Tebasan itu membuatnya keningnya terbelah dan mengucurkan darah sehingga
akhirnya ia pun terjatuh dan terkulai ke tanah. Melihat itu, Rasulullah
saw tersenyum seraya mengumandangkan takbir. Kaum Muslimin pun serentak
mengumandangkan takbir yang sama. Bendera kaum musyrikin tersebut
kemudian beralih ke tangan Utsman bin Abi Thalhah. Hamzah segera berlari
ke arahnya, dan mengayungkan pedang ke bahunya. Tebasan pedang Hamzah
mematahkan tangan dan bahunya, pedangnya terlepas dan paru-parunya
terburai keluar. Hamzah kemudian kembali sembari mengumandangkan syair,
“Saya putra pemberi minum jamaah haji.” (10)
Banyak
kaum musyrikin yang terbunuh di perang tersebut di tangan Hamzah.
Diantaranya adalah pemegang bendera laskar Bani Abduddar, Atha’ bin Abdu
dan Utsman bin Abi Thalhah dan juga Saba’ bin Abdul `Uzzah dan Amru bin
Fadlah.
Wahsyi Habasyi
Jabir
bin Mut’im mempunyai budak yang bernama Wahsyi yang sebagaimana
orang-orang Habasyah lainnya terkenal pandai menombak dan jarang gagal
mengenai sasaran ketika melemparkan tombaknya. Pada perang Uhud Jabir
berkata kepada budaknya, “Pergilah bersama pasukan ini, dan jika kamu
melihat pamannya Muhammad maka bunuhlah dia. Aku ingin membalas dendamku
atas kematian pamanku Ta’imah bin Addi di perang Badar. Jika kamu
berhasil membunuhnya maka kamu kubebaskan.” Hindun, anak Utbah juga
meminta Wahsyi untuk membunuh salah satu dari Muhammad, Ali atau Hamzah
untuk membayar kematian bapaknya. Wahsyi pun menjawab, “Saya sama sekali
tidak bisa menemukan cara untuk membunuh Muhammad ataupun Ali pun.
Mereka begitu lincah dan tangkas di medan perang. Namun Hamzah mudah
terjebak dalam kemarahan dan emosional saat terjadi peperangan sehingga
ia tidak memperhatikan lagi kondisi sekitarnya. Mungkin aku bisa
membunuhnya dengan cara licik.”
Wahsyi
bercerita, “Saya pada perang Uhud selalu mengikuti Hamzah dari
belakang. Dia berperang bagaikan singa liar yang menerkam jantung
musuh-musuhnya. Saya bersembunyi di balik bebatuan dan pepohonan
sehingga dia tidak bisa melihatku. Ketika dalam keadaan sibuk menghadapi
musuh-musuhnya, saya pun semakin mendekat ke arah Hamzah. Dengan jarak
yang menyakinkan sayapun melemparkan tombakku ke arahnya. Tombak itupun
tertancap di tubuhnya. Ia hendak menyerang ke arahku, namun karena rasa
sakit yang sangat ia pun berteriak tak berdaya hingga ruhnya terpisah
dari badannya. Dengan penuh kehati-hatian saya pun mendekat ke arahnya.
Setelah mengambil senjatanya, sayapun bergegas kembali ke pusat pasukan
kaum Quraisy sembari menunggu saya dibebaskan.” (11)
Setibanya
kembali di Mekkah, Wahsyi pun mendapat imbalan kebebasan setelah ia
menjalankan tugasnya dengan baik. Pada hari Fathul Mekkah (penaklukan
kota Mekkah) dia melarikan diri ke Thaif. Pada tahun ke Sembilan
Hijriyah penduduk Thaif datang berbondong-bondong ke Madinah untuk
menyatakan keislamannya. Wahsyi pun berencana kembali melarikan diri ke
Syam atau Yaman. Namun ia mendapat kabar, siapapun yang bersyahadat
benar dengan lidahnya dan menyatakan keislaman maka Nabi Muhammad saw
tidak akan membunuhnya. Ia pun bergegas menghadap kepada Nabi Muhammad
saw dan kemudian mengucapkan syahadat sebagai pernyataan keislamannya.
Rasulullah saw memintanya untuk menceritakan bagaimana ia bisa membunuh
Hamzah. Setelah diceritakan Rasulullah saw pun bersedih dan berkata
kepada Wahsyi, “Mulai sekarang jangan perlihatkan lagi wajahmu di
hadapanku.” Atas permintaan Rasulullah saw, Wahsyi pun menjauh dan tidak
menampakkan diri di hadapan Rasulullah saw sampai kemudian beliau saw
wafat. Sepeninggal Rasulullah saw, Wahsyi pun berkesempatan mengikuti
perang melawan Musailamah. Dengan dibantu seorang sahabat dari kaum
Anshar, Wahsyi berhasil membunuh Musailamah. Dengan penuh haru ia
berkata, ”Saya telah membunuh manusia terbaik setelah Rasulullah saw,
dan juga telah membunuh manusia paling buruk di dunia.”(12)
Akibat
dari masa lalu yang gelap, Wahsyi sampai akhir hayatnya enggan untuk
berhubungan dengan kaum Muslimin. Namanya dihapus dari deretan laskar
kaum Muslimin karena sikapnya yang tidak baik dan karena banyak meminum
minuman keras ia pun sering dijatuhi hukuman cambukan. Umar bin Khattab
berkata, “Pembunuh Hamzah tidak akan lagi mendapat pembebasan dan tidak
layak masuk dalam daftar orang-orang baik.” (13)
Istri Abu Sufyan dan Kebenciannya terhadap Hamzah
Hindun,
anak perempuan Utbah memerintahkan kepada Wahsyi untuk membunuh Hamzah
sebagai penebus darah ayahnya. Dan Wahsyi pun menyanggupinya. Hindun
banyak membuat gelang kaki dan kalung leher dari telinga dan hidung para
syuhada Islam yang gugur pada perang sebelum perang Uhud. Ia memberikan
dan mengenakan semuanya itu pada Wahsyi dan meminta agar hati Hamzah
diserahkan kepadanya. Mengenai perbuatan yang sangat tidak pantas dan
menjijikkan ini, Abu Sufyan berkata, “Saya tidak pernah menyetujui
perbuatan ini dan juga tidak pernah memerintahkannya.” Karena perbuatan
buruk Hindun ini, ia mendapat julukan “pemakan hati”. Anak-anaknya pun
dikenal dengan julukan anak dari si pemakan hati.
Nama
Hindun semakin menjijikkan ketika ia yang notebene masih saudara sepupu
Hamzah dan putri dari Utbah bin Abdul Muthalib berdiri di atas batu dan
dengan penuh rasa dendam ia menguyah-nguyah hati Hamzah dan menelannya.
Abu Sufyan pun ikut mendekati jasad Hamzah dan bertindak tidak senonoh
tehadap mulut Hamzah. Pada saat itu Hulais bin Zabban yang kebetulan
lewat di tempat itu melihat perbuatan yang tidak senonoh Abu Sufyan lalu
ia berteriak, “Wahai orang-orang, lihatlah tokoh besar kabilah Quraisy
ini dengan tanpa hati ia memperlakukan tidak senonoh kepada anak
pamannya sendiri.” Abu Sufyan merasa malu dengan perbuatannya sendiri
dan berkata, “Apa yang saya lakukan ini tidak pantas kau lihat, dan ini
juga bukan sebuah kesalahan besar.”
Kesedihan Rasulullah atas Syahidnya Hamzah
Rasulullah
saw pada perang Uhud berkali-kali menanyakan tentang keadaan pamannya.
Salah seorang sahabat Rasulullah bernama Harits bin Shamah bermaksud
untuk memberikan kabar kepada Rasulullah saw. Namun mengingat kondisi
jenazah Hamzah yang begitu memprihatinkan, ia tidak sampai hati
menyampaikannya kepada Rasulullah saw. Karena belum juga ada kabar,
Rasulullah saw memerintahkan Sayidina Ali untuk mencarinya. Namun
sewaktu Ali juga melihat jenazah Hamzah dalam kondisi tidak utuh lagi,
ia pun terduduk disamping jenazah tersebut dengan penuh kesedihan.
Beliau pun berat menyampaikan berita duka tersebut kepada Rasulullah saw.
Rasulullah
akhirnya mencari sendiri jasad Hamzah. Beliaupun menemukan jasad Hamzah
penghulu para syuhada yang begitu mengenaskan. Beliau saw bersabda,
“Tidak ada musibah yang lebih besar dari kematianmu dan tidak ada
kesedihanku yang lebih sulit dari ini.” (14) Setelah itu, beliau
berkata, “Jika sekiranya Allah memberiku kekuatan, aku akan membalas
kematian Hamzah dan akan kubunuh 70 orang Quraisy dan akan kupong tubuh
mereka.” Pada saat itu malaikat Jibril datang dan membacakan sebuah
surah yang berbunyi, “Dan jika
kamu membalas, maka balaslah dengan (balasan) yang sama dengan siksaan
yang ditimpakan kepadamu. Tetapi jika kamu bersabar, sesungguhnya itulah
yang lebih baik bagi orang yang sabar.” (15)
Rasulullah
saw setelah mendengar ayat tersebut bersabda, “Saya akan bersabar dan
tidak akan membalas dendam.” Rasulullah saw pun mengambil jubahnya dan
menutupi wajah Hamzah. Namun jubah itu terlalu pendek bagi Hamzah. Jika
jubah itu menutupi kepala maka kaki Hamzah terlihat jelas, namun jika
ditarik untuk menutupi kakinya, kepalanya akan terlihat. Karenanya
Rasulullah menarik jubah tersebut menutupi kepala Hamzah dan menutupi
kaki Hamzah dengan rerumputan dan ilalang. Rasulullah saw bersabda,
“Sekiranya perempuan-perempuan Abdul Muthalib tidak bersedih, saya akan
meninggalkan dia dalam keadaan seperti ini dan membiarkan
binatang-binatang padang pasir memangsa dagingnya hingga sampai hari
kiamat ia akan tetap berada dalam perut mereka. Semakin besar musibah
yang dihadapinya, maka akan semakin besar pula pahala yang akan
didapatnya.”(16)
Rasulullah
saw berdiri beberapa saat di sisi jenazah Hamzah dan berkata, “Jibril
datang di sisiku dan memberikan kabar bahwa diantara penghuni tujuh
lapisan langit tertulis, Hamzah bin Abdul Muthalib asadullah wa asadur
rasuluhu (17) (Hamzah bin Abdul Muthalib, singa Allah dan singa
Rasul-Nya).
Diriwayatkan
dari Rasulullah saw, “Barang siapa yang berziarah kepadaku namun tidak
berziarah kepada pamanku Hamzah, sama halnya menyatakan permusuhan
kepadaku.” (18)
Rasulullah
saw memberikan gelar kepada Hamzah, Sayyidul Syuhada (penghulu para
syuhada). Rasulullah saw begitu memuliakan kesyahidan Hamzah. Sewaktu
meninggalkan bukit Uhud ingin kembali ke kota Madinah, Rasulullah saw
menangis dan juga memerintahkan kepada keluarga kaum Anshar untuk pergi
ke rumah Hamzah guna menangis dan meratap di sana. Kepada kaum Muslimin
Rasulullah saw bersabda, “Pergilah kalian berziarah ke makam Hamzah”.
Rasulullah saw pun selalu berkunjung dan menziarahi para syuhada Uhud,
khususnya di makam Hamzah dan beliau selalu menyampaikan salam
kepadanya.
Sewaktu
kaum musyrikin meninggalkan gunung Uhud, Rasulullah saw mendekati para
syuhada. Beliau tidak memandikan jenazah Hamzah dan juga para syuhada
lainnya. Beliau saw bersabda, “Kuburkanlah mereka bersama dengan
darah-darah mereka tanpa harus dimandikan. Saya yang akan menjadi saksi
mereka.” Jenazah Hamzah adalah jenazah yang pertama kali Rasulullah saw
mengumandangkan takbir empat kali atasnya. Setelah itu, beliau
memerintahkan sahabat-sahabatnya untuk meletakkan jenazah para syuhada
lainnya di sebelah Hamzah. Rasulullah saw melakukan sholat untuk setiap
syuhada. Dan khusus untuk Hamzah, Rasulullah melakukan shalat sampai
tujuh puluh kali. (19)
Atas
perintah Rasulullah saw, Hamzah bersama Abdullah bin Jahasy, syuhada
Uhud yang juga dimutilasi dimana telinga dan hidungnya terpotong
dikuburkan dalam satu makam. (20)
Setelah
itu Rasulullah saw bersama sahabat-sahabatnya kembali ke Madinah.
Haminah, putri Jahasy dan saudara perempuan Abdullah menemui Rasulullah
saw. Ketika Rasulullah menyampaikan kabar mengenai kesyahidan Abdullah,
Haminah berkata, “Inna lillahi wa inna ilahi raji’un,
saya memohonkan ampun kepada Allah atas kesalahan-kesalahannya.”
Setelah itu ia bertanya mengenai kabar Hamzah. Ketika mendengar kabar
kesyahidan Hamzah, ia kembali mengucapkan hal yang sama dan memohon
kepada Allah agar dosa-dosa keduanya diampuni-Nya.
Perempuan-perempuan Anshar dan Hamzah
Ketika
kembali dari Uhud ke Madinah, Rasulullah saw melihat
perempuan-perempuan kaum Anshar menangis dan mengucurkan air mata atas
kesyahidan keluarga mereka sendiri di tempat yang bernama “Bani Abdul
Syahl” dan “Bani Dzapar”. Rasulullah saw pun turut bersedih melihat itu
dan bertanya, “Tetapi mengapa perempuan-perempuan itu tidak menangis
untuk Hamzah?” (21) Sa’ad bin Ma’adz dan Usaid bin Hadhir mendengar
perkataan Rasulullah saw ini lalu kemudian mendekati perempuan-perempuan
itu dan berkata, “Pergilah kalian ke masjid dan turutlah berduka atas
kesyahidan Hamzah, paman Rasulullah.” Mereka pun pergi melakukan apa
yang dianjurkan. Rasulullah saw bersabda, “Semoga Allah merahmati
mereka, kembalilah dan janganlah kamu enggan merasakan penderitaan orang
lain."(22) Rasulullah saw juga bersabda, "Semoga Allah merahmati kaum
Anshar, sekarang saya mengetahui, betapa mereka memiliki kepedulian dan
perasaan sepenanggungan, persilakan mereka kembali." (23)
Perempuan
kaum Anshar sampai sekarang (kurun ketiga Hijriyah) jika ada diantara
keluarga mereka yang meninggal dunia, mereka lebih dulu bersedih dan
menangis atas meninggalnya Hamzah baru kemudian menangisi keluarganya
sendiri. (24)
Salam
atasmu wahai paman Rasulullah dan salam Allah pula atasmu. Salam atasmu
wahai yang telah gugur di jalan Allah!. Salam atasmu wahai Singa Allah
dan singa Rasul-Nya! Kami bersaksi bahwa engkau telah berjihad di atas
agama Allah dan telah mempersembahkan jiwa ragamu dalam membantu
perjuangan Rasulullah. Semoga engkau mendapat kemuliaan di sisi Allah
Swt.
Ayat
19 surah Al-Hajj turun di saat perang Uhud tengah berkecamuk, sewaktu
Imam Ali dan Hamzah berhasil membunuh Syaibah, Allah Swt berfirman, "Inilah dua golongan (golongan mukmin dan kafir) yang bertengkar, mereka bertengkar mengenai Tuhan mereka."
Sebagaimana halnya surah Ad-Dukhan ayat 16, Surah Al-Qamar ayat 45,
Surah Al-Hajj ayat 55 dan Az-Zariyat ayat 45 turun berkenaan dengan
perang Badar.(25)
Hamzah,
penghulu para syuhada adalah teladan dalam hal keimanan, pengorbanan
dan keberanian. Kecintaannya kepada Rasulullah dan jasanya yang besar
terhadap Islam membuat namanya abadi dan akan terus hidup sepanjang
sejarah.
Catatan Kaki
1. Imta` al Asma', hal. 6.
2. Farozi az Tarikh_e Payombar_e Islam, hal. 114.
3. Thabaqot Muhammad bin Sa'ad, hal. 5.
4. Ibid hal. 7.
5. Ibid hal 16.
6. Ibid hal. 18.
7. Ibid hal 32.
8. Ibid hal 33.
9. Farozi az Tarikh_e Payombar_e Islam, hal. 262.
10. Thabaqot Muhammad bin Sa'ad, hal. 49.
11. Ferozhoi az Tarikh_e Payombar_e Islam, hal. 289.
12. Tarikh_e Payombar_e Islam, Doktor Ayati, hal. 295.
13. Farozi az Tarikh_e Payombar_e Islam, hal. 296.
14. Tarikh_e Payombar_e Islam, Doktor Ayati hal. 323.
15. QS. an Nahl: 126.
16. Kulliyat Muntaha al Amal, hal. 7.
17. Tarikh_e Payombar_e Islam, Doktor Ayati, hal. 323.
18. Kulliyat Mafatih al Jinan, Ziarah Hadrat Hamzah.
19. Thabaqot Muhammad bin Sa'ad.
20. Kulliyat Muntaha al Amal, hal. 77.
21. Tarikh_e Payombar_e Islam, Doktor Ayati hal. 322.
22. Ibid hal. 22.
23. Ibid hal 23.
24. Thabaqot Muhammad bin Sa'ad, hal. 53.
25. Kulliyat Muhammad bin Sa'ad, hal. 18.
0 komentar:
Posting Komentar